Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pram Bertemu Gus Dur |
BAGI seorang Pramoedya Ananta Toer, Wisma Negara bukanlah barang baru. Sekitar 34 tahun lalu—saat ia menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia—Wisma Negara adalah tempat yang "biasa" buat Pram. Semua orang sudah mafhum, ketika itu, Bung Karno sangat dekat dengan tokoh-tokoh yang berhaluan kiri. Sastrawan kontroversial itu kembali menginjakkan kakinya di Wisma Negara. Ia bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid, selama 30 menit, Rabu pekan lalu. Kedua tokoh itu berbicara soal politik, sastra, dan juga masalah pribadi. Pram memanfaatkan kesempatan itu untuk menanyakan nasib 5.000 judul buku dan rumahnya di Rawamangun, Jakarta, yang disita tentara di awal Orde Baru. Gus Dur merespons. Pram segera diminta membuat daftar kekayaannya yang dulu sempat disita. Di awal rezim Orde Baru, selama 14 tahun, Pram hidup dalam pembuangan di Pulau Buru—tanpa pengadilan, tanpa pembelaan. Bagi laki-laki kelahiran Blora, Jawa Tengah, 74 tahun lalu ini, menyerah jelas pantang. Pada masa-masa sulit di kamp Pulau Buru, beberapa karyanya—Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan terakhir Rumah Kaca—secara diam-diam diselundupkan dan diterbitkan. "Kalau saya perlu nasihat, saya ingin ketemu Pak Pram," kata Gus Dur kepada Pram.
Prada 'T' Penembak Yun Hap? |
YAP Pit Sing dan Ho Kim Ngo tampaknya harus kembali bersabar. Kejelasan tentang pembunuh anak sulung mereka, Yap Yun Hap, 22 tahun, lagi-lagi membentur tembok. Kematian mahasiswa semester ketujuh Jurusan Teknik Elektro Universitas Indonesia dalam "Peristiwa Semanggi II" 25 September lalu itu masih menjadi X-file yang tidak mudah untuk diungkap. Sinyal positif dilontarkan pihak Laboratorium Forensik Fakultas Kedokteran UI. Dari hasil penelitian terhadap proyektil peluru, dipastikan bahwa peluru yang menembus leher Yun Hap berasal dari senjata laras panjang kaliber 5,56 mm. "Jenis pelurunya adalah MU5TJ buatan PT Pindad. Kemungkinan besar, peluru itu berasal dari senjata jenis SS-1," kata Dokter Budi Sampurna, Kepala Laboratorium Forensik Fakultas Kedokteran UI. Bola terus menggelinding. Pekan lalu, beberapa media massa nasional melansir "pernyataan" Kepala Dinas Penerangan Kepolisian RI, Brigjen Pol. Drs. Erald Dotulong, yang menyebut nama seorang prajurit TNI dengan inisial Prada "T" sebagai penembak Yun Hap. Berita itu segera dibantah. "Saya tidak pernah memberikan keterangan tentang Prada T. Hasil penyelidikan Puslabfor Mabes Polri hanya untuk kami, penyidik, dan hakim di pengadilan" kata Erald kepada Dwi Wiyana dari TEMPO. Sebuah tim penyidik gabungan telah dibentuk. Saat ini, tim yang diketuai Wakil Kapolda Metro Jaya Brigjen Pol. Sutanto itu sudah memeriksa 441 pucuk senjata dan 114 orang saksi. Toh, masih misterius. Erald Dotulong bilang belum tahu hasil penyelidikan tadi. "Saya sudah minta hasilnya, tapi tidak dikasih," kata Erald, yang Selasa pekan lalu dilantik menggantikan posisi Brigjen Pol. Drs. Togar M. Sianipar.
Konvoi Referendum Aceh |
SERATUS ribu massa berkumpul di Kampung Pusong—kawasan miskin berpenduduk padat—di Lhokseumawe, Aceh. Kain putih dengan tulisan "Referendum" dari cat merah terikat di kepala mereka. Dengan ratusan mobil dan puluhan sepeda motor, massa yang dikomandoi Sentra Informasi Rakyat Aceh (SIRA) itu mulai bergerak menuju Samalanga, kota kecil yang berjarak 80 kilometer ke arah barat Lhokseumawe. Mereka seperti laskar yang sedang menuju medan laga. Pagi itu tanggal 28 Oktober. Tapi mereka bukan hendak merayakan Hari Sumpah Pemuda. Masyarakat Lhokseumawe justru kembali menegaskan keinginan mereka melakukan referendum. Banda Aceh dilanda aksi serupa. Puluhan ribu massa meringsek masuk halaman Gedung DPRD I Aceh. Gedung rakyat yang terletak di Jalan Tgk. H.M. Daud Beureueh itu ingar-bingar dengan teriakan menuntut referendum. Massa yang sebagian besar terdiri atas pemuda itu segera mendeklarasikan "Sumpah Pemuda Aceh". Isinya, "Pemuda Aceh siap mati untuk masa depan dan martabat Aceh." Agaknya, tuntutan untuk melakukan referendum ini tidak main-main. Kali ini, Jakarta pun menanggapi tuntutan itu secara serius. "Penyelesaian masalah otonomi daerah Aceh menjadi agenda utama yang sangat mendesak. Rakyat Aceh perlu kucuran dana yang cukup, bukan referendum," kata Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo