Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cita-cita Aksi Cepat Tanggap mengembangkan bisnis retail tak terwujud.
ACT melepas saham di Hydro agar laporan keuangannya mendapat predikat wajar tanpa pengecualian.
Gaji sebagian pegawai belum dibayar hingga sekarang.
DEBU menjejali pintu besi yang memagari ruko di kawasan Bukit Mampang Residence, Limo, Kota Depok, Jawa Barat. Papan nama bertulisan “Sodaqo Bahana, Belanja Kita Sedekah Kita, Powered by Hydro” masih terpancang di bagian atas ruko. Minimarket itu dulu bagian dari jaringan retail yang dimiliki Aksi Cepat Tanggap atau ACT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah warga yang tinggal di sekitar Sodaqo Bahana tak mengetahui siapa pemilik toko itu. “Lebih dari satu tahun tutup,” ujar Darmawan, seorang penduduk sekitar ruko, Jumat, 8 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akun Facebook Minimarket Sedekah mengangkat profil Sodaqo Bahana pada 2016. Dalam sebuah video disebutkan bahwa minimarket itu memiliki 25 rak berisi lebih dari 2.000 barang siap jual. Seorang kasir berseragam hijau lantas memperlihatkan struk pembelian. Dari total belanja Rp 45.500, pembeli sudah langsung bersedekah Rp 800.
Terdengar di video itu, “Pembeli yang ingin menyedekahkan kembaliannya bisa mendapat struk terpisah.” Pesan Tempo yang dikirim ke akun Facebook tersebut belum berbalas.
Sodaqo Bahana dikelola oleh PT Hydro Perdana Retailindo, perusahaan yang pernah dimiliki oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap. Sejumlah petinggi ACT bercerita, lembaga itu ingin mengambil kue bisnis retail dengan menyasar kalangan muslim. Caranya dengan menawarkan konsep bersedekah sambil berbelanja.
PT Hydro mendistribusikan barang ke sejumlah minimarket, antara lain Sodaqo Mart (merek dagang yang dipegang Hydro), 212 Mart, dan Warung Wakaf. Hydro juga membantu pendirian minimarket yang namanya bisa dipilih sendiri asalkan barang-barangnya disuplai oleh perusahaan itu. Mantan Area Manager Hydro yang tak mau disebut namanya mengatakan perusahaan yang berdiri pada 2016 itu sempat berjaya selama hampir tiga tahun.
Dalam sejumlah pemberitaan pada Maret 2018, Presiden Direktur PT Hydro Syahru Aryansyah mengatakan perusahaannya sudah mengelola 160 gerai milik masyarakat. Syahru menargetkan pertumbuhan minimarket mencapai 1.500 gerai pada 2019. “Insya Allah tahun 2022 kami akan punya 8.000 gerai,” ucapnya.
Dua mantan petinggi ACT bercerita, lembaga itu ikut memaksa mereka berbelanja di Hydro. Setiap bulan gaji mereka dipotong lebih dari Rp 500 ribu. Sebagai gantinya, mereka mendapat voucher untuk berbelanja di Sodaqo Mart—tak menjual rokok, alat kontrasepsi, dan minuman beralkohol—dengan nilai yang sama.
Mimpi Hydro dan ACT runtuh. Dua mantan pejabat Hydro bercerita, perusahaan itu limbung pada pertengahan 2019. Salah satunya, seperti dimuat majalah Tempo edisi 4 Juli 2022, sebagian uang Hydro diduga digunakan untuk kepentingan pribadi petinggi Aksi Cepat Tanggap.
Mantan Area Manager Hydro mengaku puluhan karyawan yang memiliki jabatan sama dengannya datang ke kantor perusahaan di Jalan Haji Abdul Ghani, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada akhir 2019. Di sana seorang petinggi Hydro mengumumkan akan ada keterlambatan gaji karena investor hengkang dari perusahaan.
Sejak Januari 2020, pembayaran gaji makin tersendat. Area Manager Hydro yang bergabung dengan Hydro pada 2017 itu mendapat upah Rp 5 juta tiap dua pekan. Keadaan makin buruk sejak April 2020. Karyawan tak lagi mendapat gaji.
Namun area manager yang bergabung ke Hydro dengan alasan hijrah dan sreg terhadap konsep berbelanja sambil bersedekah itu tetap bekerja. Ia bahkan rela mengeluarkan duit Rp 1,5-2 juta per bulan untuk bertemu dengan mitra Hydro. “Masalahnya, distribusi barang juga berhenti,” ujarnya.
Pada pertengahan April lalu, Hydro menarik mobil Daihatsu Sigra yang dipakai manajer tersebut. Bulan itu juga perusahaan berhenti beroperasi. Jaringan Sodaqo Mart pun rontok.
Dua narasumber yang mengetahui bangkrutnya Hydro mengatakan perusahaan itu hingga kini berutang sekitar Rp 50 miliar kepada pemasok barang, karyawan, dan mitranya. Untuk gaji pegawai saja Hydro menunggak Rp 5 miliar.
Pada Januari tahun lalu, puluhan pekerja Hydro menggeruduk kantor di area Gunung Putri dan menuntut pemenuhan hak yang belum dibayar. Tapi kantor itu telah berubah menjadi PT Global Waqaf Corporation, saudara kandung Yayasan Aksi Cepat Tanggap. PT Hydro sempat berada di bawah Aksi Cepat Tanggap sebelum aktanya diubah pada 5 Juni 2020.
Kantor Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang sudah tidak beroperasi di Depok, Jawa Barat, 8 Juli 2022. TEMPO/Subekti.
Masalah utang Hydro membuat pengurus Yayasan Aksi Cepat Tanggap menggelar rapat pada Rabu, 5 Februari 2020, di Menara 165, kantor pusat ACT di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Persamuhan itu membahas pelepasan saham PT Global Waqaf Corporation di PT Hydro.
Notula rapat yang diperoleh Tempo menyebutkan bahwa petinggi ACT menyatakan Hydro menjadi besar karena peran ACT dan PT Global Waqaf. Tapi, belakangan, ACT dan Global Waqaf ingin hengkang karena donasi tak semasif tahun sebelumnya. Nilai utang yang disepakati oleh ACT dan PT Hydro sebesar Rp 88,58 miliar.
Rapat juga menetapkan lini masa peralihan hak saham; peralihan aset di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, untuk pemenuhan audit; penandatanganan surat perjanjian utang-piutang; pernyataan pengakuan utang; hingga perubahan struktur direktur PT Global. Petinggi ACT lalu menggelar rapat lanjutan dengan pengurus Hydro di ruang Humanity 1 lantai 11 Menara 165.
Notula pertemuan berkategori rahasia itu menunjukkan bahwa petinggi ACT yang hadir meminta ada perubahan terhadap posisi utang Hydro. Tujuannya agar laporan keuangan ACT pada 2019 mendapat predikat wajar tanpa pengecualian. Setelah itu, Hydro pun beralih kepemilikan. Petinggi ACT melepas sahamnya dari Hydro. Kini 99 persen saham itu dimiliki oleh Syahru Aryansyah, yang menjabat direktur utama.
Dua narasumber yang hadir membenarkan isi dokumen tersebut. Direktur Legal ACT Decyantini Lompatan, yang hadir dalam pertemuan itu, enggan berkomentar. “Saya sudah tidak bekerja di ACT sejak awal 2020. Sebaiknya ditanyakan langsung ke pihak ACT,” tuturnya melalui WhatsApp, Sabtu, 9 Juli lalu.
Alih-alih utang Hydro terbayarkan, perusahaan itu berkonflik dengan petinggi Aksi Cepat Tanggap. Pada 2021, Syahru Aryansyah melaporkan pendiri ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dengan tuduhan penipuan dan pemalsuan akta autentik. “Kasusnya masih dalam penyelidikan,” kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi, Selasa, 5 Juli lalu.
Syahru Aryansyah enggan berkomentar soal kasus tersebut. Adapun Ibnu Khajar dan Ahyudin tak merespons permintaan wawancara Tempo. Saat berkunjung ke kantor Tempo pada Jumat, 1 Juli lalu, Ahyudin membantah jika Hydro dimiliki Aksi Cepat Tanggap. Ia menganggap persoalan utang itu urusan Hydro dan manajemen ACT. “Kalau saya masih di situ, saya selesaikan,” ujarnya.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA (DEPOK), DAVID PRIYASIDHARTA (JEMBER)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo