Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Berita Tempo Plus

Rancage tanpa Ajip

Anugerah Sastera Rancage digelar untuk ke-33 kali. Berharap dapat terus bertahan meski perintisnya, Ajip Rosidi, telah wafat.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Selingan
Perbesar
Selingan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

BEBERAPA bulan sebelum mangkat pada 29 Juli 2020, salah satu yang menjadi bahan pikiran sastrawan Ajip Rosidi adalah agenda tahunan Anugerah Sastera Rancage. Ajip merintis penghargaan untuk karya sastra berbahasa daerah itu pada 1989 dan terus konsisten menggelarnya setiap tahun. Sering kali Ajip merogoh kocek pribadi untuk mendanai perhelatan tersebut. “Beberapa bulan sampai menjelang wafat, via telepon beliau selalu menyuruh untuk menghitung keseluruhan biaya acara Hadiah Rancage,” ujar Wakil Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Etti R.S. lewat wawancara tertulis.

Acara pemberian penghargaan selalu digelar pada 31 Januari setiap tahun, bersamaan dengan hari kelahiran Ajip. Menurut Etti, untuk acara dua tahun terakhir, 2020 dan 2021, pergelaran Rancage sepenuhnya didanai dengan uang pribadi Ajip. Kekeraskepalaan Ajip untuk terus menggelar acara ini tanpa putus setiap tahun, sekalipun bantuan donatur tak mencukupi, bertujuan memberi contoh bahwa konsistensi dalam pemberian anugerah itu penting untuk keberlangsungan budaya. “Terutama (contoh) kepada pemerintah. Selama ini tidak ada satu hadiah pun yang diberikan pemerintah secara kontinu tanpa jeda,” ujar Etti, yang juga merupakan sastrawan Sunda pemenang Anugerah Rancage.

Tahun ini, untuk pertama kalinya Anugerah Sastera Rancage digelar tanpa kehadiran Ajip. Ada sedikit haru yang terasa saat Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Titi Surti Nastiti, yang juga putri Ajip, membuka acara yang disiarkan langsung lewat kanal YouTube pada 31 Januari lalu. “Untuk pertama kali, pengumuman ini tanpa kehadiran penggagas. Kami tentu berduka, tapi ada hal penting yang ditinggalkan beliau, yaitu warisan budaya,” ujar Titi dalam pengantarnya.

Ajip memprakarsa hadiah untuk karya sastra berbahasa daerah ini setelah teman-temannya menggelar acara ulang tahun ke-50 Ajip di Gedung Merdeka, Bandung, pada 31 Januari 1988. Perayaan itu mengusik hatinya karena merasa berutang budi kepada orang Sunda.

Ajip kemudian ingin memberi hadiah kepada para pengarang Sunda sebagai tanda terima kasih. Seluruh acara murni didanai oleh Ajip dan dia sendiri pula yang menilai karya-karya sastra Sunda. Etti menuturkan bahwa Ajip menyimpan harapan agar pemberian hadiah itu dapat mendorong pemerintah untuk membeli karya para pemenang dan dibagikan ke sekolah-sekolah di Jawa Barat. Ajip ingin pengarang dapat memperoleh royalti memadai dan hidup lebih sejahtera. “Tapi harapan Ajip Rosidi itu tak terwujud hingga sekarang,” tutur Etti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus