Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUPIAH kita seharusnya jauh lebih kuat daripada posisinya sekarang yang bergeming di kisaran 14 ribu per dolar Amerika Serikat. Berbagai indikator penting, yang biasanya sangat berpengaruh pada naik-turunnya nilai tukar rupiah, sedang bagus-bagusnya. Tapi, nyatanya, rupiah tetap enggan menggeliat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neraca transaksi berjalan Indonesia, misalnya, surplus US$ 960 juta pada kuartal III 2020. Untuk pertama kali sejak 2011, Indonesia menikmati surplus neraca transaksi berjalan secara kuartalan. Ini sungguh lompatan besar dibanding kuartal yang sama tahun sebelumnya, yakni minus US$ 7,5 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neraca transaksi berjalan menjadi positif antara lain karena neraca dagang Indonesia membaik. Ada kelebihan ekspor dibanding impor senilai US$ 9,8 miliar. Pada 2019, surplus perdagangan pada kuartal yang sama cuma US$ 1,36 miliar. Ekspor yang membaik ini bersamaan datangnya dengan merosotnya impor karena lemahnya permintaan di dalam negeri akibat pandemi. Namun membaiknya kinerja ekspor ternyata tak membuat rupiah menguat.
Arus dolar masuk tidak cuma berasal dari positifnya neraca dagang. Sejak awal 2021, dolar yang mengalir lewat investasi portofolio dan utang juga cukup deras. Pada awal Januari, pemerintah menjual obligasi global senilai US$ 2,5 miliar dan € 1,5 miliar. Valuta asing hasil utang segar ini tentu menambah pasokan dolar di pasar domestik. Seharusnya, sebagaimana yang sudah-sudah, arus masuk sebesar ini mampu mendongkrak nilai rupiah dengan cukup signifikan. Nyatanya tidak.
Dana asing yang masuk ke obligasi pemerintah dalam mata uang rupiah juga cukup kencang. Sejak awal tahun hingga 10 Februari 2021, secara neto, investor asing membeli obligasi pemerintah dalam rupiah senilai Rp 18,29 triliun atau kurang-lebih US$ 1,3 miliar. Sama saja, aliran ini tidak berefek pada nilai rupiah.
Pasar saham juga kebanjiran dana asing. Sejak awal tahun hingga libur hari raya Imlek, Jumat, 12 Februari lalu, pembelian investor asing secara neto melejit hingga Rp 11,46 triliun atau sekitar US$ 818 juta. Untuk ukuran pasar saham, aliran dana asing sebesar itu masuk cukup deras dalam tempo tak sampai satu setengah bulan. Namun tak ada dorongan juga terhadap rupiah dari sini.
Banjir valuta asing jelas tecermin pada posisi cadangan devisa Indonesia. Per akhir Januari 2021, cadangan devisa RI mencapai US$ 138 miliar, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Cadangan sebesar ini sangat memadai buat memenuhi kebutuhan dolar untuk impor dan pembayaran utang pemerintah selama sepuluh bulan, jauh di atas standar minimum internasional yang hanya tiga bulan. Kabar tentang rekor baru cadangan devisa ini juga nyaris tak berefek pada pergerakan nilai rupiah.
Investor sepertinya menghitung soal lain yang bakal membebani rupiah. Salah satunya belum jelasnya prospek pemulihan ekonomi karena pandemi masih dalam tren memburuk. Sementara itu, program vaksinasi yang menjadi andalan pemerintah untuk mengatasi Covid-19 baru akan tuntas pada Maret 2022.
Penanganan pandemi juga menciptakan lubang defisit yang amat besar di anggaran pemerintah. Pada 2021, pemerintah harus mencari tambalan pembiayaan hingga Rp 1.006 triliun—sekitar 5,7 persen dari produk domestik bruto. Kebutuhan dana sebesar itu akan membuat pemerintah dalam posisi terpojok di pasar sepanjang tahun ini. Pemerintah menjadi pihak yang sangat membutuhkan uang.
Rupiah yang tak juga mau menguat akan menjadi persoalan bagi Bank Indonesia dalam menetapkan suku bunga acuan. Pekan ini, Dewan Gubernur BI kembali bersidang untuk mengambil keputusan. Pada Januari lalu, BI tak berani menurunkan bunga karena mempertimbangkan nilai rupiah, agar tidak kembali tertekan.
Persoalan yang sama kini membebani BI. Tingkat inflasi yang masih rendah semestinya dapat menjadi faktor pendorong bagi BI untuk memangkas suku bunga. Namun apakah BI tega melihat rupiah makin merosot jika memangkas bunga? Inilah tarik-ulur yang akan terus berlangsung sampai ada titik terang di terowongan gelap menuju pemulihan ekonomi Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo