Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Abdurrahman Wahid

Kangen Kacang

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMINGGU sudah Abdurrahman Wahid, 59 tahun, mendiami Wisma Negara. Kini, ia mulai betah. "Sekarang tidur saya nyenyak. Kalau dulu, jam 04.00 kan sudah bangun karena rumah di dekat masjid," ujar presiden keempat Indonesia itu saat berbicara kepada para pemimpin media massa, Rabu pekan lalu. Memang, rumahnya di Ciganjur bersebelahan dengan masjid, bahkan kamar Gus Dur—demikian presiden ini ingin tetap disapa—persis berhadapan dengan beduk.

Itu dalam urusan tidur. Tapi, tidak demikian halnya dalam masalah protokoler. Sebagai warga pesantren NU yang egaliter, Gus Dur tak pernah mengenal aturan yang begitu kaku. Ketidaksukaan itu dinyatakannya terus terang dalam pertemuan di atas. Tugas protokoler, katanya, adalah mengatur orang, bukan membatasi.

Faktanya, memang tak selamanya pihak protokoler bisa mengatur presiden yang satu ini. Ia tak berubah seperti ketika masih tinggal di Ciganjur, menerima teman-temannya sesama kiai yang hanya mengenakan sandal jepit dan sarung, atau mengobrol tanpa mengenal waktu. Ini juga yang terjadi ketika ia ngobrol cerita-certa lucu dengan K.H. Nur Iskandar S.Q., pemimpin Pondok Pesantren Ashidiqiyah, Jakarta, pekan lampau. Setelah satu jam, pihak protokoler memberi isyarat kepada Kiai Nur agar pulang sehingga Gus Dur bisa istirahat. Mendapat isyarat itu, Gus Dur bukannya menurut, malah membawa tamunya ke kamar tidurnya untuk melanjutkan obrolan. "Yo, ngeneiki presiden (Ya, seperti inilah presiden)," ujarnya santai kepada Kiai Nur.

Dalam soal makanan, Gus Dur masih punya sedikit ganjalan. Meski makanan di Wisma Negara enak-enak, ada satu makanan kecil kegemarannya yang dikangeninya: kacang kulit. Maka, ketika Wakil Sekjen PBNU Arifin Junaedi mengunjunginya pada saat awal ia jadi presiden, lelaki yang doyan makan itu memintanya mencarikan nyamikan tersebut di luar wisma.

Jelaslah bahwa protokoler kepresidenan tak bisa mengubah Gus Dur. Memang, sebagai kepala negara, Gus Dur mengenakan setelan jas dan dasi pada saat resmi, tapi selebihnya ia lebih sering mengenakan pakaian dinasnya, batik lengan pendek. Sepatu sandal masih tetap alas kaki kebesarannya. Gus Dur tetap lelaki yang senang humor dan tak ingin memutus hubungan dengan masyarakat. Maka, selain membuka dialog dengan wartawan dan umat, ia juga tak ragu menemui orang yang dianggap melecehkannya (grup lawak Bagito, misalnya) atau menemui para demonstran karyawan Departemen Penerangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus