Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di belakang Benteng Marlborough, Kecamatan Teluk Segara, Bengkulu, di sanalah kampung yang disebut Kebun Keling berada. Konon dahulu, sekitar 300 tahun silam, ketika Bengkulu masih bernama Bencoolen dan menjadi koloni keempat Inggris selain Benggala, Madras, dan Bombay, daerah itu merupakan permukiman "Si Keling". Julukan tersebut disematkan oleh masyarakat Melayu penduduk asli Bengkulu kepada Sepoy alias Sipahi, serdadu Inggris keturunan India yang dibawa ke Bengkulu oleh Kongsi Dagang Inggris (East India Company) dari Madras dan Benggala pada akhir abad ke-17. Ada yang menduga komunitas keturunan India itu yang membawa ajaran Syiah dan budaya tabut.
Menyusuri gang-gang sempit dan agak kumuh di kawasan permukiman padat penduduk di Kebun Keling itu, dengan mudah dijumpai orang berkulit hitam dan berhidung mancung. Namun, ketika ditanyakan kepada mereka apakah mereka memiliki darah "Si Keling", tak satu pun yang mengaku. Permukiman warga yang dekat dengan laut itu memang didominasi oleh keturunan kaum pendatang asal Minangkabau dan Bugis. Sebagian besar warga mencari nafkah sebagai pedagang dan nelayan. Tak mengherankan kalau kulit tubuh mereka hitam lantaran tersiram terik matahari.
Yana, 74 tahun, salah satu orang tertua di kampung Kebun Keling, mengaku dia sendiri tak pernah berjumpa dengan orang-orang berkulit hitam asal Anak Benua Asia itu. Ia hanya mendengar cerita dari orang tuanya bahwa tempat tinggalnya ini merupakan bekas kediaman kaum Sipahi. "Saya hanya dapat cerita, kalau melihat langsung tidak pernah," kata Yana, yang sejak lahir tinggal di Kebun Keling.
Menurut dia, baik ayahnya yang keturunan Bugis-Bengkulu maupun ibunya yang asal Pariaman, Sumatera Barat, pun tidak pernah bertemu dengan bangsa keturunan India tersebut. Bahkan peninggalan orang Sipahi berupa rumah saja tidak ada. "Sekarang bangunan yang ada ini sudah bangunan baru semua. Rumah orang tua saya ini dibangun pada 1934," ujar Yana.
Budayawan Agus Setyanto mengatakan sejarah yang membuktikan keberadaan kaum Sipahi di Bengkulu sulit dilacak. Adanya kaum Keling disebut dalam catatan perjalanan Nahuys van Burgst—perwira VOC—ke Bengkulu pada 1823 (Rapport van Nahuijs over het Engelsch Etablissement Benkoelen, 1823).
Tapi kenyataannya kaum Keling tak ada. Agus memiliki analisis mengenai hilangnya komunitas Sipahi. Ia menduga hal itu terjadi sejak terbitnya Traktat London pada 1824. Perjanjian antara Raja Inggris dan Raja Belanda yang ditandatangani pada 17 Maret 1824 itu mengatur pertukaran kekuasaan antara Inggris di Bengkulu dan kekuasaan Belanda di Melaka (Singapura saat itu bagian dari Kerajaan Melaka).
Menurut Agus, ketika meninggalkan Bengkulu, Inggris membawa semua serdadunya, termasuk "Si Keling" dan beberapa pribumi. Agus berpegang pada dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional, yakni "Surat protes para kepala pribumi Bengkulu kepada Residen Belanda Verploegh tertanggal 15 September 1826". Para kepala adat Bengkulu, salah satunya Pangeran Sungai Lemau, tidak terima atas perlakuan Inggris yang pergi membawa beberapa orang pribumi, terutama perempuan.
"Berdasarkan hukum adat Limbago saat itu, perempuan atau anak yang belum akil balik tidak diperbolehkan keluar dari wilayah Bengkulu," ujar dosen di Universitas Bengkulu tersebut.
Mengenai Sipahi pembawa ajaran Syiah dan budaya tabut, menurut Agus, itu pun masih menjadi misteri karena tidak ada bukti sejarahnya. "Karena belum ada kepastian otentik siapa pembawa budaya tabut sesungguhnya, kaum Sipahi atau bangsa Arab," katanya.
Ketua Kerukunan Keluarga Tabot Bengkulu Syiafril Syahbudin mengatakan tradisi tabut masuk ke Bengkulu bukan dibawa kaum Sipahi. Menurut penelitiannya, tradisi tabut pertama kali dibawa oleh rombongan pelaut dari Punjab yang dipimpin Imam Maulana Irsyad, yang keturunan Ali Zainal Abidin bin Husein. Mereka mendarat di Bengkulu pada 1336. Tapi Imam Maulana tidak menetap di Bengkulu. Sejak itu, Imam Maulana dan pengikutnya menggelar tabut setiap 1 hingga 10 Muharam.
Itulah alasan Syiafril menolak disebut keturunan orang Sipahi yang dibawa Inggris ke Bengkulu pada 1685. Moyang mereka sudah sampai di Bengkulu jauh sebelum kedatangan Inggris. Syiafril sendiri merupakan keturunan kelima dari Syekh Burhanuddin, pengikut Imam Maulana dari masa yang berbeda. Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo adalah ulama bangsa Arab yang sempat menetap di Punjab, Pakistan. Menurut Syiafril, awalnya Syekh Burhanuddin mendarat di Aceh, tapi ia tidak diperkenankan tinggal di situ. Lalu ia pindah ke Minangkabau—Pariaman dan Payakumbuh—lalu ke Kuntu Kampar, dan terakhir menetap di Bencoolen, yang dikuasai Inggris.
Di Bencoolen, Syekh Burhanuddin mengawini dua perempuan pribumi. Yang pertama Nurhumma dari Cinggeri, Selebar, dan yang lain Siti Fatimah asal Sungai Lemau, Pondok Kelapa. Dari kedua perempuan itu, Imam Senggolo memiliki masing-masing tujuh anak. Kini keturunan Imam Senggolo menjadi ahli waris tradisi tabut di Bengkulu.
Syiafril tidak menafikan bahwa kaum Sipahi juga melakukan tradisi tabut. Tapi, yang pasti, menurut dia, doa yang dipakai kaum Sipahi berbeda dengan yang diwariskan Imam Senggolo, yang memakai bahasa Urdu. Syiafril membuktikan bahwa dalam doa tabut terdapat kosakata seperti abbah (ayah), dada (datuk), biwi (istri), dawat (tinta), mamu (paman), jel (penjara), gham (bersedih), penja (lima jari), dan soja (menyembah). Bukti lain berupa warisan naskah doa yang ditulis dalam aksara Arab Persia yang hingga saat ini masih digunakan.
"Tidak mungkin kalau Imam Senggolo itu kaum Sipahi, karena Sipahi itu dari Madras, yang berbahasa Tamil, dan Benggala Bangladesh yang berbahasa Bengali," kata Syiafril, yang mencoba meluruskan asal mula pembawa budaya tabut di Bengkulu dengan melakukan penelitian sejak 1995.
Kesimpang-siuran tentang asal-muasal tradisi tabut di Bengkulu lantaran informasi yang ada selama ini dikumpulkan dari wawancara dengan beberapa pembuat tabut, bukan berdasarkan penelitian, penelusuran, dan pencermatan secara mendalam. "Dulu kaum yang berasal dari Madras dan Benggala itu tinggal di sekitar Benteng Marlborough, sementara keturunan Imam Senggolo berada di Pasar Melintang dan Pasar Berkas," ujar Syiafril.
Di seputaran Pasar Melintang dan Pasar Berkas masih banyak terlihat bangunan dengan arsitektur lama. Kebanyakan rumah tersebut milik keluarga tabut. Salah satunya rumah lama milik tokoh tabut yang meninggal pada 1937, Djakfar bin Muhammad Taher bin Nurlela binti Imam Senggolo. Beberapa rumah keluarga Tabut hingga saat ini masih dijadikan tempat pelaksanaan ritual tabut, seperti ritual berdoa serta ritual naik dan cuci penja.
Ada beberapa kontroversi mengenai Syekh Burhanuddin, karena nama yang sama juga terdapat di Pariaman (Syekh Burhanuddin Ulakan) dan Riau. Namun, menurut Syiafril, tradisi tabut di Pariaman dibawa oleh salah seorang putri Imam Senggolo bernama Siti Halimah, yang menikah dengan orang Pariaman dan ikut melaksanakan ritual tabut, yang di sana disebut tabuik atau tabut hoyak. Syekh Burhanudin wafat pada 12 April 1427 dan dimakamkan di Karabela, Padang Jati, Bengkulu.
Phesi Ester Julikawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo