BANYAK pihak yang mengakui Dr. M. Amien Rais sebagai lokomotif gerakan reformasi, yang bersama mahasiswa menggulingkan rezim keropos Orde Baru. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bekas Ketua PP (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah yang menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu tahun-tahun ini memainkan peran besar di pentas politik nasional. Di kalangan muda, Amien dinilai sukses membawa Muhammadiyah dalam mewarnai proses reformasi—ketika hampir semua komponen bangsa terkooptasi oleh rezim. Tak mengherankan jika M. Amien Rais dianggap sebagai salah satu "mutiara" Muhammadiyah.
Namun, selain Amien, Muhammadiyah menyimpan dokumen sederet tokoh yang memenuhi syarat disebut pemimpin legendaris. Sebut saja K.H. Mas Mansur (1936-1942), Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), dan A.R. Sutan Mansur (1953-1959). Ketiganya, selain pernah menjadi Ketua PP Muhammadiyah yang sukses, diakui sebagai tokoh-tokoh besar Indonesia. Mengapa Muhammadiyah bisa memiliki banyak pemimpin yang hebat?
Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama. Didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan, seorang muslim modernis, di Kota Yogya pada 1912, Muhammadiyah kini diperkirakan memiliki anggota 28 juta orang. Mereka terutama kaum muslim perkotaan dan kalangan intelektual. Organisasi Muhammadiyah terstruktur dari tingkat desa hingga tingkat nasional dan relatif modern karena kepemimpinannya bersifat kolektif dan dipilih secara demokratis.
Sebagai organisasi dakwah yang bergerak dalam berbagai bidang sosial, Muhammadiyah menurut data hingga November 2000 memiliki 12.204 unit lembaga pendidikan, dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, yang tersebar di seluruh Indonesia. Ia juga memiliki lembaga sosial semacam panti asuhan sebanyak 3.432 buah, lembaga ekonomi sebanyak 1.673 buah dengan bank perkreditan rakyat sebanyak 19 buah, juga lembaga kesehatan seperti rumah sakit umum, rumah bersalin, dan poliklinik sebanyak 525 buah.
Dengan sejumlah "outlet" seperti itu, kaderisasi kepemimpinan dalam setiap level menjadi penting dan memungkinkan. Menurut Haedar Nasir, Sekretaris PP Muhammadiyah, sejak awal berdiri, organisasinya mengandalkan proses pengaderan pada tiga pilar, yaitu keluarga, sistem pendidikan, dan proses ideologisasi. Ketiganya diusahakan supaya terus bersinergi. Salah satu pilar yang dianggap penting adalah keluarga. "Itu ladang yang paling subur dan embrio pendidikan paling dini," kata Haedar.
Pengaderan juga berbenih melalui sistem pendidikan. Secara umum, kurikulum pendidikan Muhammadiyah sama dengan sekolah versi Departemen Pendidikan Nasional. Bedanya, sekolah Muhammad-iyah memperoleh tambahan materi, antara lain ke-Muhammadiyah-an dan pelajaran agama Islam. Juga ada kegiatan organisasi ekstrakurikuler semacam Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Kedua organisasi tersebut mempunyai program pengaderan. Walau begitu, menurut Haedar, pendidikan Muhammadiyah tidak mengindoktrinasi siswa untuk menjadi fundamentalis atau monolitis. "Prosesnya cenderung liberal," kata Haedar.
Proses ideologisasi melalui organisasi otonom, semacam Aisyiyah, Nasyi'atul Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, juga berperan dalam pengaderan. "Di sini, mereka mengikat solidaritas kolektif yang tidak kaku," kata Haedar. Jadi, secara umum, sistem pengaderan di Muhammadiyah memang diciptakan. Aktivis Muhammadiyah bisa meniti semacam jenjang karir dari tingkat ranting (desa) hingga tingkat pusat (nasional) dalam waktu rata-rata 10 tahun.
Muhammadiyah juga memiliki lembaga Majelis Pengembangan Kader dan Sumber Daya Insani, yang memiliki program antara lain pelatihan dan kajian bagi para pengurus wilayah dan ranting. Sebelum Muktamar Muhammadiyah 2000 di Jakarta, lembaga itu bernama Badan Pembinaan Kader. Dalam Muhammadiyah, posisi lembaga majelis lebih tinggi dari badan. "Peningkatan status ini menunjukkan pentingnya kaderisasi di Muhammadiyah," kata Dr. Syafi'i Ma'arif, Ketua PP Muhammadiyah.
Namun, jenjang karir di Muhammadiyah juga bisa dilompati lewat jalan samping. Misalnya, Prof. A. Malik Fadjar, yang muncul lewat lembaga rektor. Tidak meniti karir di Muhammadiyah dari bawah, Malik Fadjar "terjaring" melalui jabatannya sebagai dekan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Selanjutnya, ia diangkat menjadi Rektor UMM dan terpilih kembali beberapa kali.
Kampus yang berdiri pada 1964 itu sejak dipimpin Malik Fadjar pada 1983 menunjukkan perkembangan yang pesat, baik menyangkut peningkatan status jurusan, pembenahan administrasi, penambahan sarana dan fasilitas kampus, ataupun penambahan dan peningkatan kualitas tenaga administrasi dan akademik. Kini, UMM memiliki sembilan fakultas dan 29 jurusan/program studi strata 1, tiga program studi strata 2, dan satu akademi keperawatan. Saat ini, UMM dianggap sebagai perguruan tinggi swasta terbesar di Kota Malang. Bahkan, menurut Pimpinan Pusat Muhammadiyah, UMM adalah kampus Muhammadiyah yang terbesar dan terbaik di Indonesia. Jumlah mahasiswanya 25 ribu orang lebih. Aset totalnya senilai Rp 298 miliar. Kesemua itu, dan perjalanan Malik Fajar sebagai rektor selama 16 tahun, membuktikan dirinya sebagai manajer andal perguruan tinggi.
Pertanyaannya, apakah sistem pengaderan di Muhammadiyah efektif. Pasalnya, banyak kritik yang dialamatkan ke sistem pendidikan Muhammadiyah, yang dinilai tak menghasilkan kader yang militan. Maklum, sistem pendidikan Muhammadiyah, seperti diakui Haedar, amatlah liberal. "Bahkan ada yang menuding sekuler," kata Haedar. Jadi, apakah munculnya pemimpin hebat Muhammadiyah disebabkan oleh sistem kaderisasi yang bermutu ataukah faktor lain, misalnya keunggulan pribadi yang bersangkutan atau atmosfer nilai yang berkembang di Muhammadiyah?
Yang jelas, sistem pengaderan di Muhammadiyah memiliki beberapa keunggulan. Muhammadiyah bisa menjaring sebanyak mungkin potensi orang tanpa terjebak pada satu proses parokialisme. Keterbukaan, inklusivisme, dan pluralisme juga menjadi ciri organisasi. "Dari segi agama, santri boleh masuk, juga yang abangan," kata Haedar. Salah satu etos kerja yang masih dipegang teguh hingga kini adalah keikhlasan. Contohnya, pengurus PP Muhammadiyah tidak memperoleh gaji dalam peng-abdiannya. Paling-paling mereka memperoleh jatah beras 25 kilogram per bulan. "Beras itu simbol rumah tangga. Tujuannya agar jangan sampai keluarga pengurus Muhammadiyah telantar," kata Haedar.
Etos kerja sukarela itu bisa berlangsung karena aktivis Muhammadiyah biasanya memiliki profesi dan pekerjaan masing-masing. Namun, faktor yang relatif kuat tampaknya adalah atmosfer nilai yang positif di Muhammadiyah. Misalnya, ya, soal keikhlasan itu, dan prinsip untuk mengembangkan "ilmu yang amaliyah" dan "amal yang ilmiyah".
Pengaderan di Muhammadiyah mengalami pasang-surut seiring kondisi politik nasional. Pengaruh politik yang paling kuat yaitu suasana otoriter politik rezim Orde Baru. Pemerintahan Soeharto, yang ingin mengooptasi semua organisasi masyarakat di bawah kungkungannya, membuat Muhammadiyah mengalami ketegangan politik. Dalam bahasa cendekiawan Muhammadiyah Drs. M. Habib Chirzin, perkembangan (flourishing) Muhammadiyah sempat terganggu semasa Orde Baru. "Kalau tidak, mungkin perkembangan Muhammadiyah lebih dari yang sekarang," kata Habib. Toh, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam, menurut Habib, siap memasok pemimpin-pemimpin nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini