Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Hutan Kecil dan Tari Topeng di Depan Prasasti

Sebuah pentas langka digelar masyarakat Desa Kranggan, Malang selatan, Jawa Timur. Mereka menari di area prasasti Wisnuwardhana.

24 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 14.30. Rombongan penari wayang topeng Sanggar Sailendra dari Desa Kranggan, Kecamatan Ngajum, Malang selatan, Jawa Timur, tiba di hutan kecil yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari sanggar mereka di lereng Gunung Kawi. Hutan di Dusun Kemuning itu dipenuhi pohon tua tinggi. Di dalam hutan itu, terdapat dua artefak: prasasti aus yang sudah sama sekali tak terbaca aksaranya dan sisa yoni yang tak diketahui lagi lingganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para arkeolog memperkirakan dua artefak itu tinggalan era Wisnuwardhana, yang memerintah pada 1248-1268 Masehi. Orang pertama yang mendata dan meneliti prasasti itu adalah arkeolog Belanda, F.D.K. Bosch. Namun, sejak ditemukan Bosch, huruf-huruf di tubuh prasasti ini sudah pudar. Yang terbaca hanya angka tahunnya, 1178 Saka atau 1256 Masehi. Dalam sejarah, Wisnuwardhana dikenal sebagai raja yang menyatukan Tumapel dengan Kediri. Ia memberi nama baru untuk ibu kota Tumapel, Kutaraja, yakni Singosari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh pemerintah Belanda, prasasti warisan Wisnuwardhana tersebut dibiarkan in situ di hutan, tak diangkut ke museum. Pada 1965, saat terjadi huru-hara politik, prasasti itu terkena vandalisme. Tubuhnya disabet-sabet benda tajam sehingga rusak, meski kemudian utuh kembali setelah ditambal dengan semen oleh warga.

Warga tampak mengeramatkan dua artefak tersebut. Sebelum pertunjukan berlangsung, beberapa penari sepuh, juru kunci, dan tetua tampak khusyuk berdoa dengan berdiri sembari menyalakan dupa baik di depan prasasti maupun di sisa yoni. Pak Dasiyo, penari sepuh, saya lihat berdiri mengatupkan mata sambil menyorongkan topeng yang hendak ia kenakan dalam pertunjukan ke depan sisa yoni. Ia seolah-olah meminta topeng mendapat kekuatan.

Pagar yang mengelilingi kedua artefak dibelit kain poleng sehingga terasa sebagai bagian dari ritual Hindu. Tempat pertunjukan adalah sebuah pendapa alit di samping pagar yoni. Pendapa itu sehari-hari digunakan sebagai tempat para peziarah beristirahat atau lelaku. Geber atau tirai merah sederhana untuk backdrop sekaligus tempat keluar-masuk pemain dipasang menutupi satu sisi pendapa. Para pemain di belakang geber mempersiapkan diri. Perangkat gamelan diletakkan di tikar yang dihamparkan di tanah.

Pentas Dharmasima Kranggan Waranugraha Mapanji Smining Rat dari Sanggar Sailendra, di Kranggan, Malang, Jawa Timur, 16 September 2023. Tempo/Seno Joko Suyono

Siang itu, Sanggar Sailendra akan mementaskan sebuah lakon wayang topeng yang lain daripada yang lain. Judulnya: Dharmasima Kranggan Waranugraha Mapanji Smining Rat. Judul ini berarti penganugerahan tanah sima kepada Desa Kranggan oleh Mapanji Smining Rat. Mapanji Smining Rat adalah nama asli Wisnuwardhana. Biasanya Sanggar Sailendra mementaskan pertunjukan wayang topeng dengan lakon-lakon dari Mahabharata dan Ramayana sebagaimana wayang purwa atau wayang wong. Pada Maret 2022, misalnya, mereka menggelar pementasan Wahyu Cakraningrat dan pada Januari lalu menyajikan Rabine Abimanyu (Abimanyu menikah).  

Siang itu, para penari Desa Kranggan menunjukkan gairah besar. Mereka menampilkan lakon yang berkaitan dengan sejarah desa mereka di zaman Wisnuwardhana seolah-olah menjalankan misi suci. Mereka terkesan bangga desa mereka di era Wisnuwardhana dianggap sebagai desa istimewa sehingga dianugerahi penguasa Tumapel itu sebagai tanah perdikan dan dibebaskan dari pajak. Dari pemain sepuh sampai remaja, semua terlibat dalam acara. Naskah dibuat oleh dalang Pak Kasenam dan penari Pak Dasiyo. Bahkan para ibu pun turut terlibat sebagai niyaga atau penabuh gamelan.

"'Kranggan' dari kata 'ke-rangga-an'. Rangga biasanya adalah gelar yang digunakan pejabat. Ada kemungkinan Desa Kranggan di masa lalu ditinggali oleh pemuka-pemuka masyarakat,” kata arkeolog Dwi Cahyono yang banyak mendampingi proses pementasan. Banyak desa di wilayah kota dan kabupaten Malang termasuk desa tua.

Dari segi toponimi, nama-nama desa yang disebut di prasasti dari abad ke-8 sampai ke-14 atau dalam manuskrip seperti Negarakertagama dan Pararaton di kawasan Malang masih bisa dilacak sampai kini. Desa Balingawan yang disebut di Prasasti Balingawan bertarikh 891 Masehi, misalnya, kini diduga berubah menjadi Desa Mangliawan di kawasan Wendit, Kabupaten Malang. Desa Turyyan dalam Prasasti Turyyan yang dikeluarkan pada zaman Mpu Sindok kini bertransformasi menjadi Kecamatan Turen. Desa Panawijyan tempat masa kecil Ken Dedes yang disebut dalam Pararaton sekarang menjadi Kelurahan Polowijen di Kecamatan Blimbing, Kota Malang. 

Adapun Desa Jeru-Jeru, anak Desa Linggasutan yang disebut dalam Prasasti Jeru-Jeru dari masa Mpu Sindok, kini diduga menjadi Desa Jeru di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Adapun Pu Bulul yang disebut dalam Prasasti Kanuruhan yang inskripsinya dipahat pada punggung sebuah arca Ganesa kini menurun menjadi nama Kelurahan Bunulrejo di Kota Malang. Artinya, banyak desa di kawasan Malang yang telah berumur ratusan tahun. “Banyak tokoh dalam sejarah Singosari-Majapahit menggunakan nama 'Rangga', seperti Rangga Lawe, Rangga Wuni. Desa Kranggan boleh jadi dulu tempat tinggal seorang rangga,” ujar Dwi. 

Meski isi prasasti di Dusun Kemuning tak bisa dibaca, arkeolog dapat menduga isinya kurang-lebih sama dengan Prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan Kertanegara dan Wisnuwardhana setahun sebelumnya, yakni 1255 Masehi, yaitu tentang penganugerahan sima. Arkeolog menduga di situ pernah terdapat tempat peribadatan Hindu. Sebab, selain sisa yoni, terdapat arca lembu Andini di kawasan hutan itu yang kini tersembunyi dan terlilit akar pohon besar. Dalam Prasasti Mula Malurung juga disebutkan kebijakan Wisnuwardhana menonjol di Nusantara. “Prasasti Mula Malurung sesungguhnya berbicara tentang penyatuan Nusantara. Bukan tidak mungkin isi Prasasti Kemuning yang ada di hutan ini juga soal itu,” tutur Dwi.

Dramaturgi pementasan Sanggar Sailendra ditata linier. Mula-mula Panji Smining Rat dan permaisurinya, Waning Hyun, putri Paresmeswara, muncul. Keduanya bertemu dengan putra mereka, Kertanegara, beserta Kebo Anengah, Narasinghamurti. Topeng yang dikenakan berbeda-beda. Wisnuwardhana mengenakan topeng berwarna dasar hitam, sementara Waning Hyun memakai topeng berwarna dasar putih. Dalang menyebutkan ihwal pertemuan itu baik di Kedaton Singosari, Tumapel, maupun Kadiri. Tanpa menggunakan teks, dalang Kasenam berkisah panjang. “Dalang sepuh topeng Malang tinggal dua, saya dan Pak Kasenam,” kata dalang senior topeng Malang, Ki Soleh Adi Pramono, saat ditemui di sanggarnya, Padepokan Seni Mangun Dharma, di Tumpang sehari sesudah pementasan.

Pentas Dharmasima Kranggan Waranugraha Mapanji Smining Rat dari Sanggar Sailendra, di Kranggan, Malang, Jawa Timur, 16 September 2023. Tempo/Seno Joko Suyono

Cara penari mengenakan topeng Malangan dalam pertunjukan berbeda dengan penari topeng Cirebon. Topeng Cirebon mula-mula dibungkus dengan kain merah, baru kemudian dikenakan penari saat tampil. Penonton dapat melihat perubahan ekspresi penari dari belum memakai topeng sampai setelah menggunakan topeng. Sedangkan penari topeng Malang sudah sejak awal mengenakan topeng. Dalam pertunjukan topeng Malang, dialog-dialog antarkarakter diucapkan dalang. Maka dalang menjadi unsur utama pertunjukan yang mampu membawakan suasana. Selain itu, penari menggunakan topeng Malang dengan ikatan tiga tali, bukan dengan menggigit “lidah” yang ada di balik topeng. 

Gagah. Misterius. Sosok bertopeng yang bermahkota seolah-olah memiliki lar atau sayap. Begitu kesan melihat pertunjukan sore itu. Posisi tubuh para penari saat berdialog tegak-tegak sebagaimana sosok relief-relief di percandian Jawa Timur. Adegan pertemuan-pertemuan antara Wisnuwardhana dan Kertanegara, meski sudah dipadatkan, mendapat porsi besar. Plot tampak hendak menunjukkan bagaimana pentingnya kedua tokoh itu mematangkan rencana menjadikan Desa Kranggan sebagai kawasan sima. 

Pada bagian tengah, adegan memunculkan rombongan punakawan yang dipimpin seorang pandita. Para punakawan itu adalah lambang petani, rakyat jelata Desa Kranggan. Mereka menyambut kedatangan Wisnuwardhana dan Kertanegara. Klimaksnya adalah adegan pemasangan serta penahbisan prasasti dan lingga-yoni. Para penari membuat properti prasasti dan lingga-yoni dari bahan styrofoam. Prasasti awalnya dibungkus, lalu dibuka. Yang menarik, adegan pengeramatan atau pemberkatan lingga-yoni dan prasasti diawali dengan ucapan "bismillah" dan kemudian diikuti pembacaan doa agar lingga-yoni dan prasasti itu terjaga dari ancaman perusakan oleh makhluk halus dan manusia.

Acara berakhir menjelang magrib. Para penghayat dari desa-desa sebelah Kranggan berkumpul memanjatkan doa secara Islam bersama-sama. Mereka meminta syafaat dari Kanjeng Nabi sampai Abdul Qadir Jailani. Lalu diadakan tumpengan. Pertunjukan sekali lagi digelar di Sanggar Sailendra mulai pukul 8 malam dengan versi lebih lengkap, dihadiri tamu-tamu desa. Pertunjukan berlangsung sampai lewat dinhari. Pertunjukan wayang topeng Malangan seperti pergelaran wayang kulit, bisa berlangsung semalam suntuk sampai subuh. 

Sore itu, seperti juga di desa-desa Jawa Timur lain, kita menyaksikan betapa dekatnya warga dengan situs arkeologi. Situs tak dianggap sebagai dead monument, tapi living monument. Mereka berusaha menyinambungkan masa lalu Singosari-Majapahit dengan masa kini. Imajinasi dan data berkelindan. Dengan tari, masyarakat Desa Kranggan memaknakan Prasasti Wisnuwardhana dengan cara tersendiri. Wayang topeng, hutan keramat, darasan doa-doa Islam meminta berkah dan perlindungan, asap dupa, gamelan pelog, kain poleng bernuansa Hindu, tumpengan, juga prasasti asli dan prasasti palsu untuk kebutuhan pertunjukan sore itu seolah-olah menghablur menjadi satu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hutan Kecil dan Tari Topeng di Depan Prasasti"

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus