Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan baru pencairan JHT BP Jamsostek tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022.
Untuk memfasilitasi pekerja yang terkena PHK, pemerintah dan BP Jamsostek meluncurkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Di masa pandemi, klaim JHT BP Jamsostek meningkat pesat akibat banyaknya kasus PHK.
JAKARTA - Pemerintah kembali menerbitkan aturan baru soal pencairan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Dengan aturan ini, peserta BP Jamsostek, atau yang populer disebut BPJS Ketenagakerjaan, baru dapat mencairkan jaminan hari tua pada usia 56 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, mengungkapkan perubahan itu dilakukan untuk mendudukkan kembali fungsi JHT BP Jamsostek ke hakikatnya sebagai dana pensiun pekerja. “Karena dia (JHT) sifatnya safety net atau penyangga ketika pekerja sudah tidak produktif lagi. Maka, harus ada sejumlah uang tunai yang mereka terima saat pensiun,” ujar Dita kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan baru ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022, merujuk pada mandat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional. Dalam beleid tersebut, JHT hanya dapat dicairkan penuh ketika pekerja sudah memasuki usia pensiun, mengalami cacat total, atau meninggal. Ketentuan ini akan mulai diberlakukan tiga bulan setelah diterbitkan atau pada 4 Mei 2022 mendatang.
Berdasarkan pengamatan di lapangan selama ini, kata Dita, prinsip pencairan dana JHT telah bergeser dari hari tua menjadi masa muda. Sebagaimana diketahui, saat ini pencairan klaim JHT dapat dilakukan oleh peserta satu bulan setelah masa kerja berakhir, baik karena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun pengunduran diri, dengan catatan peserta belum mendapat pekerjaan baru.
Adapun skema iuran JHT adalah 5,7 persen dari upah, sebesar 3 persen dibayar oleh pengusaha dan sisanya oleh pekerja. “Kalau kemudian ketentuan pencairannya seperti sekarang, penggunaanya tidak sesuai dengan tujuannya yaitu hari tua, jadinya kan sia-sia.”
Kondisi itu terjadi karena aturan pun sebelumnya membolehkan pekerja mencairkan JHT-nya sebelum memasuki usia pensiun. Dalam Pasal 3 ayat 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015, tertulis bahwa manfaat JHT diberikan kepada peserta yang mencapai usia pensiun, termasuk juga peserta yang berhenti bekerja. Pada ayat selanjutnya dijelaskan, peserta yang berhenti bekerja meliputi peserta yang mengundurkan diri, terkena PHK, atau meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 merupakan peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015—yang merevisi PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. Pada 2015, pemerintah melalui PP Nomor 46 sempat menetapkan pencairan JHT hanya bisa dilakukan di usia pensiun. Namun ketika itu penolakan dari kalangan pekerja juga ramai terjadi. Kemudian pemerintah merevisi aturan itu dan membolehkan peserta JHT BPJS Ketenagakerjaan menarik dana JHT jika keluar dari pekerjaan atau terkena PHK.
Pekerja saat pulang kerja di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, 26 Januari 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat
Dita berujar, sebagai jembatan untuk mengatasi persoalan PHK, pemerintah dan BP Jamsostek menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Skema program JKP menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan alokasi yang telah dianggarkan saat ini sebesar Rp 6 triliun.
“Itu sebagai dana awal operasional. Lalu, pemerintah juga membayar iuran premi setiap bulan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya ada yang terkena PHK 50 ribu orang, nah itu didebet dari Rp 6 triliun itu. Jadi, murni (memakai dana) APBN,” kata dia.
Dia menjelaskan, pada era menteri-menteri ketenagakerjaan sebelumnya, JHT belum bisa dikembalikan kepada fungsinya karena program JKP belum siap untuk diluncurkan. “Kalau sekarang, semua sudah siap, kami akan kick off pada 22 Februari 2022. Jadi, kami menggeser JHT lalu mengisi kekosongan itu dengan JKP.”
Dita membantah tudingan bahwa kebijakan ini diambil karena kinerja keuangan dan investasi BP Jamsostek tengah limbung. Keuangan lembaga itu, kata dia, dipastikan dalam kondisi sehat, kendati di masa pandemi ini jumlah klaim JHT meningkat karena banyaknya pekerja yang terkena PHK ataupun mengundurkan diri. “Secara keuangan, BP Jamsostek sehat. Jadi, bukan masalah karena enggak ada uang.”
Wacana revisi Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 itu mencuat dalam rapat dengar pendapat Komisi IX DPR RI pada September tahun lalu. Waktu itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, mengatakan revisi aturan itu memang bertujuan mengembalikan fungsi JHT seperti semula.
Indah juga mengungkapkan, di masa pandemi ini ada peningkatan jumlah klaim JHT akibat banyaknya pekerja yang terkena PHK. Berdasarkan catatan BP Jamsostek yang dipaparkan dalam rapat tersebut, hingga Agustus 2021 ada sebanyak 1,49 juta klaim pencairan JHT yang didominasi kasus pengunduran diri dan PHK. Kemudian, mayoritas (75 persen) klaim dilakukan oleh peserta berusia di bawah 30 tahun dengan nominal saldo di bawah Rp 10 juta.
Tingginya jumlah PHK pada masa pandemi, kata Indah, menimbulkan penumpukan kebutuhan dana untuk klaim JHT. Selain itu, ada kemungkinan penumpukan klaim dana pensiun dalam waktu sepuluh tahun ke depan. "Kami memitigasi ketahanan dana (BP Jamsostek) pada 2030. Kami prediksi akan ada penumpukan klaim jaminan pensiun di tahun 2030. Mudah-mudahan ini bisa kita siapkan bersama," ujarnya.
Sementara itu, Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar-Lembaga BP Jamsostek, Dian Agung Senoaji, menuturkan, berdasarkan beleid anyar tersebut, peserta sejatinya masih bisa mencairkan sebagian saldo JHT miliknya.
Namun pencairan itu harus mengikuti ketentuan baru, yakni sebesar 30 persen pencairan digunakan untuk tujuan pemilikan rumah, atau 10 persen untuk keperluan lainnya. Ada pula syarat minimal kepesertaan selama 10 tahun. “Bagi pekerja yang terkena PHK, pemerintah telah menyiapkan program JKP dengan manfaat uang tunai, akses lowongan kerja, dan pelatihan kerja.”
BP Jamsostek memastikan pekerja akan menerima pencairan klaim JHT tepat waktu pada usia 56 tahun, meski status kepesertaannya telah dinyatakan nonaktif. Jika meninggal, pencairan klaim juga dapat dilakukan oleh ahli waris peserta. “Kami sebagai badan penyelenggara selalu mengelola dana peserta sesuai dengan regulasi yang berlaku dan dengan prinsip kehati-hatian,” ucapnya.
Dian menambahkan, BP Jamsostek menerapkan prinsip transparansi, dengan penyampaian saldo JHT melalui aplikasi Jamsostek Mobile (JMO) yang dapat diakses peserta. Jamsostek juga menyampaikan rincian saldo beserta pengembangannya setiap tahun melalui surat elektronik (e-mail) kepada peserta.
Ihwal program JKP yang disiapkan pemerintah, anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR, Saleh Partaonan Daulay, mengungkapkan payung hukum ketentuan JKP adalah Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law, sehingga penerapannya masih dalam status tanda tanya.
“Apakah ini sudah bisa diberlakukan? Bukankah Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini dikeluarkan setelah putusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat,” ujarnya. Agar tak menjadi bola liar di kalangan publik dan pekerja, Saleh meminta pemerintah kembali meninjau aturan tersebut serta melakukan diskusi mendalam dengan pihak-pihak terkait, khususnya asosiasi pekerja.
GHOIDA RAHMAH | VINDRY FLORENTIN
Baca Juga:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo