Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kami Harus Fleksibel

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menjelaskan bagaimana strateginya menggenjot produksi migas yang terus melorot dan tak pernah mencapai target. Apalagi ketika rencana investasi baru tak menentu. 

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto di Kantor SKK Migas, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUGAS berat dihadapi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Di tengah produksi yang terus melorot, tak pernah mencapai target, pemerintah berambisi menargetkan lifting minyak kembali melampaui angka 1 juta barel per hari pada 2030. Begitu pula produksi gas, yang diproyeksikan mencapai 12 ribu juta kaki kubik per hari, atau melonjak dua kali lipat realisasi tahun lalu yang hanya 5.461 juta kaki kubik per hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Target-target tersebut makin terasa ambisius ketika nasib sejumlah rencana investasi di sektor hulu migas kian tak menentu. Pada Senin, 8 Februari lalu, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjawab pertanyaan Retno Sulistyowati dari Tempo tentang rencana lembaganya merealisasi target tersebut dan mengatasi berbagai masalah dalam sejumlah proyek migas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Apa yang dilakukan SKK Migas agar target 2030 tercapai?

Sekarang kami mengubah mindset. Dulu, misalnya ada potensi, ada cadangan, tapi kalau kontraktor bilang tidak ekonomis, enggak akan diambil, tidak dieksploitasi. Nah, sekarang kami akan balik bertanya, berdiskusi dengan mereka, agar ekonomis Anda butuh apa? Misalnya mereka sampai perlu tambahan bagian (split), akan kami cek, pemerintah bisa terima hingga batas berapa. Yang penting hitungannya wajar, fair, tidak merugikan negara.

Mengapa perubahan pola pikir itu penting?

Kalau potensi cadangan ini enggak diambil, pemerintah enggak akan dapat apa-apa. Efek penggandanya juga enggak ada. Tapi, kalau diambil, split pemerintah mungkin turun sedikit, tapi efek penggandanya ada. Jadi fiscal term harus lebih fleksibel. Ini yang sekarang kami kedepankan. Tentu kajiannya kasus per kasus.

Artinya kudu meminta persetujuan Kementerian Keuangan?

Iya, harus berdiskusi. Kami juga meminta pendampingan penegak hukum, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Supaya tidak salah.

Produksi lapangan besar, seperti Banyu Urip di Blok Cepu, akan memasuki masa penurunan. Bagaimana rencana pengembangannya?

Kemarin baru selesai dimintakan izin ke Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi untuk memompakan gas yang produksinya naik ke sumur. Ini enhanced oil recovery (EOR) juga, pakai injeksi gas supaya minyaknya terangkat. Selain itu, ada eksplorasi yang sedang disiapkan, seperti Lapangan Giyanti. Sekarang produksinya ditahan di kisaran 200 ribu barel per hari, disesuaikan dengan fasilitas dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Nanti, kalau terlalu di-push, cepat habis.

Bagaimana dengan rencana produksi Rokan setelah Chevron menyetop pengeboran?

Ya, itu sangat mengkhawatirkan terhadap upaya menjaga reservoir. Kalau decline, Pertamina akan sangat berat mengangkatnya lagi. Makanya kami mendorong Chevron berinvestasi di masa transisi. Waktunya tidak banyak. Karena itu, dipikirkan cara pengembalian investasinya. Kami percepat, dijadikan cost, sehingga Agustus nanti, saat Chevron keluar, (investasi) bisa dikembalikan.

Skema ini sudah disetujui Kementerian Keuangan?

Sudah, nanti manfaatnya masuk ke Pertamina. Ini buat negara juga. 

Berapa nilai investasinya?

US$ 150 juta, untuk mengebor 190-an sumur.

Bagaimana dengan masalah lain yang mencuat beberapa waktu lalu?

Soal Rokan ini sebenarnya ada sembilan isu. Ada masalah migrasi data, pengalihan teknologi informasi, kegiatan pengeboran selama transisi, chemical EOR, kelanjutan kontrak-kontrak lama, transfer ketenagakerjaan, sampai perizinan dan prosedur operasi. Amdal Duri sudah selesai. Sedangkan Lapangan Minas, Bekasap, dan Rokan 50 persen. Ini semua harus diselesaikan.

Formula kimia untuk kegiatan EOR milik Chevron sudah diserahkan?

Percobaan EOR ini kan mulainya 2001. Sekarang yang penting data tersebut diserahkan ke negara. Itu sudah jalan. Yang tertinggal adalah bahan kimia yang digunakan. Ini kan hasil percobaan, produsennya Chevron Oronite. So far, Chevron Pacific Indonesia sudah membantu supaya Pertamina bisa bertemu dengan Chevron Oronite. Nanti tinggal dilanjutkan.

Artinya business-to-business, Pertamina harus beli?

Ini yang sedang dibicarakan.

Bagaimana dengan megaproyek Indonesia Deepwater Development?

Sekarang dalam proses pengalihan dari Chevron kepada calon penggantinya, Eni. Janjinya triwulan I ini selesai. Jadi kami masih menunggu. Kami berharap triwulan ini ada kejelasan. Selanjutnya ada triwulan lagi yang tersisa untuk me-review proposal baru. Itu targetnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus