Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAWURAN, demonstrasi, tawuran, demonstrasi .
Bagaimanakah wajah siswa dan mahasiswa Indonesia yang sesungguhnya? Peduli akan nasib bangsa (dengan demonstrasi) atau gemar kekerasan (dengan tawuran)?
Itu akan menjadi salah satu pekerjaan rumah yang berat untuk Menteri Pendidikan Nasionaldemikian kini nama departemen baru ituyang kini dijabat oleh Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin. Saat Presiden K.H. Abdurrahman Wahid meneleponnya ke Washington, karena saat itu Yahya tengah menjabat sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar RI sejak 1997, untuk menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Yahya mengaku bahwa tugas yang dibebankan di pundaknya cukup berat. "Oleh karena kita mengelola obyek yang dinamis, terus tumbuh dengan banyak kendala," tuturnya kepada Dwi Arjanto dari TEMPO dalam sebuah wawancara khusus.
Lahir di Bumiayu, Jawa Tengah, 56 tahun silam, Yahya memang tumbuh dan hidup dalam dunia pendidikan. Doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology itu sebelumnya juga dikenal sebagai Dekan Fisipol Universitas Gajah Mada dan pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah. Bagi Yahya Muhaimin, salah satu persoalan murid sekolah adalah cara berpikir, dan seharusnya itu diatasi dengan banyak membaca karya sastra. Tampaknya dunia pendidikan kita akan mulai memperhatikan "kehalusan budi" dengan melancarkan pendidikan membaca karya sastra. Ini sebuah kejutan yang menyenangkan karena persoalan ini kurang disentuh oleh menteri-menteri sebelumnya. Berikut adalah petikan wawancaranya setelah ia dilantik bersama menteri-menteri lainnya pekan silam:
Apa saja yang akan Anda kembangkan dalam pendidikan di Indonesia?
Saya ingin lebih berkonsentrasi ke pendidikan dasar, yang sudah seharusnya diangkat lebih serius. Sebab, banyak hal-hal yang terjadi disebabkan lemahnya output pendidikan dasar. Saya tak akan mengubah sistem pendidikan. Kalau toh berubah, itu bukan karena saya, tapi karena proses yang berlangsung. Saya juga tak akan mengubah sistem kurikulumnya. Biarlah akan berubah sendiri.
Bagaimana konkretnya orientasi ke pendidikan dasar itu?
Saya ingin beberapa hal yang teknis dan mikro, seperti mengusahakan supaya anak lima tahun itu betul-betul siap baca tulis. Artinya, mereka bisa membaca dengan benar, dengan pemahaman yang benar, dan menulis dengan baik. Ini maksudnya bukan sekadar menulis, tapi fokusnya kreativitas, misalnya membaca puisi dan novel. Pada saat yang sama, kami perlu menggerakkan anak-anak agar mereka suka baca-tulis, baca puisi, baca novel. Ini memerlukan partisipasi dari orang tua, misalnya jangan meletakkan majalah/media untuk orang dewasa sembarangan; jangan sampai TV menayangkan program yang didominasi tayangan kekerasan, berbau porno; jangan sampai dunia hiburan dipenuhi dengan substansi kekerasan dan seks saja.
Itu butuh partisipasi dari orang tua dan pihak stasiun televisi. Di negara maju seperti Amerika Serikat, yang notabene begitu bebas, tak akan ditayangkan film-film yang keras atau film-film dewasa pada jam prime time, 19.00-21.00. Demikian juga TV kabel.
Selain itu, kita harus menyediakan bacaan-bacaan yang bisa memberikan wawasan kepada anak-anak dengan baik. Saya senang mereka bisa membaca sastra. Ada kesalahan persepsi yang besar bahwa mendalami sastra adalah untuk menjadi penyair. Bukan itu maksudnya. Puisi itu mempunyai pengaruh terhadap cara berpikir kita, yaitu kehalusan budi. Kehalusan budi bukan berarti tidak bisa kritis. Anak-anak harus membaca sastra itu agar mereka mempunyai wawasan yang luas, bisa berpikir yang beradab. Karena itu, sastra penting.
Kedua, anak-anak SD harus memahami prinsip-prinsip dasar mengenai prinsip ilmu dasar matematika, biologi, fisika. Kalau sudah menguasai konsepnyabukan dengan hafalananak didik usia kelas dua atau tiga nanti akan berkembang cepat. Jika mereka hanya menghafal, cara berpikirnya akan sempit. Karena itu, kita memerlukan guru yang telaten dan juga lingkungan yang memadai.
Mudah-mudahan (untuk pelaksanaan ini) ada uangnya. Kami ingin membuat semacam resource center untuk ilmu-ilmu terapan.
Bagaimana dengan pendidikan menengah?
Saya ingin sekali pendidikan dasar dibenahi dulu. Kalau pada tingkat dasar bagus, insya Allah, nanti pada tingkat SMP-nya lebih bagus. Saya akan berusaha mencari formula, suatu model partisipasi orang tua pada pendidikan dasar itu. Sebab, seperti di Amerika Serikat, para orang tua masih memberikan perhatian pendidikan kepada anaknya. Tidak di-jor klowor, dilepas bebas. Jangan sampai anak-anak suka bolos. Kalau mereka melawan guru, ya, diberikan sanksi. Kalau anak-anak tamat SD lebih mantap, insya Allah, tawuran enggak akan banyak terjadi.
Bagaimana dengan pengembangan pendidikan tinggi?
Saya juga akan lebih banyak memikirkan mengembangkan pendidikan tinggi swasta agar bisa lebih berperan. Jadi, setiap tahun ajaran baru, orang tidak hanya antre masuk UI, UGM, ITB, tetapi juga mengejar perguruan tinggi swasta.
Dalam hal perguruan tinggi, otonomi daerah juga mesti meningkatkan peran swasta. Saya ingin ada pemberdayaan perguruan tinggi swasta. Mudah-mudahan krisis cepat berakhir sehingga para pengusaha bisa membantu pendidikan lebih konkret lagi. Contohnya, Telkom tengah bekerja sama dengan 22 universitas dengan memberi beasiswa. Nantinya, mereka itu direkrut Telkom. Itu hal bagus, walaupun masih terbatas. Nantinya mungkin bisa seperti Rockefeller Foundation atau Ford Foundation, yang betul-betul mempunyai pos anggaran untuk memajukan dunia pendidikan.
Kasus Lippo lain lagi. Lippo mengadakan sendiri sekolah yang istimewa. Saya akan lihat, betulkah kita memerlukan sekolah eksklusif seperti itu? Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik? Sebab, implikasi dari sekolah-sekolah semacam itu besar, misalnya menyebabkan kecemburuan sosial yang luar biasa.
Bagaimana kebijakan konkretnya untuk pemberdayaan perguruan tinggi swasta?
Konkretnya, diperlukan penyediaan dosen-dosen ke perguruan tinggi swasta. Saya kurang tahu nanti bagaimana: apakah dengan mengimbau perusahaan-perusahaan ikut membiayai dengan suatu pola tertentu, atau kita lebih bisa meyakinkan pihak luar negeri seperti Amerika Serikat, Jepang, atau Inggris.
Apakah Anda akan membuat perubahan yang besar?
Insya Allah, saya tidak akan mengubah-ubah yang macam-macam dari para pendahulu saya. Apa pun yang sudah dicapai pendahulu saya, akan saya teruskan. Link and match itu bagus sebetulnya, tapi penerapannya kurang bagus. Jadi saya perlu membuat kebijakan yang langsung implementatif. Membuat kebijakan dan tindakan yang populis itu mudah. Tetapi membuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah itu jauh lebih sulit.
Apa kekurangan di dalam pendidikan di Indonesia?
Partisipasi dari masyarakat kurang. Para pejabat kurang dedikatif, termasuk guru-gurunya. Kalau kita kurang dedikasi, sebesar apa pun gajinya, tak akan lebih baik. Dedikasi berkaitan, antara lain, dengan masalah penghargaan. Para pejabat, termasuk guru-guru, memang gajinya kurang, tapi insya Allah kalau ada dedikasi, itu akan enak.
Apakah Anda akan mengusahakan peningkatan gaji guru?
Iya. Saya ingin nanti kalau pemerintah berencana menaikkan gaji pegawai negeri, saya mohon memberikan perhatian khusus pada guru. Tapi gurunya, ya, jangan nggragas (serakah, Red)
Bagaimana pandangan Anda tentang pendidikan untuk anak-anak pinggiran seperti anak-anak jalanan?
Nanti saya segera minta riset dan laporan lengkap dari pihak yang bertanggung jawab. Di mana-mana dikembangkan pendidikan luar sekolah untuk anak-anak pinggiran. Saya akan pelajari sehingga ada pemecahannya, tetapi tentu kita membutuhkan koordinasi dan bantuan dari departemen lain.
Bagaimana mengatasi kekurangan biaya untuk pendidikan karena dari angka APBN 1999-2000 saja, pos anggaran untuk pendidikan hanya 6 persen, sedangkan di sejumlah negara maju mencapai 20 persen.
APBN kita kecil. Barangkali dibandingkan dengan jumlah operasi anggaran Universitas Harvard, Amerika Serikat, jadi kecil sekali. Dengan jumlah APBN yang sedikit, ditambah persentase yang sangat sedikit (6 persen), itu kan gawat. Padahal tidak ada pendidikan yang tidak dengan biaya. Pendidikan mahal karena itu memang investasi masa depan. Kuncinya, kita efisien. Repotnya, kalau anggaran pendidikan juga bocor.
Apakah Anda berupaya menaikkan anggaran pendidikan?
Iya. Kalau enam persen memang kecil. Tetapi nanti saya akan pelajari dulu idealnya anggaran 20 persen di negara maju tersebut.
Bagaimana sikap Anda tentang mahasiswa yang berdemonstrasi?
Oh, ya, silakan. Itu bentuk kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat. Yang penting, jangan dengan kekerasan. Demonstrasi itu salah satu teknik berpolitik untuk memengaruhi kebijaksanaan. Untuk melakukan pembaruan, silakan saja. Supaya demonstrasi tidak berlebih-lebihan, pemerintah juga harus sensitif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo