Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hingga saat ini, baik proyek revitalisasi kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP) maupun pembangunan kilang baru atau Grass Root Refinery (GRR) tak kunjung rampung.
Dari proyek tersebut, kapasitas pengolahan minyak mentah Pertamina diproyeksikan naik dua kali lipat, dari 820 ribu barel per hari menjadi 1,68 juta barel per hari.
Target operasi GRR Tuban diperkirakan mundur hingga 2028.
JAKARTA — Proyek penambahan kapasitas kilang milik PT Pertamina (Persero) menjadi tumpuan untuk menekan tingginya impor bahan bakar minyak. Namun hingga saat ini, baik proyek revitalisasi kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP) maupun pembangunan kilang baru atau Grass Root Refinery (GRR) tak kunjung rampung.
Rencana penambahan kapasitas kilang Pertamina sudah bergulir sekitar 10 tahun lalu. Pertamina menetapkan target revitalisasi di lima kilang yang berlokasi di Dumai, Riau; Plaju, Sumatera Selatan; Cilacap, Jawa Tengah; Balikpapan, Kalimantan Timur; dan Balongan, Jawa Barat. Dari proyek tersebut, kapasitas pengolahan minyak mentah Pertamina diproyeksikan naik dua kali lipat, dari 820 ribu barel per hari menjadi 1,68 juta barel per hari.
Baca juga: Realisasi Rendah Lifting Minyak Bumi
RDMP Balongan yang perkembangannya paling melesat. Merujuk pada laporan tahunan Pertamina pada 2022, pengerjaan fase pertama di kilang ini rampung per September 2022. Kapasitas pengolahan yang semula 125 ribu barel per hari naik jadi 150 ribu barel per hari.
Selain itu, baru RDMP Balikpapan yang menunjukkan kemajuan signifikan. Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional Hermansyah Y. Nasroen menyatakan bahwa konstruksi proyek ini sudah mencapai 76,7 persen. "Sebagian besar peralatan besar yang utama saat ini telah terpasang dengan baik dan akan segera diintegrasikan dengan kilang existing," tuturnya kepada Tempo pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan. Dok. ESDM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Target RDMP Balikpapan awalnya dipatok pada 2021, tapi kemudian mundur menjadi 2024. Pertamina sempat terganjal masalah pendanaan dari mitra pemodalnya, yaitu Mubadala, perusahaan investasi milik Uni Emirat Arab. Pada Juni 2023, perusahaan mengumumkan sudah mengantongi dukungan pembiayaan senilai US$ 3,1 miliar dari empat badan kredit ekspor dan 22 kreditor komersial.
Selain itu, pandemi turut menghambat konstruksi. Sumber Tempo menuturkan, Pertamina tengah berkutat dengan usul tambahan biaya dari kontraktor sebesar US$ 1,2 miliar akibat penundaan pekerjaan selama Covid-19 merebak.
Merujuk pada laporan tahunan 2022, Pertamina baru menyelesaikan pre-feasibility study untuk merevitalisasi kilang di Dumai, Plaju, dan Cilacap pada Mei 2022. Hasilnya, Pertamina membutuhkan studi lanjutan. "Saat ini progres studi terkait dengan optimasi konfigurasi dan optimasi capital expenditure untuk mendapatkan keekonomian yang optimal," begitu dilansir dokumen tersebut.
Selain itu, Pertamina memiliki proyek GRR Tuban. Pertamina berencana mendirikan fasilitas pengolahan kilang dengan kapasitas 300 ribu barel per hari. Tantangannya antara lain mencari pengganti calon mitra Pertamina dalam proyek ini, yaitu Rosneft Singapore Pte Ltd.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim beberapa investor mulai melirik proyek senilai US$ 13,5 miliar ini. "Ada beberapa yang ingin masuk ke sana," tuturnya. Target operasi proyek ini diperkirakan mundur hingga 2028.
Kilang Pertamina Unit Pengolahan (Refinery Unit) V, Balikpapan, Kalimantan Timur. ANTARA/Indrayadi TH
Proyek Revitalisasi dan Kilang Baru Mendesak Diselesaikan
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menuturkan bahwa Indonesia sangat butuh tambahan kapasitas kilang untuk memangkas beban impor BBM. Berdasarkan Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022, impor BBM tahun lalu mencapai 27,86 juta kiloliter, naik sekitar 12 persen secara tahunan. Di tengah kenaikan harga minyak, ongkosnya tak murah.
Komaidi mengatakan, dengan produksi minyak di dalam negeri yang terus turun, tambahan kapasitas kilang dengan impor minyak mentah masih akan tinggi. Namun, menekan impor BBM, menurut dia, bakal lebih banyak manfaatnya. "Dari perspektif ekonomi, kalau yang diimpor barang mentah, berarti ada nilai tambah yang tercipta di dalam negeri," kata dia. Artinya, bakal ada tenaga kerja yang terlibat hingga pengembangan industri pendukung untuk beroperasinya kilang.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan bahwa kapasitas kilang yang ada di dalam negeri sekarang sangat terbatas. "Kilang yang dibangun terakhir itu sudah 20 tahun lalu," tuturnya. Kondisi ini membahayakan ketahanan energi karena kebutuhannya sangat bergantung pada impor. Sedangkan harga minyak dunia cenderung fluktuatif.
Penyelesaian kilang yang berlarut-larut, menurut Fahmy, tak bisa dibiarkan. Dia berkaca pada hasil investigasi tim anti-migas dahulu yang mengindikasikan upaya-upaya untuk terus menghidupkan kebijakan impor.
Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eddy Soeparno mengatakan bahwa proyek RDMP dan GRR Pertamina juga dibutuhkan untuk mendukung program transisi energi. Selain menambah kuantitas pengolahan BBM, proyek ini bakal meningkatkan kualitas bahan bakar yang dihasilkan. Pertamina akan bisa menghasilkan produk berstandar Euro 5 yang lebih rendah emisinya. "Tentunya juga karena ketergantungan impor sangat jelas perlu kita kurangi," tutur Eddy.
VINDRY FLORENTIN | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo