Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK harus membuka penyelidikan gratifikasi Lili Pintauli Siregar.
Ada upaya memutihkan gratifikasi.
Asal-usul uang juga harus diusut.
PERKARA gratifikasi yang menjerat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar bukan kasus ecek-ecek. Total pemberian memang “hanya” sekitar Rp 90 juta. Tapi perkara ini menunjukkan moral dan etika pimpinan komisi antirasuah sudah hancur lebur setidaknya tiga tahun belakangan sejak revisi Undang-Undang KPK diberlakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Citra KPK pun sudah tercoreng. Meski demikian, sekecil apa pun, harapan dan semangat pemberantasan korupsi harus tetap dinyalakan. KPK harus menggunakan momentum ini untuk menarik kembali simpati masyarakat dengan memidanakan Lili Pintauli Siregar. Undang-Undang KPK bisa memeriksa siapa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korupsi yang dilakukan Lili sudah terang benderang. Ia diketahui menerima tiket balap sepeda motor MotoGP Mandalika serta akomodasi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, dari PT Pertamina pada Maret lalu. Selama sepekan, ia menginap di hotel bertarif Rp 3-5 juta semalam. Yang paling memalukan, Lili sendiri yang meminta seluruh fasilitas tiket dan penginapan itu kepada Pertamina.
Tidak sampai di situ, perilaku lancung itu berlanjut. Sepulang dari Mandalika, Lili meminta anak buahnya “memutihkan” tiket dan akomodasi tersebut. Caranya, KPK seolah-olah menerima undangan dari Pertamina untuk menonton balap MotoGP Mandalika dengan membuat sejumlah dokumen bertanggal mundur. Lili juga melaporkan fasilitas gratis itu ke bagian gratifikasi KPK dua pekan setelah tiba di Jakarta.
Dewan Pengawas KPK sudah lebih dulu memproses perkara ini. Mereka mengklaim sudah mengantongi semua bukti, bahkan sudah memeriksa manajemen PT Pertamina. Tapi, mengingat rekam jejaknya selama ini, tampaknya Dewan Pengawas tak selalu bisa diandalkan.
Lili pernah diperiksa dalam pelanggaran kasus kode etik karena berkomunikasi dengan mantan Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Muhammad Syahrial, yang tengah dibidik KPK pada tahun lalu. Meski terbukti, Lili hanya divonis pemotongan gaji pokok sebesar Rp 1,8 juta selama 12 bulan oleh Dewan Pengawas.
Setahun sebelumnya, Dewan Pengawas juga hanya menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada Ketua KPK Firli Bahuri karena menggunakan helikopter gratis milik swasta untuk kepentingan pribadi. Lili juga tampak tak takut kepada Dewan Pengawas karena memilih mendatangi seremoni G20 di Bali ketimbang menghadiri sidang perdana kasus gratifikasi Pertamina itu pada Rabu, 6 Juli lalu.
Ramai diberitakan media, Lili sudah mengajukan surat pengunduran diri kepada Firli Bahuri. Tapi hal ini ditengarai merupakan akal-akalan untuk berkelit dari jeratan pidana.
Untuk memberikan efek jera dan agar perilaku buruk ini tak terulang, Lili harus dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dengan cara ini, asal-usul duit gratifikasi bisa ditelusuri. Proses hukum ini harus tetap berjalan meski nanti Lili angkat kaki dari Kuningan.
Yang juga patut diselidiki adalah apakah pemberian tiket berhubungan dengan kasus di Pertamina yang sedang ditelisik KPK.
Sejak akhir tahun lalu Komisi tengah menyidik perkara korupsi pengadaan gas alam cair (LNG) di perusahaan minyak negara dengan dugaan kerugian hingga Rp 2 triliun. Sebagai seorang pemimpin, Lili Pintauli Siregar seharusnya paham ia tak boleh berkomunikasi bahkan menerima apa pun dari pihak yang beperkara.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo