Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Antara Pemimpin Kader dan Genealogis

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK bisa dimungkiri, partai adalah salah satu kendaraan untuk mencapai kursi pemimpin nasional. Dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, bagi kader-kadernya—tak berlebihan—bagaikan "kawah candradimuka" untuk mewujudkannya. Setelah babak-belur dihajar pemerintah Orde Baru, partai berlambang banteng gemuk ini bukan saja memenangi Pemilu 1999 dan meraih 35 persen kursi DPR. Ketua umumnya, kini, juga menjadi Presiden Republik Indonesia. Membicarakan PDI Per-juangan (PDI-P) tak bisa di-lepaskan dari Megawati Sukarnoputri, dan Sutjipto, sekjennya. Kiprah kepemimpinan keduanyalah yang berjaya membawa PDI-P mengikis dominasi Golkar yang menguasai republik ini lebih dari 30 tahun. Kendati demikian, keduanya melewati jalan yang berbeda, dan berliku, menuju tampuk pimpinan partai. Megawati Sukarnoputri maju ke gelanggang politik tahun 1987. Soerjadi, pimpinan PDI kala itu, yang mengajak dan memperkenalkan politik praktis kepada putri pasangan Sukarno-Fatmawati ini. "Ajakan itu sebagai bentuk terima kasih dan kekaguman saya kepada Bung Karno," kata Soerjadi kepada TEMPO. Tidak lama setelah masuk PDI, Mega langsung duduk sebagai Ketua Cabang Jakarta Pusat. Mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu masuk Senayan sebagai anggota DPR pada 1988. Selama periode ini, nama Mega belum lagi mencuat. "Pada masa itu, tidak ada catatan yang mengesankan pada kiprah Megawati," kata pengamat politik Daniel Sparingga. Tapi tudingan miring tersebut dibantah Megawati sendiri. "Apa saya ini dianggap begitu? Mari kita lihat kenyataannya," katanya ketika itu, seperti berjanji akan membuktikannya. Kesempatan Mega menjadi pemimpin puncak partai terbuka ketika pecah kericuhan saat Kongres PDI di Medan. Duet Soerjadi-Nico Daryanto yang terpilih membuat partai terpecah. Untuk menyelesaikan pertikaian, Kongres Luar Biasa PDI akhirnya digelar di Surabaya, Desember 1993. Secara mengejutkan wanita kelahiran 23 Januari 1947 itu terpilih menjadi ketua umum. Namanya pun harum. Popularitas Mega menciutkan nyali Soeharto, presiden kala itu. Puncak penjegalan terjadi ketika Kongres IV PDI di Medan, Mei 1996, yang memilih Soerjadi sebagai ketua umum. Namun, Mega lebih bersikap diam dan tidak melawan secara frontal kepada pemerintah. Bahkan, saat kantor DPP PDI diserbu pendukung Soerjadi, yang dikenal sebagai tragedi 27 Jui 1996, Mega juga tidak mau adu massa. Selain mustahil melawan pemerintah Orde Baru yang sedang tangguh-tangguhnya, Mega juga memilih jalur hukum untuk melawan penindasan terhadap diri dan pendukungnya. Pilihan sikap seperti itu justru mengalirkan simpati dan dukungan kepadanya. Memakai nama PDI Perjuangan dalam Pemilu 1999, Mega sukses membawa partainya memperoleh suara terbanyak. "Kontribusi terbesar adalah karena Mega dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru," kata Sekretaris Fraksi PDI-P, Heri Akhmadi, kepada Leanika Tanjung dari TEMPO. Pernyataan senada datang dari Daniel. "Selain sebagai simbol perlawanan, waktu itu masyarakat juga sudah trauma dengan represi dan kungkungan rezim Orde Baru," tuturnya. Sumbangan lain yang tidak kalah pentingnya, menurut Daniel, adalah faktor genealogis, yang bertautan dengan kehausan rakyat mencari pemimpin dan ideologi alternatif. "Dan itu ditemukan pada sosok Sukarno yang melekat pada Megawati," ujarnya pula. Berbeda dengan Megawati, Sutjipto merambah dunia politik sejak duduk di bangku SMA. Pada era 1960-an itu, ia sudah terlibat demonstrasi mendukung Partai Nasional Indonesia. Pria kelahiran 13 Agustus 1945 ini baru masuk PDI selepas kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. "Tahun 1986 saya masih menjadi anggota biasa," katanya. Sutjipto benar-benar merangkak dari bawah. Karir politiknya mulai terlihat ketika Soerjadi, selaku ketua umum, menariknya menjadi Bendahara DPD PDI Jawa Timur, 1989. "Saya mengenal baik Soerjadi ketika sama-sama berkiprah di GMNI," katanya. Namun, "persahabatan" itu tidak abadi. Saat Kongres Luar Biasa (KLB) Surabaya, Sutjipto mengalihkan dukungannya kepada Megawati. "Mbak Mega harapan kami untuk membebaskan partai dari campur tangan Orde Baru," ujarnya. Kadar kepemimpinan Sutjipto diuji ketika bertarung dengan Latief Pudjosakti dalam pemilihan Ketua DPD PDI Jawa Timur, Juli 1994 . "Saat maju ke konferda, Pak Tjipto hanya mengantongi dukungan 5 dari 37 cabang," kata Saleh Mukadar, anggota Fraksi PDI Perjuangan Ja-Tim. Berkat ke-piawaian melobi, Sutjipto akhirnya menjungkalkan Latief dengan mengantongi 180 suara. Sedangkan Latief hanya kebagian 153 suara. Tapi hasil itu dibatalkan karena, setelah dihitung ulang, ada kelebihan 4 suara. Pilihannya untuk mendukung Megawati rupanya tidak keliru. Melalui SK DPP PDI No 043, Mega menetapkan Sutjipto sebagai Ketua DPD Ja-Tim. Namun, ganjalan datang dari Latief Pudjosakti, yang dibantu Gubernur Ja-Tim, Basofi Sudirman, dengan tidak mengakui SK tersebut. Tekanan dan represi politik kala itu menyulitkannya melakukan konsolidasi organisasi cabang-cabang yang mendukungnya. Namun, hambatan itu tidak menjadikan Sutjipto mundur dan menyerah. "Mati hidupnya partai politik tidak boleh bergantung pada negara," ujarnya. Kantor DPD Ja-Tim kemudian dipindahkan ke kantor CV Bumi Raya, perusahaan miliknya. Dari sinilah Sutjipto mengatur gerak partainya. Aliansi dengan kalangan mahasiswa pun digalangnya untuk memperkuat posisi politiknya. Ketika era reformasi bergulir dengan jatuhnya Soeharto, karir Sutjipto semakin bersinar. Pilihannya untuk setia kepada Megawati membawanya ke kursi sekjen. Dan, karena kemampuan melobi pula, Megawati mempercayakan kursi Ketua Fraksi PDI di MPR ke pundaknya. Dan, naiknya Megawati menjadi wakil presiden, yang kemudian menjadi presiden, juga tidak lepas dari lobi-lobi politik ayah tiga anak ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus