Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia mempunyai beberapa padang sabana.
Terbentuk karena beragam faktor.
Setiap sabana mempunyai habitat unik.
PESONA Savana Bekol di Taman Nasional Baluran terkenal di berbagai penjuru Tanah Air. Di musim hujan, kawasan ini menghijau. Sementara itu, di musim kemarau, padang rumputnya merentang sejauh mata memandang. Di kejauhan, terlihat Gunung Ijen yang gagah. Berada di Kecamatan Banyuputih, yang terletak di antara Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, di situlah terletak Taman Nasional Baluran. “Orang menyebutnya 'Little Africa'-nya Indonesia,” ujar Sutomo, Peneliti Ahli Madya Bidang Ekologi Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional, kepada Tempo, Kamis, 21 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taman Nasional Baluran disebut Afrika-nya Indonesia tak lain karena kita bisa menemukan beragam keunikan di tempat ini. Taman nasional ini terdiri atas beberapa tipe vegetasi, dari sabana, hutan mangrove, hutan musim, hutan pantai, hutan rawa, sampai hutan pegunungan. Uniknya, 40 persen area taman nasional ini didominasi tipe vegetasi sabana. Surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan Taman Nasional Baluran luasnya mencapai 25 ribu hektare dengan 10 ribu hektare padang sabana. Sementara di Afrika ditemukan vegetasi sabana untuk habitat jerapah, singa, dan gajah, di Baluran terdapat kerbau liar, banteng, merak, dan lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabana Baluran adalah salah satu ladang penelitian peraih gelar doktor filsafat atau PhD dari Edith Cowan University, Australia, ini. Sutomo memfokuskan perhatian pada ekologi ekosistem sabana di kepulauan Indonesia. Ia juga meneliti beberapa sabana lain di Indonesia, seperti di Bali barat, Nusa Tenggara Timur (Sumba), dan Nusa Tenggara Barat (Sumbawa). Ia menyebutkan sabana sebagai ekosistem di dataran rendah ataupun tinggi didominasi tumbuhan bawah atau rumput-rumputan dengan sekelompok pohon. Ini merupakan ekosistem yang unik karena transisi dari padang rumput ke hutan. Dia menjelaskan, definisi sabana di Indonesia belum banyak dipahami. Masyarakat memahami sabana di Indonesia sama seperti sabana di Brasil atau Australia. “Bukan padang rumput tapi juga bukan hutan,” ucapnya.
Sabana bisa terbentuk dari berbagai faktor, seperti kondisi alam, yakni peralihan suhu udara, kondisi tanah, topografi, dan bencana. Dengan beragam kondisi, sabana terbentuk karena berbagai faktor pula. Misalnya Savana Bekol di Baluran terbentuk oleh iklim kering dan faktor topografi. Di wilayah ini, hujan turun sebelum mencapai wilayah sabana.
Di Tambora, Sumbawa; dan Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, sabana terletak di dataran tinggi yang muncul karena faktor vulkani yang frekuensinya sangat intens dan berulang. Ada gangguan alam berupa letusan gunung yang membakar area tertentu sehingga terjadi suksesi sekunder. Tanaman yang ada tumbuh tapi tidak bisa berkembang lebih jauh. Di Nusa Tenggara Timur, sabana terbentuk karena faktor alami lantaran bulan kering lebih banyak. Sekitar 80 persen wilayahnya merupakan tutupan sabana.
Sekelompok rusa di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur, Januari 2019. Dok.Tempo/Muhammad Hidayat
Sabana di Indonesia, Sutomo mengungkapkan, juga menjadi habitat sejumlah flora dan fauna yang langka, dilindungi, dan makin terancam keberadaannya. Sementara di Baluran ditemukan habitat banteng dan kerbau liar, di sabana Bali barat terdapat habitat jalak Bali. Rupanya, jalak Bali ditemukan di dua ekosistem, yakni di hutan dan sabana. Sementara itu, kawasan sabana Pulau Padar dan Pulau Komodo di Taman Nasional Komodo menjadi habitat komodo. Secara esensial, sabana mendukung tumbuhan dan hewan yang ada. Dari hasil penelitian Sutomo, ekosistem sabana di Indonesia tidak hanya berupa rumput. “Rumputnya pun beragam, tidak kalah dengan di luar negeri. Ada herba dan anakan pohon,” tuturnya.
Mengutip artikel jurnal yang ditulis Sutomo, sabana di Flores, Nusa Tenggara Timur, mempunyai karakter sendiri. Ia menyebutkan di dalamnya terdapat 17 jenis tumbuhan yang termasuk 11 famili. Semuanya diidentifikasi di lokasi pengambilan sampel (Pulau Padar dan Komodo). Terdapat kesamaan komposisi spesies di sabana Komodo dan Padar, tapi karakter spesiesnya memiliki keunikan masing-masing.
Ia mendapati 6 habitat pohon, 6 semak, dan 4 rerumputan. Famili Asteraceae, Fabaceae, dan Poaceae merupakan famili tumbuhan yang jumlah spesiesnya paling banyak dibanding famili lain. Angka-angka ini cukup tinggi dibanding jumlah spesies dan famili tumbuhan di wilayah Indonesia bagian barat yang basah, seperti sabana di Baluran dan Alas Purwo (Jawa Timur), Bali barat, dan Rinjani. Sutomo juga menemukan 43 jenis tumbuhan dalam 26 keluarga di 4 sabana, termasuk 1 pakis dan 7 rumput atau tanaman mirip rumput.
Penelitian terbarunya bersama beberapa peneliti lain menemukan sabana di Nusa Tenggara Timur juga menyimpan potensi karbon. Potensi simpanan karbon terdapat pada lima tipe tumbuhan, yaitu eukaliptus putih (Eucalyptus alba), lontar (Borassus flabellifer), gewang (Corypha utan), cemara (Casuarina junghuhniana), dan bidara (Zizhipus mauritiana).
Sutomo juga menjelaskan, di wilayah tertentu, suksesi atau pertumbuhan sabana bisa dipercepat dengan campur tangan manusia melalui restorasi. Ini disebut teknik percepatan secara klimaks. Bisa pula sabana gembalaan memakai manajemen pembakaran yang terkontrol.
Di luar negeri, dia melanjutkan, penerapan metode pembakaran yang terkontrol pada sabana adalah hal lumrah. Namun ada aturan yang ketat dan pengawasannya tidak boleh sembarangan. Rumput, dia menerangkan, rentan terbakar. Pada faktor alami, temperatur yang tinggi atau kilat dan petir dapat dengan mudah membakar rumput di sabana. Agar kebakaran tidak merembet ke kawasan yang dilindungi, sekat berupa parit atau kawasan steril bisa digunakan.
Mengutip situs Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur, di kawasan ini setidaknya terdapat 1.025 jenis flora. Penelitian yang dulu dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Balai Besar TNBTS menemukan zona inti kawasan TNBTS didominasi beberapa famili, yaitu Moraceae, Araliaceae, Meliaceae, Euphorbiaceae, dan Apocynaceae. Pada tingkatan semak belukar, hutan didominasi famili Solanaceae, Rubiaceae, Verbenaceae, dan Zingiberaceae serta beberapa jenis liana yang termasuk anggota famili Piperaceae, Araceae, dan Polypodiaceae.
Selain itu, terdapat 158 jenis anggrek yang 40 jenis di antaranya tergolong langka, seperti Malaxis purpureonervosa (endemis Semeru selatan) dan Habenaria tosariensis (endemis TNBTS). Kawasan ini juga menjadi habitat 118 jenis burung, 11 reptil, 14 jenis insekta, dan 18 jenis mamalia, termasuk lutung yang menjadi satwa endemis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berbagai Sabana Kita"