Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aturan konflik bersenjata diterima dunia internasional sejak Konvensi Jenewa pada 1949.
Konvensi Jenewa memunculkan terminologi kejahatan perang, termasuk konsep pengadilan internasionalnya.
Pakar hukum internasional menganggap Israel melakukan pembelaan diri yang tidak proporsional.
JAKARTA – Gelombang serangan Israel ke Jalur Gaza di Palestina selama lebih dari sebulan terakhir sudah diakui sebagai kejahatan perang oleh sebagian besar negara di dunia. Tindakan Israel membombardir berbagai fasilitas publik, dari rumah sakit, sekolah, sampai rumah ibadah, membuat musuh kelompok militan Hamas itu menyalahi Hukum Humaniter Internasional (HHI), yang merupakan pelanggaran paling serius dalam konflik antarnegara. Lantas apa itu kejahatan perang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlu diingat, aturan konflik bersenjata diterima dunia internasional sejak Konvensi Jenewa pada 1949. Konvensi yang menjadi cikal bakal pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini muncul setelah genosida terhadap 6 juta orang Yahudi oleh Nazi dalam Perang Dunia II pada 1939-1945. Dari konvensi itulah muncul terminologi “kejahatan perang”, termasuk konsep pengadilan internasionalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terdapat beberapa prinsip yang dikukuhkan dalam konvensi tersebut, dari kewajiban pelindungan staf medis dan rumah sakit di zona perang, hak perawatan medis untuk korban luka dalam peperangan, perlakuan manusiawi bagi tawanan perang, hingga seruan bagi pihak yang bertikai agar tidak menyerang infrastruktur sipil. Kelompok prinsip itulah yang dinamai HHI atau bisa juga disebut Hukum Konflik Bersenjata. Aturan ini berlaku untuk pasukan pemerintah ataupun kelompok bersenjata non-negara, seperti pejuang Hamas di Palestina.
Beberapa bentuk kejahatan perang berupa pembunuhan yang disengaja, perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, termasuk percobaan senjata biologis, deportasi atau pemindahan paksa, penahanan tidak sah terhadap orang yang dilindungi, serta serangan balasan terhadap obyek non-militer.
Sejumlah bayi yang baru lahir dikeluarkan dari inkubator setelah listrik padam di Rumah Sakit Al-Shifa, Gaza, Palestina, 12 November 2023. REUTERS.
Oleh dunia, pelanggaran HHI sering diistilahkan sebagai grave breaches dan identik dengan gross violation dalam hukum hak asasi manusia. Konsep kejahatan perang dipertegas juga dalam Statuta Roma 1998—konferensi politik pada 17 Juli 1998 yang menginisiasi pendirian Mahkamah Pidana Internasional. Kemudian berkali-kali muncul dalam pembahasan forum global, seperti International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).
Human Rights Watch yang berbasis di New York sudah mengindikasikan banyak kejahatan perang dalam konflik Israel-Hamas. Perang tersebut berisi serangan roket tanpa pandang bulu serta penyanderaan dan serangan balas secara disengaja kepada warga sipil. Jika diulas kembali, serbuan kelompok Hamas ke area barat daya Israel pada 7 Oktober lalu menewaskan lebih dari 1.400 orang dalam sehari, yang mayoritas merupakan warga sipil.
Israel lalu membalas serangan itu dengan rentetan bom udara ke permukiman, bahkan kamp pengungsi, di Gaza. Serangan udara Israel disusul serbuan di darat. Sampai 15 November lalu, warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel di Jalur Gaza mencapai 11.500 orang. Jumlah itu mencakup 4.710 anak-anak dan 3.160 perempuan. Laman AFP pada 16 November 2023 juga mencatat adanya 30 ribu korban luka-luka selama konflik sejak awal bulan ini.
Pembelaan Diri Tidak Proporsional Israel
Tentara Israel menggeledah kompleks Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, Palestina, 15 November 2023. REUTERS
Guru besar bidang hukum internasional dari Universitas Padjadjaran, Atip Latipulhayat, menilai pelaksanaan hukum konflik bersenjata masih terlalu bias. Menurut dia, sulit membayangkan jika aturan itu akan diikuti oleh dua kelompok yang bermusuhan. “Apalagi dalam konteks Israel sebagai penjajah,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Dalam hukum tersebut, seharusnya ada prinsip pembedaan antara kombatan dan warga sipil yang tidak dipersenjatai. Serangan militer seharusnya hanya mengarah kepada kelompok kombatan dan asetnya. Namun, dengan dalih memusnahkan persembunyian, kata Atip, tentara Israel menyerang fasilitas publik, contohnya Rumah Sakit Al-Shifa, kompleks pengobatan terbesar di Jalur Gaza. Padahal tudingan adanya terowongan atau markas persembunyian Hamas belum terbukti sampai saat ini.
“Self-defense mereka tidak proporsional,” kata dia. “Kejahatan perangnya semakin terbukti ketika memakai bom fosfor.” Senjata berbahan kimia itu menimbulkan luka bakar yang dapat menyiksa korbannya.
Pengamat politik internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menyatakan Israel tak lagi mengindahkan kecaman global. Hal ini berpotensi menjadikan negara itu sebagai penjahat perang yang bisa dibawa ke pengadilan internasional. Menurut dia, teror Israel tak pernah mereda. Kejahatan perang yang terlihat saat ini juga dilakukan di masa lalu. “Ada pada 2006, 2018 juga, lalu 2021, terus-terusan.”
YOHANES PASKALIS | AFP | REUTERS | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo