TANAH Arab kini, apalagi dulu, bukan surga. Sejak minyak
membersit, satu dasawarsa silam, juga bukan lagi semata padang
pasir yang gersang. Gubuk tanah liat sudah berganti dengan
pencakar langit. Jalan sudah membelah gurun yang tandus. Bahkan
air laut pun sudah mereka tawarkan untuk menghijaukan tanah yang
kerontang.
Negeri yang sedang berubah itu adalah Arab Saudi, Kuwait,
Persatuan Emirat Arab, Bahrain, Qatar, dan Oman - semuanya
anggota organisasi negara penghasil minyak (OPEC). Kini, akibat
melorotnya harga minyak, John Browning tergoda untuk bertanya:
"Apa yang dapat dikerjakan penguasa dan rakyat negeri itu
sekarang?"
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Browning mencoba
menurunkan ulasan panjang dalam majalah The Economist, edisi 19
Februari:
Dengan membangun infrastruktur pelabuhan, jalan, telekomunikasi,
jaringan listrik, tulis Browning, para sultan, raja, dan sheikh
Semenanjung Arab telah memberikan kepada rakyatnya benda
bernilai melebihi emas. Karena mereka telah meletakkan dasar
bagi pengembangan ekonomi modern.
Mereka juga menyemaikan petrodollar dalam usaha perdagangan
bebas - tentu saja dalam batas-batas yang dibenarkan hukum dan
tradisi Islam. Dengan jalan itu mereka berharap tetap berjaya
setelah nanti minyak menyusut atau lenyap sama sekali.
Kini, sepuluh tahun setelah uang minyak ditanam, perkembangan
ekonomi mereka ternyata belum tumbuh sehat. "Tapi nasib baik
masih menyertai mereka," tulis Browning. Harga minyak masih
melambung dan persediaan masih melimpah.
Sesudah sidang OPEC di Jenewa, Februari lalu, negara-negara Arab
itu dihadapkan pada pilihan: menutupi kerugian dengan
meningkatkan produksi, atau menerapkan kebijaksanaan pajak. "Ada
beberapa alasan yang memaksa mereka mengambil pilihan kedua,"
tulis Browning.
Soalnya, meningkatkan produksi di tengah persediaan minyak yang
melimpah, bisa mempercepat ambruknya harga ke tingkat yang
disebut collapse. Kalau sudah begini, sistem perbankan dunia
bisa gawat. Dan krisis di dalam perekonomian dunia, konon,
membuat setiap orang menjadi gembel.
Dengan menekan produksi, stabilitas harga dapat memang
dipertahankan. Kalaupun jatuh hanya sekitar 10-20%. Dan dunia
masih mudah menanggulangi penurunan harga dalam tingkat itu
serta bisa menerapkan biaya bahan bakar yang lebih rendah dalam
pertumbuhan ekonomi baru.
Semenanjung Arab juga akan untung. Alasannya: Pertama, lebih
memudahkan pembangunan pabrik petrokimia dan kilang minyak di
bagian dunia lain yang memang sedang dirintis. Kedua, pengawasan
lebih ketat terhadap pengeluaran pemerintah dapat membantu para
usahawan dari jazirah Arab dari sekadar bergerak di bidang yang
cepat mencetak untung seperti yang mereka nikmati pada 1970-an.
Selain itu juga akan mendorong mereka menekuni bidang usaha
berjangka panjang - perbankan dan pabrik yang diperlukan bagi
pertumbuhan ekonomi negeri itu.
Mempertahankan tingkat kehidupan pendapatan per kapita paling
tinggi di dunia tak akan mudah bagi generasi Arab mendatang bila
angkatan sekarang salah langkah. Sebab, jika pendapatan
nonminyak tidak mampu menggantikan yang hilang dari minyak bumi,
ekonomi mereka akan oleng.
Tak cuma itu yang jadi soal. Mereka juga harus membenahi masalah
perekonomian yang unik dan sulit. Sebab mereka sudah salah
langkah ketika hasil minyak melimpah ruah. Waktu itu mereka
bukannya mengelola industri padat karya, malah langsung terjun
langsung ke industri padat modal.
"Oleh karena itu, kini mereka harus memulai lagi dari awal,"
tulis Browning. Kendati infrastruktur sebagian besar sudah tidak
menjadi masalah, mereka harus meningkatkan diri di bidang tenaga
kerja, institusi, dan pasar.
Di bidang tenaga kerja, banyak lapangan yang diisi tenaga impor:
untuk tenaga staf mereka mempekerjakan orang Barat, Pakistan,
Mesir, dan Arab lainnya. Sedang orang Asia non-Arab untuk tenaga
kasar. Tapi mereka tentu tidak bisa terus menerus mempekerjakan
buruh asing yang mahal dan peka dari segi hankamnas. Karena itu
para penguasa Arab harus mendidik bangsanya sebagai tenaga kerja
baik halus maupun kasar.
Faktor lain para menteri Arab sering memiliki kekuasaan penuh
dan sewenang-wenang dalam membuat keputusan pengeluaran
departemennya. Kendati acap kali efisien, kekuasaan yang tak
terbatas seperti itu tidak akan menumbuhkan stabilitas sesuai
dengan kebutuhan ekonomi modern. Di sektor swasta hal itu bisa
mengurangi minat penanaman modal berjangka panjang, yang bisa
membuahkan hasil besar dan segera.
Sebagian besar negeri Arab itu juga masih tergantung pada
kompeni Barat dalam memasarkan minyak mentah mereka. Untuk
mengambil alih itu tidak mudah. Apalagi dunia sedang berkelahi
dengan resesi dan proteksionisme.
Jadi, apa yang mungkin dilakukan negeri Arab itu dalam 1980-an?
Pertama, mereka harus membenahi kebijaksanaan pajak untuk
mencegah kemerosotan ekonomi. Kedua, menggalakkan ("minimal
tidak mengendurkan semangat," tulis Browning) sektor swasta
menciptakan industri untuk mendorong kemajuan lebih jauh. Untuk
diketahui: dalam hal pajak, negara-negara Arab nyaris tidak
mengenalnya. Jadi, tak gampang.
***
Kehendak pemimpin Arab untuk mengelola industri nonminyak
tampaknya masih tenggelam dalam mabuk minyak padahal harganya
sudah turun. Tentu ada beda di sana sini bagi masing-masing
negara.
Mari kita lihat Sultanat Oman dulu. Sementara pemerintah
membangun jalan untuk mempercepat pembangunan di sektor lainnya,
mayoritas penduduknya, sekitar satu juta orang, masih mencari
makan dari menangkap ikan, menggembalakan unta, domba, kambing,
dan pertanian tradisional. Yang mengesankan antara 1975-1980,
pertumbuhan GDP orang Oman rata-rata 20% per tahun mencapai di
atas US$ 5 milyar. Tapi kebutuhan negeri itu pada dasarnya juga
masih sederhana.
Untuk rencana pembangunan lima tahun, 1980-1985, pemerintah Oman
menganggarkan biaya US$ 21,3 milyar - pada pelita sebelumnya
hanya US$ 8 milyar. Pertahanan mengambil bagian terbesar.
Diperhitungkan pengeluaran militer akan memakan 42% dari
anggaran. Namun pelita terakhir juga mengalokasikan US$1 milyar
untuk pelabuhan, pengangkutan, dan US$ 460 juta untuk listrik
dan air bersih. Lalu, US$ 390 juta untuk pinjaman berbunga
rendah serta sumbangan untuk sektor swasta. Masih ada US$ 370
juta untuk pengeluaran bidang sosial dan pembinaan tenaga kerja.
Proyeksi pemasukan Oman dari bidang minyak tahun lalu lebih
rendah sekitar 12% dari yang direncanakan. Penguasa Oman, Sultan
Qaboos, berharap memperoleh bantuan dari negara-negara Arab yang
lebih kaya untuk menyumpal kekurangan itu. Kendati bantuan itu
masih belum datang, ekonomi Oman toh masih mampu bertahan. Cuma
akibatnya: akan ada ketersendatan pembangunan di sana sini.
Untuk Bahrain dan Arab Saudi jalan yang terbentang di hadapan
mereka adalah industri. Tak ada pilihan lain. Kawasannya yang
dapat ditanami hanya seluas tiga mil di utara. Berhasil bertahan
dari penjualan mutiara dan berdagang Bahrain memulai
industrialisasi pada 1960-an, saat persediaan minyaknya mulai
mengering. Padawaktu itu, minyak tidak mampu menghasilkan uang
cukup bagi orang Bahrain untuk melakukan pekerjaan apa pun di
luar industri minyak.
Bagi Arab Saudi, yang berpenduduk banyak, industrialisasi
satu-satunya bentuk pembangunan yang dapat mendistribusikan
kekayaan minyak secara merata kepada sembilan juta penduduk
negeri itu.
Bahrain maupun Arab Saudi kini memusatkan diri pada industri
berat. Bahrain telah mendirikan penyulingan minyak mentah,
galangan kapal, dan pabrik peleburan aluminium.
Arab Saudi sedang merampungkan pembangunan dua kota industri
baru di padang pasirJubail dan Yanbu. Masing-masingnya mempunyai
kompleks petrokimia dan penyulingan minyak untuk ekspor
sementara Jubail dilengkapi pula dengan pabrik baja. Proyek
mahal ini menyedot US$ 46 milyar dari anggaran Saudi pada tahun
fiskal 1982-1983 ditambah US$ 5,5 milyar bagi pembangunan proyek
baru.
Untuk Qatar, Kuwait, dan Persatuan Emirat Arab, akibat
berkurangnya pemasukan sukar diramalkan. Kendati semua telah
melakukan investasi besar-besaran dalam industri, ruang lingkup
pengembangannya agak terbatas. Negeri-negeri kecil ini pasarnya
juga kecil.
Tanpa investasi di bidang industri, pemerintah Kuwait, Qatar,
dan PEA harus menghadapi ketidakstabilan ekonomi yang
ditimbulkan oleh membekunya investasi secara keseluruhan.
Daripada menanam modal ke pabrik-pabrik, para investor lebih
suka dananya tetap cair. Hingga dapat mereka putar dalam
investasi jangka pendek.
Ketidakstabilan itu karena tidak dijalankannya petunjuk
pelaksanaan perencanaan secara ketat. Atau malah tanpa
perencanaan sama sekali. Kuwait maupun PEA, umpamanya, kalang
kabut justru karena melimpahnya produksi semen. PEA yang
mendirikan begitu banyak pabrik kantung kertas dan galangan
kapal - semuanya sudah rampung empat tahun lalu - tapi belum
berhasil mendapatkan pesanan. "Karena itu tidak heran kalau para
cukong di Kuwait dan PEA lebih senang menaruh uangnya di
usaha-usaha perdagangan dan jasa. Dan bukan di bidang industri,"
komentar Browning.
***
Melimpah ruahnya minyak sekarang ini juga akan membawa perbedaan
ekonomi tajam di jazirah Arab itu. Pemerintah-pemerintah yang
menambatkan anggaran pembangunan proyek-proyek industri, akan
merasakan tekanan paling alot di bidang penerimaan ketimbang
negara tetangganya setidaknya pada awalnya. Jika kejenuhan di
bidang minyak berkepanjangan, tak ayal akan membawa kemerosotan
secara menyeluruh di bidang pembangunan. Perdagangan dan jasa
pun akan menerima pengaruhnya.
Sampai kapan banjir minyak berlangsung? "Tak ada yang tahu,"
kata Browning. Jawaban sebetulnya terletak pada kebijaksanaan
bidang perminyakan dan pada pertumbuhan ekonomi dunia di masa
mendatang.
Para produsen minyak di Semenanjung Arab konon harus menanggung
beban paling berat dari anjloknya produksi minyak itu.
Persediaan minyak yang bejibun dan jumlah penduduk yang sedikit
membuat mereka paling setia terhadap ketentuan harga OPEC. Tapi
usaha mematok harga minyak pada tonggak tertentu tidak mampu
bertahan lama. Harga minyak Arab pun melorot sampai US$34 per
barrel. Itu pun masih digoyang lagi. Pertama oleh Inggris dengan
US$ 30,50 untuk minyak Laut Utaranya, disusul oleh Nigeria
menjadi US$ 30 per barrel untuk jenis BonnyLight. Ini membuat
para dedengkot OPEC buru-buru berkumpul di London membicarakan
kebijaksanaan baru.
Harga yang harus dibayar untuk usaha mengekang harga itu cukup
berat. Antara 1979 dan Januari 1983, produksi minyak Arab Saudi
kedodoran sampai 57%, sampai pada empat juta barrel per hari.
Kuwait anjlok dengan 68%, sampai sekitar 700 ribu barrel per
hari. Dan PEA terpangkas 33YO, men jadi 1,2 juta barrel per
hari. Persentase pemasukan pemerintah juga terpenggal dengan
angka yang kira-kira sama pula.
"Pemerintah Arab Saudi mulai mengencangkan ikat pinggangnya,"
tulis Browning lebih jauh. Dalam anggaran belanja 1982-1983,
pengeluaran negara itu merosot dengan 9%, menjadi US$ 91,4
milyar. Akibatnya para menteri diminta menggunting pembelanjaan.
Toh, Menkeu Arab Saudi, Mohammad Abalkhail, memperhitungkan
negeri itu akan tetap mengalami defisit.
Kendati dapat dipujikan kejelian hitungan Saudi, hasilnya
ternyata masih tidak memadai. "Anggaran pemerintah lebih
merupakan disiplin politik ketimbang gambaran yang benar dari
realitas finansial," menurut Browning. "Sasaran pembelanjaan
jarang tercapai." Kalau tidak melesat ke bawah tentu melenceng
ke atas dan ini berpengaruh cukup beratterhadap ekonomi negara
itu.
Dengan pengeluaran pemerintah yang kira-kira separuh dari GDP,
Saudi mampu mengelola semua kegiatan ekonomi melalui anggaran
belanjanya. Untuk menopang bisnis dan melancarkan roda
perekonomian, mereka memberikan subsidi. Pada 1981-1982, subsidi
yang dianggarkan mencapai 60% dari 21,1 milyar rial (US$ 6,2
milyar) merupakan pengeluaran terbesar.
Subsidi memenuhi dua keperluan di Arab Saudi. Menekan pengaruh
inflasi terhadap konsumen. Maksud lain adalah untuk merangsang
investasi dan pembelanjaan sesuai dengan keinginan pemerintah.
Sebegitu jauh, kebijaksanaan pajak, termasuk subsidi, berjalan
seperti yang diinginkan. GDP telah naik dari US$ 46,4 milyar
pada 1975-1976 menjadi US$ 149,5 milyar pada 1980 1981. Inflasi
kurang dari 2% pada 1981. Ini sebagai contoh saja.
Sesuai dengan ukuran pemerintah Arab Saudi sendiri, ekonomi
negeri itu cukup sukses bila dilihat dari bertumbuhnya sektor
swasta nonminyak. Antara tahun fiskal 1975-1976 dan 1980-1981,
sektor partikelir itu menyumbang kepada GDP Saudi dari sebesar
US$ 8,1 milyar menjadi US$ 27 milyar.
"Pemerintah memang lagi memusatkan perhatian pada penggalakan
pertumbuhan sektor swasta nonminyak," kata Menteri Perencanaan
Arab Saudi, Hisham Naser. Di Arab Saudi sekarang banyak terlihat
pabrik semen, dan tak kurang banyak pula supermarket.
***
Hari-hari ini para teknokrat Arab Saudi sekarang sedang
merancang pelita mereka yang keempat - 1985-1990. Ini adalah
kelanjutan strategi pembangunan yang cukup luas dari pelita
sebelumnya. Repelita yang keempat ini - berbeda dengan terdahulu
- merupakan rangkaian rencana yang dapat disesuaikan menurut
situasi pendapatan pada tiap tahunnya, dari kebutuhan ekonomi
yang paling mendesak.
Ketidakpastian pemasukan dari minyaklah yang membuat Arab Saudi
memilih metode perencanaan pembangunan seperti itu. Ekonomi
Saudi yang semakin tangguh, konon memerlukan rencana pembangunan
yang luwes.
Masalah yang terbesar yang dihadapi pemerintah Arab Saudi adalah
bagaimana mencetak duit sebanyak-banyaknya untuk ditanam di
bidang industri. Sebab bidang industri - yang memerlukan
penanaman uang berjangka panjang dan jumlahnya sangat besar -
kurang menarik para pemilik modal karena tidak memberikan
sebanyakbanyaknya dan dalam tempo singkat.
Pemerintah Arab Saudi mencoba mengimbangi praktek mencari
keuntungan dengan mudah itu lewat pemberian subsidi dan pinjaman
berbunga rendah di bidang industri. Namun tidak banyak yang
dapat diraih. Pada 1970-an, kaum swasta ramai-ramai mara ke
usaha real estate. Soalnya, pemerintah juga memberi kredit dalam
rangka memenuhi 70% dari kebutuhan negeri itu akan perumahan
yang layak. Bidang ini pada gilirannya telah menimbulkan
spekulasi terhadap tanah pemukiman - dan uang yang tadinya
diharapkan tertuang ke industri, nyatanya lari ke tanah obyekan
.
Ketika bisnis real estate jenuh pada akhir 1970-an, usahawan
Arab Saudi mulai melirik sektor lain. "Mereka mengalihkan
uangnya ke usaha pertanian. Atau mengirimnya ke luar negeri
untuk ditanam di perusahaan-perusahaan asing yang dianggap lebih
menguntungkan," tulis Brawning. Menurut catatan, dua tahun silam
jumlah kekayaan Arab Saudi yang ditanam dalam bank-bank
komersial naik dengan mengesankan: 148% sekitar US$ 12,3 milyar.
"Sama dengan pinjaman negeri itu pada bank-bank komersial,"
komentar Browning.
Pemerintah Kuwait kini sudah mampu pula menopang ekonomi
negerinya tanpa menyedot keuntungan minyaknya lebih banyak.
Mereka telah berhasil menarik lebih dari US$ 80 milyar untuk apa
yang mereka namakan: Dana Kuwait untuk Generasi Masa Depan. "Tak
sepeser pun dana itu boleh diutik-utik sebelum tahun 2001,"
tulis Browning.
Perubahan terbesar lain di Kuwait adalah di bidang subsidi.
Gagal dalam strategi jangka panjang untuk menyebarkan pemerataan
melalui bidang industri, pemerintah Kuwait mencobanya melalui
subsidi-subsidi, bantuan sosial, dan lain sebagainya. Ini tentu
dalam kerangka mempertahankan taraf hidup layak yang sudah
tercapai. Namun subsidi itu akhirnya menyusut dari tahun ke
tahun. April 1982, harga minyak tanah naik dua kali, dan minyak
solar melipat enam kali.
Uang Kuwait dari sektor swasta juga mengalir ke luar - baik
melalui investasi di luar negeri maupun melalui impor. Volume
impor meroket 50% antara 1979 dan 1981. Tapi yang lebih bikin
pusing pemerintah adalah investasi luar negeri itu. Pada 1981,
misalnya, uang Kuwait yang ditanam di negeri orang tercatat US$
868 juta di bidang real estate dan $ 1,4 juta di bidang lainnya.
Pada 1 Maret 1983, Dewan Kerja Sama Teluk Arab (GCC) mulai
menyingkirkan halangan yang memisahkan perekonomian
negara-negara jazirah Arab. Kendati jauh dari semacam pasar
bersama yang sungguhan, persetujuan itu setidak-tidaknya
menunjukkan bahwa penguasa-penguasa Semenanjung Arab sedang
berpikir keras tentang gagasan mengintegrasikan perekonomian
mereka.
Gagasan yang sudah disepakati: di bidang tarif, akan ada
potongan sebesar 40% terhadap tarif barang-barang di
negeri-negeri GCC. Di sektor permodalan, diusahakan mempermudah
keluar masuknya modal di keenam negara. Tiap warga GCC bebas
menanam modal di proyek-proyek industri, pertanian, peternakan,
perikanan, dan konstruksi - tak peduli lokasinya di mana.
Mobilitas tenaga kerja juga akan dipermudah. Para ahli, dokter
dan pengacara misalnya, leluasa bekerja di negeri GCC mana pun.
Juga akan didirikan Perusahaan Investasi Teluk yang menangani
investasi besar-besaran di kawasan itu. Tiap negara anggota akan
menyetor saham yang sama besarnya untuk modal sebesar US$ 2,1
milyar - 20% pada saat pendirian, dan sisanya dalam waktu lima
tahun.
"Menciptakan bisnis, baru separuh dari pertempuran yang
dilakukan negeri-negeri OPEC," tulis Browning. "Mereka juga
harus melatih rakyatnya untuk mengelolanya." Langkanya
buruh-buruh terampil di negeri-negeri itu membuat imigran
berbondong masuk.
Di Arab Saudi yang berpenduduk 9 juta, misalnya, hampir
seperempat di antaranya adalah pendatang yang masuk setelah boom
minyak. Sekitar 60% dari 1,3 juta penduduk Kuwait adalah
pendatang. Dan 35% dari 350 ribu penduduk Bahrain juga masukan
dari negeri lain. Di PEA lebih gawat lagi: jumlah penduduk
pendatang melampaui penduduk asli. Di Qatar, jumlah perantauan
tercatat lima banding satu dengan pribumi. Hanya Oman bisa
membanggakan diri. Mereka tidak kebagian banjir orang-orang
asing.
Orang-orang asing ini sudah barang tentu merepotkan. Mereka
sewaktu-waktu bisa saja angkat kaki dari sana. Nah, untuk
melatih Arab-Arab mengambil alih pekerjaan - jika kelak harus
ditinggalkan pendatang itu butuh waktu. Apalagi jika harus
merekrut kaum wanitanya.
* * *
Industri berat, itulah kini yang sedang dibangun di
negeri-negeri Arab. Investasi besar-besaran dilakukan di pabrik
petrokimia, penyulingan minyak, galangan kapal, peleburan
aluminium, dan pabrik baja. Perkara modal tentu bukan soal.
Tapi, yang bikin mereka sakit kepala adalah pasar. mereka tidak
punya jaringan tradisional dengan pasar Barat maupun Timur Jauh.
Sebab jaringan itu terpotong pada abad ke15 ketika Vasco de Gama
menemui jalan ke India melalui Tanjung Harapan. Sementara masuk
pasar baru juga tak gampang - saingan cukup banyak.
Korban pertama akibat salah hitung di bidang pemasaran adalah
galangan kapal raksasa di Dubai yang dibangun dengan biaya US$
485 juta. Galangan ini tak pernah disinggahi kapal sejak 1979.
Soalnya, lalu lintas supertanker melalui Teluk sepi seiring
jatuhnya harga minyak.
Dua peleburan aluminium di kawasan itu juga menderia. Balco,
penyalur Aluminium Bahrain (Alba) merugi pada 1982. Juga Dubai
Aluminium (Dubal). Angka kerugian akibat sukar memasarkan
produksi itu tak diungkapkan. Yang pasti jutaan dollar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini