Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA menyimpan kenangan seperti menyusun koleksi DVD dengan rapi dalam rak. Setiap keping mewakili satu periode tertentu dalam hidup kita. Tidak semuanya kita putar ulang. Ada yang berdebu. Ada yang tersembunyi di belakang dan kita bahkan tak ingat pernah memilikinya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Handry Satriago mengatakan kalimat itu pada suatu sore di rumahnya di Tebet, Jakarta Selatan. Saat itu, pada pertengahan 2020, wabah Covid-19 baru merebak di Indonesia. Dengan memakai sarung batik dan kaus hitam, Chief Executive Officer General Electric Indonesia itu tampak santai bekerja dari rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan suara yang tebal dia melanjutkan cerita hidupnya yang penuh warna kepada saya. Handry adalah pencerita yang ulung, mungkin karena dia pelahap buku yang rakus sehingga mampu bercerita secara tertata, logis, dan deskriptif.
Di antara kisah yang kerap ia ceritakan untuk memotivasi orang lain adalah saat Handry pertama kali mengalami kelumpuhan pada usia 17 tahun. Saat itu dokter menyatakan bahwa dia memiliki kanker getah bening yang menyerang tulang belakangnya. Jalannya sudah mulai goyah hingga membatasi aktivitasnya.
Padahal sejak kecil dia adalah anak yang aktif. “Kalau kamu hidup di Bendungan Hilir saat saya SD (1970-an) dan melihat ada layang-layang yang tak pernah turun dari siang hingga magrib, itulah layang-layang saya,” kata Handry. Ketika remaja dia aktif dalam berbagai kegiatan, dari klub ilmiah sampai panjat tebing.
Puncaknya terjadi di suatu sore. Dia terjatuh ketika melakukan rukuk di rakaat kedua salat asar. “Dan itu adalah hari terakhir saya bisa berdiri, terakhir saya bisa berjalan. Ternyata Allah ingin saya enggak bisa jalan. Ketika itu terjadi, saya merasa dunia gelap. Saya marah kepada Tuhan. Saya marah kepada semua hal. Saya merasa frustrasi luar biasa. Saya mengurung diri di kamar berhari-hari, enggak mau ketemu orang,” ujarnya.
Hingga akhirnya ayahnya mendobrak pintu kamarnya dan membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Ayahnya lalu duduk di dipan dan berkata, “Nak, Papa hanya ingin menyampaikan satu hal: hidup ini pilihan. Kalau kau memilih enggak mau ngapa-ngapain, tidur saja di sini, ya enggak apa-apa. Kami sebagai orang tua paling bisa mendukungmu.”
Sang ayah, Jahar Indra, melanjutkan, “Tapi, kalau itu pilihanmu, seumur hidup kau akan selalu merasa sedih. Karena kau akan selalu bandingkan hidup kau dengan hidup orang lain. Dan setiap hari kau lihat orang lain mampu melakukan sesuatu yang dulu bisa kau lakukan, maka kau akan sedih.”
Masih tetap duduk di dipan, ayahnya berkata lagi, “Ada pilihan kedua, Nak. Itu seperti mendorong mobil di jalanan yang terjal. Enggak boleh berhenti. Karena, kalau berhenti, mobilnya turun lagi. Harus terus didorong. Kalau kau capek, enggak apa-apa, pelan saja, tapi terus dorong. Jangan berhenti. Dulu kau suka manjat tebing, enggak mungkin kau panjat tebing di kamar ini. Kau suka main teater, enggak cukup kau main teater di kamar ini. Kau suka menangkap kupu-kupu, enggak masuk banyak kupu-kupu ke kamar ini.”
Hanya itu yang dikatakan ayahnya. Setelah itu sang ayah pergi ke kantor. Sepuluh menit sesudah itu, anak tersebut keluar dari kamar. Dia bilang kepada ibunya, “Ma, saya ingin sekolah. Tolong panggilkan taksi.”
Itulah momen kebangkitannya.
“Sejak hari itu saya dorong mobil saya. Susahnya setengah mati. Tapi, kalau saya tidak berani dorong mobil itu, enggak sampai saya di sini. Enggak mungkin saya bisa lihat lagi kampung saya di Payakumbuh itu. Enggak mungkin saya bisa lihat Lombok, New York, Paris, Gorontalo, dan seterusnya, karena untuk naik pesawat saja susahnya setengah mati,” ucapnya.
Handry Satriago kemudian menamatkan sekolah menengah atas. Bukan hanya itu, dia akhirnya menamatkan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, pada 1993 di bidang teknologi agroindustri. Handry juga kemudian mendapatkan master di bidang manajemen dari IPMI Business School, Jakarta, dan MBA dari Monash University, Australia, pada 1994. Pada 2010, ia mendapatkan gelar doktor di bidang strategic management dari Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Ia bergabung dengan General Electric Indonesia sejak lulus dari IPMI hingga 26 tahun kemudian. “Saya bergabung dengan General Electric pada pergantian tahun 1996 ke 1997. Ada banyak hal yang membuat saya bertahan begitu lama di sana. Pertama, di sini saya belajar banyak hal. Kedua, karena dalam pekerjaan ini saya bertemu dengan begitu banyak orang dari beragam latar belakang. Ketiga, mungkin juga karena tidak ada tawaran yang lebih asyik,” tutur Handry.
CEO General Electric Indonesia Handry Satriago di Jakarta, 29 Juli 2010. Dok. Tempo/Suryo Wibowo
Kariernya di General Electric Indonesia tergolong melesat. Tapi karena itu pula dia sempat tersandung. “Saya sempat menjadi jemawa. Kejemawaan yang meremehkan orang lain ini akhirnya mengganggu karier saya. Setelah menjadi fast tracker, karier saya sempat mandek selama beberapa tahun. Ini terjadi karena saya hanya peduli kepada atasan dan cuek bahkan meremehkan orang lain, dari customer sampai rekan kerja,” ucapnya.
Setelah menyadari kesalahannya, Handry kembali melaju di jalur cepat. Setahun setelah mendapatkan gelar doktor, dia menjadi CEO General Electric Indonesia. Ia orang Indonesia pertama yang menjabat CEO di perusahaan multinasional itu.
Sepanjang 55 tahun hidupnya, Handry tidak hanya “mendorong mobilnya” sendiri. Dia membantu orang lain “mendorong mobil” mereka, memberi semangat, memotivasi, juga banyak memberi kesempatan kepada mereka yang ingin maju. Kita bisa menjumpainya di banyak kegiatan filantropi, sosial, dan kebudayaan.
Di dunia maya, ketika Twitter masih riuh oleh kultweet, Handry kerap membagikan tip kehidupan dan karier yang kemudian dibukukan dalam dua jilid buku berjudul #Sharing. Keluwesannya dalam bergaul ini mungkin dipengaruhi oleh nilai yang ditanamkan ayahnya. “Jangan berteman karena latar belakangnya, Han,” kata ayahnya suatu waktu. “Bertemanlah karena bisa saling berbagi.”
•••
HANDRY Satriago lahir di Pekanbaru, Riau, pada Juni 1969. “Papa saya ingin memberi nama Hans, tapi karena terlalu pendek, jadinya Handry. Satriago adalah singkatan dari Satria Chaniago, marga Papa dan Mama,” ujar Handry tentang rahasia namanya. Kedua orang tuanya memang perantau dari Sumatera Barat.
Saat Handry berusia setahun, mereka pindah ke Bendungan Hilir atau Benhil, Jakarta. Mereka sempat berpindah ke beberapa tempat, seperti Slipi dan kompleks PWI di Cipinang, Jakarta Timur. Namun Bendungan Hilir-lah yang paling berkesan di benak Handry.
Di sanalah minat bacanya untuk pertama kali dipupuk. Anak-anak muda dari Sumatera Barat—famili ayah-ibunya—yang tinggal berdesakan di rumahnya di Benhil-lah yang membacakan buku-buku kepada Handry kecil. Mereka juga yang “meracuni” Handry dengan musik rock klasik yang dia gemari hingga dewasa.
“Mereka juga mempengaruhi selera musik saya. Lagu-lagu rock klasik, seperti 'Stairway to Heaven' dari Led Zeppelin, lagu The Beatles, atau Rolling Stones, sudah menancap di gendang telinga saya sejak kecil. Itu mungkin yang membuat saya percaya hingga saat ini bahwa 1970-an adalah era keemasan musik dunia. Era yang tidak akan terulang lagi,” tutur Handry.
Musik dan buku juga yang mempertemukan Handry dengan Dinar Putri Sriardani Sambodja, rekan kerjanya di General Electric. Dinar, menurut Handry, teman yang asyik. Keduanya gemar membaca, berdebat, menonton beraneka genre film, mengobrol yang seru sampai remeh-temeh, dan selalu ada musik. Dinar bermain piano, Handry memetik gitar sekadarnya. Handry melukiskan Dinar dalam metafora yang manis. “She is a rainbow with strong color of friendship,” ujarnya kepada Andari Karina Anom dari U-Mag. “Kami satu kubu banget, amat clicked, saya nyaman sekali bersamanya.” Dua sahabat ini menikah pada suatu hari di bulan Mei 2001 dan dikaruniai sepasang putri kembar.
Putaran musik kehidupan Handry berhenti pada 16 September 2023. Kanker getah bening kembali mendatanginya. Keping-keping kenangan hidup yang Handry ibaratkan seperti cakram digital itu memang sudah sampai di ujung rak. Tapi Handry adalah keping yang selalu hendak kita putar kembali. “Dari sekian banyak keping digital yang kita kumpulkan selama berpuluh tahun hidup, selalu ada satu atau dua keping favorit. Keping yang kita putar berulang-ulang dan selalu membuat kita tersenyum,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perginya Pendorong Mobil"