Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pucuk Beringin Merindukan Akar

Mirip toge, Golkar berkepala besar tapi tak berakar. Pun para pemimpinnya.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari terjadilah percakapan serius antara Presiden Soeharto dan Sudharmono. Diawali dengan pembicaraan masalah rutin pemerintahan, Pak Harto lalu menyinggung soal calon Ketua Umum Golkar. Kebetulan, beberapa bulan lagi Musyawarah Nasional Golkar akan digelar, tepatnya pada 20 Oktober 1983. "Bagaimana kalau jij (engkau) saja yang jadi ketua umum?" tanya Soeharto, Ketua Dewan Pembina Golkar itu, kepada Sudharmono. Tak menduga mendapat pertanyaan semacam itu, Sudharmono tertegun sejenak. Namun, akhirnya Menteri Sekretaris Negara ini menjawab juga, "Kalau Bapak meng-hendaki, saya bersedia." Sejak itu, dituturkan Sudharmono dalam biografinya, Pengalaman dalam Masa Pengabdian (1997), dia diminta diam, sambil menyiapkan diri. Orang yang mengampanyekan dirinya sudah ada. Dan skenario memang berjalan mulus. Dalam perhelatan Golkar itu, Sudharmono, yang sudah sekitar 15 tahun tak aktif di Golkar, terpilih menjadi ketua umum, menggantikan Amir Murtono. Sekjen yang mendampinginya pun sudah disiapkan oleh Soeharto, yakni Sarwono Kusumaatmadja, yang sebelumnya menjadi Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan di DPR. Begitulah pemimpin di pilar penting kekuasaan Orde Baru itu dilahirkan. Sederhana, lancar, tapi berbahaya: Soeharto menentukan segala-galanya. Kriteria rekrutmen sampai nama orang di tangannya. Akibatnya organisasi massa besar ini ternyata sedikit sekali melahirkan pemimpin yang benar-benar muncul dari akar Beringin. Begitulah yang diakui Jacob Tobing, mantan tokoh Golkar yang kini menyeberang ke PDI-P. "Sejak awal Golkar mengandalkan kader dari luar yang sudah matang,'' katanya. Tumbuh dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), yang dideklarasikan pada 1964, kisah perjalanan Golkar cukup unik. Semula organisasi ini dibentuk kalangan TNI untuk menghadang pengaruh PKI, lalu di awal Orde Baru digunakan sebagai "mesin politik" untuk bertarung dalam pemilu. Adapun kekuatannya bertumpu pada tiga pilar organisasi—yang juga didirikan oleh tentara—yakni Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Tak mengherankan jika di masa-masa awal, Golkar sangat didominasi oleh militer. Lihat saja susunan Dewan Pimpinan Pusat Golkar pada 1968. Mayjen TNI Suparto Sokowati sebagai ketua umum, yang didampingi tujuh ketua yang semuanya juga berasal dari militer, yaitu Mayjen TNI Djamin Ginting, Komodor R.O. Soenardi, Komisaris Besar Pol. Poerwoto, Mayjen TNI Mas Isman (Kosgoro), Kolonel Mudjono, Mayor E. Suwarna, dan Brigjen TNI R.H. Sugandhi (MKGR). Sekalipun selalu dikendalikan dari jauh oleh Soeharto, bukan berarti tiada gesekan di dalamnya. Perebutan pengaruh antara kelompok Jenderal Soemitro dan kubu Ali Moertopo sempat terjadi pada 1970-an. Tapi, setelah Kolonel Amir Murtono tampil menjadi salah satu ketua pada 1971 dan menjadi ketua umum pada 1978, kelompok Ali Moertopo makin dominan. Nah, pada awal 1980-an rupanya Soeharto menginginkan Golkar menjadi sedikit lepas dari TNI. Kebetulan saat itu ia membutuhkan pilar kekuatan lain yang bisa mengimbangi TNI. Untuk keperluan strategi ini, keputusannya menempatkan Sudharmono sebagai Ketua Umum Golkar cukup tepat. Kendati mengawali karirnya dari dunia militer, lulusan Perguruan Tinggi Hukum Militer itu sudah cukup lama masuk Sekretariat Negara. Dan ia mempunyai sedikit pengalaman di Golkar. Saat masih berpangkat kolonel, Sudharmono pernah menjadi anggota pengurus Sekber Golkar pada 1964-1968, walau tidak terlalu aktif. Tugas yang diemban Sudharmono saat itu adalah mengubah Golkar yang mirip toge—berkepala besar tapi tak berakar—menjadi beringin. Ledekan "mirip toge", kata Jacob Tobing, saat itu memang sering terdengar. Pendeknya, Sudharmono diminta membuat Beringin benar-benar berakar. Malah dalam pemahaman Sarwono Kusumaatmadja, saat itu Pak Harto sebetulnya menghendaki agar Golkar benar-benar mandiri. "Ini sebagai persiapan untuk menghadapi era pasca-Soeharto," katanya kepada TEMPO. Maka, bersama jajaran pengurus DPP, Sudharmono menyiapkan Golkar menjadi partai kader. Setelah Munas, diberlakukanlah sistem keanggotaan "stelsel aktif": anggota Golkar bersifat perorangan dan harus mendaftarkan diri secara aktif. Mereka mendapat nomor keanggotaan dan harus membayar iuran. Kampanye dimulai dari Presiden Soeharto dan Ibu Tien, yang mendaftarkan diri di DPD II Golkar Jakarta Pusat. Lalu, pendaftaran itu bergulir ke daerah-daerah. Dicetak sekitar 30 juta kartu anggota, sampai menjelang Pemilu 1987 sudah terdaftar sekitar 26 juta anggota. Dari jumlah itu, 9 juta di antaranya adalah kader. Dan sebagai seorang administrator yang ulung, kata Aulia Rahman, seorang pengurus pusat Golkar saat itu, Sudharmono mendasarkan semua tindakan itu pada peraturan yang dibuatnya. Kader yang dikonsep Sudharmono ada dua, kader penggerak teritorial desa (karakterdes), dan kader penggerak fungsional. Jumlah kader desa ditargetkan 10 persen dari jumlah pemilih di tiap desa. Adapun kader fungsional meliputi para guru, ulama, dan para pemuda. Mereka semua ditatar secara intensif mengenai kepemimpinan, ke-Golkar-an, dan juga Pancasila, UUD 1945, dan GBHN. Selama lima tahun, Sudharmono sendiri tak kenal lelah mengunjungi berbagai pelosok daerah untuk bertemu dengan para kader sambil mengonsolidasi. Hasil yang dicapai orang Gresik, Jawa Timur, yang lahir pada 12 Maret 1927 itu di luar dugaan. Dalam suasana TNI relatif netral, pada Pemilu 1987, Golkar meraih 73 persen suara, naik 9 persen dari pemilu sebelumnya. Perolehan ini, menurut Sarwono, membuat pihak TNI resah. "Golkar, yang semula dianggap bayi yang selalu bergantung pada TNI, sudah mulai berjalan sendiri," katanya. Menjelang Munas Golkar 1988, terjadilah gerilya politik di daerah-daerah. Kalangan TNI berusaha menguasai lagi provinsi dan kabupaten. Akhirnya, Sudharmono, yang sudah menjadi wakil presiden, gagal menjadi ketua umum lagi. Yang terpilih adalah Wahono, mantan Pangdam Brawijaya, Jawa Timur, yang dinilai tidak terlalu mempunyai ambisi politik. "Kalau dipilih lagi menjadi ketua umum, Sudharmono akan jadi pemimpin yang kuat," kata Sarwono. Tapi tampilnya Sudharmono sebagai wakil presiden pun sudah luar biasa. Ia satu-satunya Ketua Umum Golkar yang bisa meraih jabatan itu. Dan cukup banyak pula anggota DPP di era Sudharmono yang akhirnya masuk ke kabinet (1988-1992). Sebutlah Sarwono Kusumaatmadja, Akbar Tandjung, Ibrahim Hasan, Siswono Yudhohusodo, dan Fuad Hassan. Bandingkan dengan di era Amir Murtono, cuma dua anggota DPP yang bisa masuk ke kabinet, yakni Harmoko dan Ny. Nani Sudarsono. Ini sebuah keberhasilan Sudharmono menyiapkan kader. Setelah itu, di bawah Wahono, penampilan Golkar menurun. Kata Aulia Rahman, seorang pengurus Golkar di era Wahono, kalau bisa menyelamatkan apa yang sudah dicapai Sudharmono sebetulnya sudah bagus. Tapi, sebagian karena hambatan fisiknya, kepemimpinan Wahono sangat lemah. Dan akhirnya Golkar, yang menjadi terlalu bergantung lagi pada TNI, cuma memperoleh 68 persen suara pada Pemilu 1992. Suara Golkar naik lagi pada Pemilu 1997, dengan mendapat 74 persen suara. Tapi kekuatan ini semu. Kaderisasi yang dibangun di era Sudharmono makin berantakan. Terjadi juga perubahan yang besar dalam kepengurusan Harmoko ini. Banyak orang lama di era Sudharmono dan Wahono dihabisi, diganti kader dari ICMI yang masuk. Aulia Rahman satu dari laskar lama yang tersisa menjadi saksi. Golkar jadi ajang perebutan pengaruh. "Saat itu orang hanya berpikir siapa yang akan menggantikan Soeharto," kata pria yang kini berusia 55 tahun itu. Dengan menempatkan Harmoko sebagai ketua umum, menurut Jacob Tobing, ketika itu Golkar dijadikan pijakan bagi Habibie untuk naik ke kursi wakil presiden. Dan berhasil. Hanya ketika mahasiswa dan rakyat menuntut reformasi, lalu kerusuhan terjadi pada Mei 1998, Golkar tak bisa menjadi benteng bagi Presiden Soeharto. Dalam Munas Golkar tahun itu juga, Golkar pun pecah antara kubu Edi Sudradjat dan Akbar Tandjung. Didukung oleh Habibie, akhirnya Akbar menang. Tapi terbukti juga Beringin tak mampu dijadikan sandaran bagi Habibie, yang naik menggantikan Soeharto. Pada Pemilu 1999 partai ini cuma mendapat 24 persen suara, kalah dengan PDI-P. Akhirnya Habibie gagal mempertahankan posisinya sebagai presiden. Lalu, Golkar semakin merana sebagai organisasi yang selamanya cuma dipakai sebagai kendaraan, tanpa diberi kesempatan mengakarkan dirinya. Dan Akbar Tandjung, ketua umum sekarang, mewarisi semua itu: citra Golkar yang buruk, dan citra dirinya sendiri sebagai tokoh Orde Baru. Pada Sidang Istimewa MPR Juli lalu ia gagal menjadi wakil presiden. Apa boleh buat, beban sebagai partai bentukan Orde Baru tampaknya akan terus menghalangi kiprah para kader Golkar untuk berperan lebih besar. Kecuali bangsa ini cepat melupakan masa diktatorial yang lebih dari 30 tahun itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus