SUATU ketika Wilson Nababan, konsultan bisnis, berkunjung ke kantor perusahaan kaca Roda Mas. Di perusahaan tangguh yang lolos dari ujian krisis ekonomi itu, Wilson melihat satu sosok yang penampilannya seperti office boy atau sopir. Tak disangka-sangka, figur dekil nan lusuh itu ternyata orang nomor satu Roda Mas alias sang direktur utama.
Merunduk lebih rendah dari rumput. Filosofi ini agaknya memang bukan sekadar slogan kosong. Rata-rata pemimpin perusahaan yang bertahan dari gelombang krisis menganut falsafah hidup sederhana. Mereka justru bukan pengusaha yang selama ini tampil kinclong, kerap tampil di hadapan publik, dan ke sana kemari bersama pejabat. Bagi mereka, bisnis agaknya tak melulu berarti kekuasaan dan uang. Keberlangsungan usaha mereka, selain oleh ke-sederhanaan, ditopang oleh kemandirian, kemampuan menjalin hubungan baik dengan pihak lain, dan kreativitas.
Krisis memang bisa menjadi batu ujian untuk melahirkan pemimpin. Krisis ekonomi dahsyat yang menggulung Indonesia pun telah memberikan pelajaran penting: pengusaha yang tidak mandiri pasti akan tumbang. Tak peduli bisnis mereka telah menggurita dan meraksasa, mereka yang besar karena mencantol pada pe- nguasa rontok dengan mudahnya seperti daun di-tiup angin. Sebutlah Sudono Salim, Sjamsul Nursalim, Usman Admadjaja, atau Bob Hasan. Satu per satu bisnis taipan top di zaman Soeharto itu bertumbangan setelah patron mereka lengser dari takhtanya.
Sebaliknya, beberapa perusahaan lolos dari krisis justru karena tak pernah bersinggungan dengan penguasa. Ada beberapa contoh: perusahaan rokok Gudang Garam dan Sampoerna, penghasil keperluan mandi Wings, perusahaan kaca Roda Mas, dan penghasil ke-butuhan rumah tangga ABC. Mereka tumbuh mandiri dari bawah dan hati-hati dalam mengelola uang. Dan yang paling penting, "Mereka tak pernah meminta fasilitas kepada pe-merintah," kata konsultan pemasaran Rhenald Kasali.
Gudang Garam (GG), yang didirikan pada 1958 oleh Surya Wonowidjojo alias Tjoa Ing Hwie, tetap berjaya kendati negara porak-poranda karena krisis. Perusahaan yang kini dikomandani Rachman Halim, putra tertua Surya, itu masih mampu meraup laba bersih Rp 2,24 triliun pada tahun 2000. Hebatnya, GG tak memiliki utang sepeser pun. "Kalau mau ekspansi, mereka selalu menggunakan duit sendiri," kata Rhenald Kasali, "termasuk untuk membeli tanah dan membangun properti."
Namun, kemandirian semacam itu bukanlah strategi yang mudah dilakukan, terutama di masa lalu. Di masa Soeharto, Gudang Garam menghadapi ujian berat ketika pemerintah lewat Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) mencoba menguasai pasar cengkeh. "Menurut saya, anak-anak Soeharto bahkan ingin menguasai pabrik rokoknya sekalian," ungkap Rhenald, yang pernah menjadi konsultan GG. Pada titik itu, GG sempat merasakan sulitnya mengambil jarak yang tepat dengan kekuasaan.
Kepemimpinan Surya yang menonjol lainnya adalah sikapnya terhadap karyawan. Meski duduk di pucuk pimpinan sekaligus pemilik, ia tak pernah memandang karyawannya sebagai buruh, tapi lebih menganggap mereka sebagai saudara. Ia mengizinkan anak-anak karyawannya, kelak, juga bekerja di GG. Semua itu didorong falsafah hidupnya bahwa semua yang didapatnya harus dikembalikan kepada orang lain. Berkat sikap kepemimpinan seperti itu, se-lama berpuluh-puluh tahun pabrik GG praktis sepi dari unjuk rasa pegawai. Belakangan, keteladanan Surya itu agaknya tak terlalu diikuti penerusnya. Boleh jadi, karena itu, buruh GG makin berani mogok kerja.
Sementara itu, strategi yang tampak mencolok dari Putra Sampoerna dalam menakhodai perusahaannya adalah kreativitas. Dia berhasil membuktikan bahwa kreativitas bisa berarti uang. Generasi ketiga H.M. Sampoerna itu berhasil melakukan inovasi cemerlang dengan membuat A-Mild, rokok berkadar tar dan nikotin rendah. Pada 1990, ia membawa PT H.M. Sampoerna menjadi perusahaan publik. Putra juga melebarkan sayap pada bisnis perbankan, properti, lapangan golf, retail, dan beberapa sektor lainnya. Berkat kepiawaiannya itu, pada akhir 2000, Sampoerna berhasil mencetak laba bersih Rp 1,01 triliun.
Berkat kemandirian dan kreativitas pula kelompok ABC yang cuma pabrik kecap berkembang menjadi produsen baterai kering, saus, botol plastik, anggur cap Bapak Djenggot, dan sabun cuci. Kelompok bisnis yang kini dikomandani dua bersaudara Hamid Djojonegoro dan Husain Djojonegoro itu juga termasuk pemilik Orang Tua Group. Kelompok itu membuat berbagai macam obat tradisional dan kebutuhan rumah tangga seperti sikat gigi, pasta gigi, larutan penyegar Panjang Jiwo, serta permen dan wafer Tango.
Kelompok lain yang terlihat melaju kencang melawan krisis adalah perusahaan kaca Roda Mas dan perusahaan makanan Wings Surya. Wings, dari cuma perusahaan makanan, kini berkembang ke produk toiletries, tanpa gentar bersaing melawan sang raksasa Unilever. Meski strategi mereka dalam mengarungi pasang-surutnya bisnis pastilah tidak sama, ada kesamaan di antara mereka. Kebanyakan pengusaha itu juga menganut filosofi "merunduk lebih rendah dari rumput." Wujudnya biasanya berupa sikap sederhana yang berguna untuk menghindari kecemburuan dan persaingan bisnis tak sehat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini