Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Antrean truk terjadi di sejumlah daerah karena kelangkaan solar bersubsidi.
Biaya operasi pengusaha angkutan membengkak hingga dua kali lipat.
Kelangkaan solar bersubsidi mengerek biaya angkutan dan harga bahan pokok.
PALEMBANG – Sudah berjam-jam Jumalus menanti untuk bisa mengisi solar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jalan Soekarno-Hatta, Palembang. Bersama puluhan pengemudi truk lainnya, ia harus antre untuk dapat mengisi solar bersubsidi meskipun tanpa kepastian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal truk yang dioperasikan Jumalus mengangkut buah-buahan dari Medan, Sumatera Utara, yang mutunya bisa terpengaruh bila pengantarannya terlalu lama. "Ini pun tidak ada yang jamin kami bisa mendapat solar meskipun sudah antre," kata dia saat ditemui Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antrean truk untuk membeli solar bersubsidi di Palembang sudah terjadi berhari-hari. Warga bahkan sempat mengeluhkan kemacetan akibat antrean kendaraan besar yang tidak teratur dan mengular sampai ke jalan raya.
Seorang warga di sekitar SPBU di Jalan Demang Lebar Daun, Palembang, Ali Rasyid, mengatakan antrean panjang truk dan mobil pribadi terjadi dalam sepekan terakhir. "Macet hingga ke jalan depan pintu masuk Rumah Sakit Islam Siti Khadijah, Palembang," ujar Ali.
Selain di Palembang, antrean terjadi di beberapa SPBU di Kota Bengkulu. Penumpukan truk dan bus terjadi seharian demi bisa menebus bahan bakar seharga Rp 5.150 per liter itu. Anggota Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat, Mufti Anam, mengatakan kemacetan juga terjadi di luar Jawa Timur. "Terjadi di daerah pemilihan saya, Pasuruan dan Probolinggo," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Sejumlah truk antre untuk mengisi bahan bakar solar bersubsidi di SPBU Paal Lima, Kota Baru, Jambi, 25 Maret 2022. ANTARA/Wahdi Septiawan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia, Gemilang Tarigan, mendapat laporan bahwa para pengemudi truk mesti menginap hingga dua hari untuk bisa mendapatkan solar bersubsidi. "Jam 12 siang solar sudah habis," ujar dia. Dampaknya, biaya operasi truk membengkak. Menurut Gemilang, hal ini terjadi di tengah kenaikan permintaan angkutan logistik yang sebesar 20 persen menjelang Ramadan.
Gemilang menilai bengkaknya biaya operasi akan mempengaruhi tarif angkutan logistik. "Ada subsidi atau tidak, sama saja. Kami terpaksa menaikkan tarif." Harga bahan bakar mencapai 35 persen dari total biaya operasi perusahaan logistik sehingga persoalan ini bisa mengerek biaya angkut hingga 50 persen.
Ketua Umum Perkumpulan Keamanan dan Keselamatan Indonesia (Kamselindo) untuk Perusahaan Truk dan Logistik, Kyatmaja Lookman, mengatakan keterbatasan pasokan solar yang menyebabkan antrean panjang ini mengakibatkan waktu pengiriman molor dari tiga hari menjadi lima hari. Hal ini juga membuat biaya operasi membengkak.
Menurut Kyatmaja, pengusaha sulit menggunakan bahan bakar non-subsidi yang selisih harganya bisa dua kali lipat. Dia mencontohkan, biaya truk Jakarta-Surabaya dengan solar bersubsidi sebesar Rp 1,2 juta. Jika memakai solar Pertadex yang tidak bersubsidi, biayanya bisa mencapai Rp 3,2 juta. "Selisih ini siapa yang mau tanggung?" ujar dia.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution, memastikan bahwa pasokan solar bersubsidi saat ini cukup hingga 21 hari ke depan. Namun, kata dia, penyalurannya disesuaikan dengan kuota yang diatur Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas). Menurut dia, saat ini konsumsi solar bersubsidi meningkat sehingga kuota bisa jebol. "Kami sudah kelebihan 10 persen dari kuota yang ditetapkan pemerintah," ujar dia.
Siapa Berhak atas Solar Bersubsidi
Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, mengatakan permintaan solar bersubsidi sektor retail bisa mencapai 16 juta kiloliter pada 2022, berselisih 2 juta kiloliter dari kuota pemerintah yang sebanyak 14 juta kiloliter. "Kami memperkirakan konsumsi naik 14 persen, tapi suplainya malah turun 5 persen," ujar dia.
Perkara itu, kata Nicke, makin ruwet akibat disparitas harga yang semakin jauh antara solar bersubsidi dan non-subsidi. Kesenjangan harga itu, menurut dia, menyebabkan terjadinya penyelewengan, seperti penggunaan solar untuk kendaraan industri dan pertambangan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, kendaraan industri dan pertambangan tidak boleh membeli bahan bakar bersubsidi.
Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, mengatakan akan terus mengawasi penyaluran solar bersubsidi. BPH Migas menerapkan sistem penyaluran solar per hari per kendaraan untuk menjaga agar kuota tak terlampaui. Caranya, mobil perseorangan hanya boleh membeli maksimal 60 liter per hari per mobil, kendaraan angkutan orang dan barang maksimal 80 liter per hari per kendaraan, serta angkutan roda enam atau lebih maksimal 200 liter per hari per kendaraan.
Pakar energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengingatkan jangan sampai pemerintah dan Pertamina menggunakan strategi mengurangi pasokan untuk menekan kerugian akibat biaya produksi membengkak di tengah mahalnya harga minyak dunia. Musababnya, strategi itu akan menjadi blunder dalam kondisi saat ini.
"Pengguna solar bersubsidi selain nelayan adalah truk pengangkut barang untuk distribusi kebutuhan bahan-pokok. Terhambatnya distribusi tersebut berpotensi makin menyulut kenaikan harga kebutuhan pokok, yang sebelumnya sudah mengalami kenaikan signifikan," kata Fahmy.
CAESAR AKBAR | PARLIZA HENDRAWAN (PALEMBANG) | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo