Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala lelaki itu mendongak. Matanya terpejam seperti pasrah dengan tangan dan kaki terikat. Di depannya, dua pria dengan mata mendelik penuh kemarahan. Satu berseragam militer, mungkin sosok perwira Belanda. Di bagian bawah tergambar suasana sureal: iring-iringan orang membawa peti mati menuju pemakaman.
Inilah wajah Yogyakarta pada masa revolusi. Tertera dalam pameran judul lukisan Soedibio bertarikh 1949 itu: Untukmu Rakyat Jogja (To You People of Jogja). Lukisan yang pernah menjadi sampul depan brosur Kesenian terbitan Kementerian Penerangan pada 1949 itu seharusnya berjudul Kekau Penduduk Yogya. Kekau, menurut kamus, artinya terjaga (seperti kaget). Ini satu-satunya karya Soedibio yang bertema revolusi. Karya ini sesungguhnya lahir setelah ia menonton sebuah pertunjukan teater di Yogya: Penduduk Jogjakarta karya dr Huyung.
Kurator dan dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung, Aminudin T.H. Siregar, yang sering dipanggil Ucok, dengan dukungan Gajah Gallery Singapura mengusung karya ini ke ruang pamer Sangkring Art Space, Yogyakarta, bersama karya 34 seniman lain dalam pameran bertajuk "Melihat Lukisan: Percakapan Sebelum Akhir Sejarah", 27 November lalu. "Soedibio adalah pelukis otodidak yang merintis jalan bagi perkembangan genre surealis di Indonesia," tulisnya dalam konsep kuratorial.
Empat puluh tahun kemudian, surealisme merebak di Yogya. Ivan Sagito menghadirkan citraan sapi dengan kulit bergelambir menjuntai dalam ruang yang bernuansa sureal pada karyanya, The EsseÂnce of Cow in the Macro and Microcosmos. "Lukisannya dinilai berhasil mensinkriÂtiskan spiritualisme Jawa dan estetika surealisme Barat," ujar Ucok.
Untuk pameran ini, Ucok mengusung karya lukis seniman Indonesia yang ia nilai berkontribusi dalam sejarah seni rupa Indonesia sejak akhir 1930-an hingga akhir 1990-an. Dari generasi S. Sudjojono, Soedibio, Affandi, sampai generasi 1950-an ketika terjadi benturan kuat antara universalisme seni dan seni kerakyatan, yang pada gilirannya melahirkan mazhab Bandung dengan gaya abstrak geometris dan mazhab Yogya dengan realismenya.
Ucok menampilkan contoh mazhab Bandung dengan karya But Muchtar (Perempuan, 1954) berupa lukisan potret bercorak kubisme geometris dan perpaduan gaya abstrak dengan kaligrafi karya A.D. Pirous. "Sebenarnya salah satu lukisan penting yang sangat mewakili genre ini adalah karya Ahmad Sadali berjudul Laboratorium tahun 1954, tapi saya belum ketemu siapa yang megang lukisan ini," katanya.
Adapun genre realisme sosialis diwakili karya Amrus Natalsya (Melepas Dahaga, 1963) berupa figur lelaki berotot sedang membenamkan wajahnya ke dalam genangan air di tengah lanskap tanaman lidah buaya dengan cerobong pabrik di batas cakrawala.
Ucok membawa karya F.X. Harsono dan Siti Adiyati dalam pameran ini mewakili generasi pemberang di kampus seni. Kita tahu, ketika ingar-bingar politik reda dengan munculnya rezim ekonomi Orde Baru, panggung seni rupa kembali heboh oleh munculnya gugatan dari mahasiswa seni rupa dari dua kota yang berseberangan tadi, Yogyakarta dan Bandung, lewat Surat Pernyataan Desember Hitam 1974. Panggung baru ini dikukuhkan dengan nama Gerakan Seni Rupa Baru.
Pada 1980-1990-an, kita juga tahu jagat seni rupa tak lagi riuh oleh kemarahan. Gantinya, karya lukis menjadi komoditas menggiurkan. Orang menyebut era ini booming seni lukis, yang menyejahterakan pelukis senior semacam Widayat dengan gaya dekora magisnya, juga mendorong sejak dini pelukis muda menikmati manisnya pasar seni rupa. Nyoman Masriadi, misalnya, mengeksplorasi bentuk figur yang khas dengan teknik realis dan balon kata bak cerita komik. Dalam kurun 19 tahun berkarier, Masriadi cuma menggelar dua kali pameran tunggal, tapi dia menjadi primadona pasar.
Tapi Yogya tak hanya memunculkan perupa yang sukses di pasar. Perupa lain aktif melakukan perlawanan terhadap kemapanan. Pameran Binal Experimental Art, misalnya, adalah perlawanan terhadap kemapanan seni lukis dalam Biennale Yogyakarta pada 1992. Gerakan ini berhasil mengakhiri dominasi seni lukis dalam Biennale Yogya dan menancapkan seni rupa kontemporer belakangan, tapi juga diserap habis-habisan oleh pasar.
Di Yogyakarta muncul kelompok Taring Padi, yang sangat ideologis, pada pertengahan 1990-an. Kegiatan kelompok ini mengadvokasi masyarakat marginal, dari penduduk miskin kota, buruh, sampai petani. Mereka bekerja secara kolektif dengan memproduksi poster perlawanan dengan teknik grafis cukil kayu yang ditempelkan di tembok kota. Coraknya bergaya realisme sosialis, tapi mereka menolak disebut penerus seniman kiri di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Juga muncul kelompok Apotik Komik, yang dengan bersemangat mendobrak kemapanan galeri seni. Mereka menggarap proyek mural yang memanfaatkan dinding kota untuk berekspresi. Aksi ini merupakan embrio bagi praktek street art, yang marak hingga sekarang. Street art memiliki dinamika tersendiri yang sampai kini banyak memunculkan komunitas baru dari Bandung, Jakarta, hingga Yogya. Dari yang vandalis sampai yang bisa berkompromi, yang belum banyak disurvei para pengamat seni rupa.
Anehnya, Ucok tak memasukkan karya dua kelompok ini ke pameran. Seharusnya ia memotret perkembangan street art mutakhir kita dalam berbagai variannya. Ucok malah memajang karya lukis tiga dari lima anggota kelompok Jendela, yakni karya Yunizar, Handiwirman Saputra, dan Jumaldi Alfi. Semua tahu karya-karya kelompok Jendela ada dalam daftar jualan Gajah Gallery, yang mensponsori pameran ini dan mendanai proyek penulisan buku sejarah seni rupa Indonesia oleh Ucok.
Ucok akan menulis buku sejarah seni rupa Indonesia sejak Raden Saleh hingga akhir 1990-an. Fokusnya pada arah perdebatan dan konteks sosial. Ia mengklaim bukunya lebih lengkap dibanding buku sejarah seni rupa Indonesia yang ditulis ÂClaire Holt (Art in Indonesia: Continuities and Change) pada 1967 dan Kusnadi (Sejarah Seni Rupa Indonesia) pada 1997. "Memuat informasi yang selama ini terpendam, kurang dikupas, cenderung diabaikan, atau bahkan tak diketahui penulis sejarah seni sebelumnya," ujarnya.
Penelitian dan penulisan secara intensif sudah dia mulai dalam tiga tahun terakhir. Pembahasan seni rupa di zaman Jepang, misalnya, sudah ia tulis sejak 2008 ketika tiga bulan meneliti di Jepang. Ucok merencanakan buku ini setebal 300 halaman tulisan. "Saat ini sudah sekitar 250 halaman," katanya.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo