HAMPIR bersamaan dengan terbentuknya kabinet persatuan, ada tiga predikat baru yang dilekatkan pada Indonesia akhir-akhir ini. Pertama, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kedua, negara paling korup nomor tiga di dunia (berdasarkan Corruption Perception Index yang disiarkan di Berlin, Selasa, 26 Oktober 1999). Ketiga, negara yang paling sedikit meraih investasi asing secara langsung (direct investment) di Asia—menurut data perusahaan pemantau dana investasi: Lipper Asia Ltd.
Julukan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia mungkin ditujukan kepada rakyat dan masyarakat pemilih negeri ini yang telah menunjukkan betapa tinggi kesadaran dan partisipasi mereka dalam pemilu. Celakanya, kenyataan ini bersisi-sisian dengan prestasi sebagai negara paling korup ketiga di dunia—berkat elite dan birokrat yang menjadikan korupsi sebagai budaya mereka. Adapun rekor sebagai peraih dana investasi asing paling rendah di Asia, nah, ini dapat dijadikan tolok ukur bagi country risk Indonesia yang kian tinggi gara-gara kinerja pemerintahan Habibie (kasus pergolakan di berbagai daerah, Tim-Tim, dan lain-lain). Di mata investor asing, risiko menanamkan modal di sini begitu besar, sehingga mereka mengalihkan dananya ke negara lain.
Adakah makna tiga rekor tersebut dalam kaitannya dengan pengumuman nama-nama menteri kabinet persatuan yang disiarkan Selasa lalu? Maknanya secara sederhana ialah bahwa korupsi dan tingginya country risk merupakan dua tantangan yang harus dihadapi Gus Dur-Megawati. Kedua kelemahan itu jelas menunjukkan nilai minus dalam rapor elite politik dan elite bisnis di Indonesia. Andaikata praktek korupsi bisa dikurangi—Gus Dur menghendaki para menterinya bersikap jujur dan hidup sederhana—hal itu akan berdampak positif pada country risk. Walaupun faktor stabilitas politik biasanya paling menentukan tingkat country risk, investor asing tentu akan lebih senang kalau berurusan dengan pejabat yang bersih dan memiliki integritas. Sikap investor menghadapi pengusaha akan sama saja. Tanpa mark-up, manipulasi tender, dan bentuk-bentuk kolusi lainnya, bisnis bisa dilakukan dengan lebih cepat, efektif, dan bermartabat.
Membawa Indonesia kembali ke alam bisnis yang sehat dan bermartabat itulah mungkin salah satu dari beberapa tugas utama tim Ekuin yang dipimpin Kwik Kian Gie. Di sisi lain, mempermasalahkan track record anggota tim tersebut tentu sah-sah saja. Hanya, bukankah akan lebih pantas kalau kita tidak tergesa-gesa dan berbusa-busa? Mayoritas rakyat Indonesia telah mampu bersikap dewasa. Mahasiswa yang pemberang itu pun kini pandai menahan diri. Bahkan, komentar para investor asing mencerminkan adanya kepercayaan serta optimisme kepada Gus Dur-Megawati. Sedikit berlebihan, Robert Zielinski dari Lehman Brothers Asia sempat mengatakan, "Indonesia mungkin saja akan mencengangkan dengan kebangkitannya karena ada orang-orang yang tepat di pemerintahan...."
Sebaiknya kita tidak membayangkan yang muluk-muluk seperti Zielinski. Sekarang kita agak tertolong karena sejak April 1999 harga minyak naik dan penerimaan negara mencatat peningkatan sekitar Rp 20 triliun. Harga bahan pokok bisa ditekan karena hasil panen juga lumayan bagus. Untuk dua bulan ke depan, anggaran aman. Tim Ekuin dapat berkonsentrasi menyusun RAPBN 2000-2001, di samping berunding dengan IMF seraya mencari pemecahan bagi dua hal paling mendesak: rekapitalisasi perbankan serta restrukturisasi utang. Dan sementara menunggu, marilah berusaha untuk arif dan bijak dengan tidak mengharap terlalu banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini