Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Pemimpin Kaum Sarungan

Betulkah kepemimpinan dalam tubuh Nahdlatul Ulama tak tumbuh? Mengapa?

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI BELAKANG mobil yang ditumpangi Abdurrahman Wahid, seorang lelaki menjerit-jerit. "Demi Gus Dur, saya rela mati, Pak," katanya. Ia mengenakan peci, pantalon warna hitam, dan sandal sebagai alas kaki. Beberapa anggota Pasukan Pengawal Presiden yang mengelilingi mobil Abdurrahman menoleh, tapi mereka tak peduli. Mobil Mercedes Benz warna hitam itu bergerak perlahan meninggalkan pengikut fanatik itu beserta sekitar 10 ribu pendukung Abdurrahman lain yang memenuhi taman Monumen Nasional, Jakarta. Sore itu, Kamis 26 Juli lalu, adalah hari terakhir Abdurrahman Wahid berada di Istana—setelah tiga hari sebelumnya dijatuhkan oleh parlemen dari kursi presiden. Sebelumnya, Abdurrahman sempat bertahan tinggal di kediaman presiden itu dan menganggap Sidang Istimewa MPR, yang mengesahkan penggulingan dirinya, ilegal. Meski sebelumnya ngotot bertahan dan sempat membubarkan parlemen, Abdurrahman kalah. Megawati Sukarnoputri dilantik sebagai presiden baru dan bekas ketua Nahdlatul Ulama tersebut berangkat ke Amerika Serikat untuk kemudian kembali ke Indonesia sebagai warga negara biasa. Bagi banyak warga NU, jatuhnya Abdurrahman merupakan pukulan hebat. Lebih dari sekadar bekas ketua NU, Abdurrahman adalah kiai yang terpandang sekaligus cucu pendiri organisasi bermassa besar tersebut. Apalagi, inilah untuk pertama kali tokoh kalangan Islam (tradisional) menjadi presiden. Tiga presiden Indonesia sebelumnya datang dari kalangan nasionalis, TNI, dan teknokrat. Mengapa Abdurrahman gagal bertahan? Adakah kegagalannya menunjukkan tak cocoknya kepemimpin ala Nahdlatul Ulama dengan kebutuhan pemimpin di level nasional? Kurang dari dua tahun masa kepemimpinannya, Abdurrahman dituding melakukan banyak kesalahan. Ia dianggap tidak melaksanakan agenda reformasi, mengabaikan penegakan hukum, dan lalai memperbaiki ekonomi Indonesia yang remuk-redam. Selain itu, meski kejatuhannya dipicu oleh skandal Bulog dan Brunei, banyak orang menganggap kesalahan terbesar Abdurrahman adalah karena gagal merangkul lawan-lawan politiknya untuk membangun pemerintahan yang kuat. Dalam porsi lain, ia mengulangi kegagalan Megawati dalam merebut kursi presiden, dua tahun silam. Banyak orang mafhum: hanya dengan modal 11 persen suara di parlemen, Abdurrahman tak bisa berjalan sendiri. Sebelumnya, ia memang merangkul sejumlah partai politik dengan membentuk kabinet pelangi. Tapi, dalam perjalanan, Abdurrahman me-mecat sejumlah menteri, dari Hamzah Haz (PPP) hingga Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi (PDI-P). Sakit hati politik itulah yang kemudian menggumpalkan keinginan partai politik lain untuk menjatuhkan Abdurrahman. "Gus Dur memang bukan orang yang mudah menggalang aliansi," kata Ulil Abshar Abdalla, intektual muda NU. Tidak sulit memahami mengapa Abdurrahman tak mudah membuat aliansi. Lahir dalam komunitas kiai, Abdurrahman sedari kecil ditimang-timang untuk menjadi pemimpin. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940, ini adalah cucu pendiri NU, Hasyim As'yari. "Darah biru" yang mengalir dalam dirinya itulah yang dipercaya mengantar talenta kepemimpinan tumbuh dan berkembang dalam dirinya. Seorang kiai asal Ngrukem, Yogyakarta, seperti dikutip pengamat NU Andree Feillard, pernah memberi tamsil yang menarik untuk menggambarkan pengaruh keturunan dalam memupuk bakat kepemimpinan Abdurrahman tersebut. "Anak seekor macan pastilah macan juga," katanya. Ini sebetulnya pola umum dalam komunitas NU. Sejak awal pendiriannya, NU memang dibangun berdasarkan hubungan kekerabatan yang tinggi. Organisasi ini membesar karena hubungan kawin-mawin antarkeluarga kiai pesantren. Dalam sebuah risalahnya, antropolog Clifford Geertz mengatakan bahwa NU adalah organisasi sosial, persaudaraan, dan keagamaan yang menjadi pusat pertemuan hubungan klan, ekonomis, dan ideologis. Itulah sebabnya menjadi cucu pendiri NU adalah anugerah tersendiri. "Gus Dur adalah cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki pertama K.H. Hasyim As'yari. Akibatnya, dari bayi dia sudah digadang-gadang (dibesar-besarkan) sebagai pemimpin," kata Zamakhsyari Dhofier. Bekas dosen IAIN Walisongo Semarang ini pernah mengadakan penelitian tentang organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Di luar itu, Abdurrahman juga memiliki pengetahuan yang luas. Ia memadukan pengetahuan Islam tradisional dengan pengetahuan Barat, yang modern. Ia pernah belajar pada K.H. Junaidi, ulama pemimpin Majelis Tarjih Muhammadiyah, nyantri di Pesantren Tegalrejo Magelang, Pesantren Tambakberas Jombang, dan Pesantren Krapyak Yogyakarta—dan diteruskan kemudian di Bagdad dan Mesir. Tapi, menurut Ulil, karena "kebesarannya" itulah Abdurrahman sulit menerima pandangan dari orang lain. Dalam sejarah kepemimpinannya di NU, ia tercatat memiliki beberapa seteru. Ia pernah keras bersitegang dengan Kiai As'ad Syamsul Arifin, seorang tokoh NU kenamaan, karena beberapa perbedaan dalam hal fikih Islam. Ia juga sempat menyingkirkan lawan-lawan politiknya seperti Slamet Efendi Yusuf, tokoh NU yang menyeberang ke Golkar. Meski demikian, Abdurrahman secara umum toh diterima dengan terbuka oleh massa NU. Memasuki kepemimpinan NU secara struktural pada 1979, ia terpilih menjadi Ketua NU lima tahun kemudian dalam muktamar di Situbondo—untuk kemudian terus melaju hingga akhirnya menjadi presiden, Oktober 1999. Dengan kata lain, di level massa, pola kepemimpinan kekerabatan Abdurrahman tidak dianggap sebagai persoalan yang mengganggu. Dalam membentuk pola kepemimpinan NU—terutama dalam hal pembelengguan kaderisasi kepemimpinan dalam organisasi itu—fakta ini bertemu dengan intervensi pemerintah Orde Baru, yang sangat besar terhadap organisasi sosial dan politik, termasuk NU. Satu yang terpenting adalah intervensi dalam mutamar NU di Cipasung, Jawa Barat, 1994. Ketika itu, pemerintah berusaha mengganjal pencalonan kembali Abdurrahman sebagai Ketua NU. Alasannya sederhana: Abdurrahman dianggap menunjukkan sikap-sikap yang memusuhi pemerintah. Sinyal ke arah tak direstuinya kiai yang humoris ini sudah tampak sejak hari pertama muktamar. Abdurrahman tak duduk bersebelahan dengan Presiden Soeharto, yang membuka muktamar. Media massa juga mencatat bagaimana campur tangan pemerintah sangat terasa di sana: sekitar 1.500 tentara berjaga di sekitar Cipasung, dan lebih dari 100 intel dan pejabat keamanan mondar-mandir di arena muktamar. Tokoh yang disuruh membendung Abdurrahman di bursa Ketua NU adalah Abu Hasan. Kuat dugaan, ketika itu pemerintah mendukung Abu Hasan sambil memainkan politik uang. Tapi tudingan itu dibantah Hasan. Di akhir penghitungan suara, Abu Hasan itu kalah tipis, dengan mengantongi 142 suara—dibandingkan dengan 174 suara yang diperoleh Abdurrahman. "Muktamar NU Cipasung merupakan muktamar yang paling kotor sepanjang sejarah ormas keagamaan karena telah dicemari praktek jual-beli suara," kata Ketua Panitia Muktamar, K.H. Munasir Ali. Di mata pimpinan Pondok Pesantren Rembang, K.H. Mustafa Bisri, intervensi pemerintah itu justru memunculkan kembali figur Abdurrahman ke permukaan—bahkan dengan sosok yang lebih meyakinkan. Sebelumnya, kiai-kiai NU telah menyiapkan nama lain sebagai Ketua NU, yakni K.H. Fahmi Saifuddin, ulama sekaligus anak bekas Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Dibandingkan dengan Abdurrahman, yang memiliki wawasan luas tapi lemah dalam pembenahan internal, Fahmi dipandang lebih menguasai manajamen organisasi. "Dulu, rencananya, kepemimpinan Gus Dur hanya satu periode untuk kemudian digantikan oleh Fahmi guna menata organisasi," kata Mustafa Bisri, "Tapi rencana itu berantakan." Dengan fakta ini, tak aneh bahwa kemudian NU, seperti juga organisasi kemasyarakatan lainnya, mengalami kebuntuan dalam kaderisasi pemimpin. Kondisi ini ditambah lagi dengan tidak adanya lembaga yang secara formal memikirkan perihal kaderisasi kepemimpinan di dalam tubuh Nahdlatul Ulama. "Yang ada hanya lembaga informal seperti LDNU (Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama), Fatayat NU, atau Muslimat NU. Tetapi, itu pun belum dengan sistematika, materi, dan jadwal yang tetap," kata Ulil. Keadaan bertambah buruk ketika NU kemudian membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai konsekuensi liberalisasi politik sepeninggal Orde Baru. Sementara kaderisasi kepemimpinan NU tertatih-tatih, ada lembaga baru lain yang juga harus diisi dengan personel-personel yang kuat. Celakanya, dengan spirit khitah 1926, yang menjauhkan NU dari politik praktis, banyak tokoh muda NU yang berbakat telanjur duduk dalam lembaga-lembaga nonpolitik seperti dakwah, tarbiah, dan kegiatan sosial lainnya. "Ketika mereka ditawari menjadi kader PKB, mereka lebih banyak menolak dengan alasannya masing-masing. Akhirnya, yang diperoleh PKB hanya kader seadanya," kata Mustafa Bisri. Alhasil, pulang asal. Dari kalangan sarungan itu, stok kepemimpinan nasional yang mumpuni tak tersedia. Apa yang dialami NU sejatinya hanya salah satu contoh bagaimana kekuasaan Orde Baru telah mematikan potensi kepemimpinan dari bawah. Butuh waktu lama untuk memperbaiki semuanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus