Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Arab setelah dibuai petrodollar

Perubahan-perubahan yang terjadi di negara-negara arab: arab saudi, kuwait, persatuan emirat arab, bahrain, qatar, setelah banjir petrodollar dari hasil minyaknya. (sel)

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANAH Arab kini, apalagi dulu, bukan surga. Sejak minyak membersit, satu dasawarsa silam, juga bukan lagi semata padang pasir yang gersang. Gubuk tanah liat sudah berganti dengan pencakar langit. Jalan sudah membelah gurun yang tandus. Bahkan air laut pun sudah mereka tawarkan untuk menghijaukan tanah yang kerontang. Negeri yang sedang berubah itu adalah Arab Saudi, Kuwait, Persatuan Emirat Arab, Bahrain, Qatar, dan Oman - semuanya anggota organisasi negara penghasil minyak (OPEC). Kini, akibat melorotnya harga minyak, John Browning tergoda untuk bertanya: "Apa yang dapat dikerjakan penguasa dan rakyat negeri itu sekarang?" Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Browning mencoba menurunkan ulasan panjang dalam majalah The Economist, edisi 19 Februari: Dengan membangun infrastruktur pelabuhan, jalan, telekomunikasi, jaringan listrik, tulis Browning, para sultan, raja, dan sheikh Semenanjung Arab telah memberikan kepada rakyatnya benda bernilai melebihi emas. Karena mereka telah meletakkan dasar bagi pengembangan ekonomi modern. Mereka juga menyemaikan petrodollar dalam usaha perdagangan bebas - tentu saja dalam batas-batas yang dibenarkan hukum dan tradisi Islam. Dengan jalan itu mereka berharap tetap berjaya setelah nanti minyak menyusut atau lenyap sama sekali. Kini, sepuluh tahun setelah uang minyak ditanam, perkembangan ekonomi mereka ternyata belum tumbuh sehat. "Tapi nasib baik masih menyertai mereka," tulis Browning. Harga minyak masih melambung dan persediaan masih melimpah. Sesudah sidang OPEC di Jenewa, Februari lalu, negara-negara Arab itu dihadapkan pada pilihan: menutupi kerugian dengan meningkatkan produksi, atau menerapkan kebijaksanaan pajak. "Ada beberapa alasan yang memaksa mereka mengambil pilihan kedua," tulis Browning. Soalnya, meningkatkan produksi di tengah persediaan minyak yang melimpah, bisa mempercepat ambruknya harga ke tingkat yang disebut collapse. Kalau sudah begini, sistem perbankan dunia bisa gawat. Dan krisis di dalam perekonomian dunia, konon, membuat setiap orang menjadi gembel. Dengan menekan produksi, stabilitas harga dapat memang dipertahankan. Kalaupun jatuh hanya sekitar 10-20%. Dan dunia masih mudah menanggulangi penurunan harga dalam tingkat itu serta bisa menerapkan biaya bahan bakar yang lebih rendah dalam pertumbuhan ekonomi baru. Semenanjung Arab juga akan untung. Alasannya: Pertama, lebih memudahkan pembangunan pabrik petrokimia dan kilang minyak di bagian dunia lain yang memang sedang dirintis. Kedua, pengawasan lebih ketat terhadap pengeluaran pemerintah dapat membantu para usahawan dari jazirah Arab dari sekadar bergerak di bidang yang cepat mencetak untung seperti yang mereka nikmati pada 1970-an. Selain itu juga akan mendorong mereka menekuni bidang usaha berjangka panjang - perbankan dan pabrik yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi negeri itu. Mempertahankan tingkat kehidupan pendapatan per kapita paling tinggi di dunia tak akan mudah bagi generasi Arab mendatang bila angkatan sekarang salah langkah. Sebab, jika pendapatan nonminyak tidak mampu menggantikan yang hilang dari minyak bumi, ekonomi mereka akan oleng. Tak cuma itu yang jadi soal. Mereka juga harus membenahi masalah perekonomian yang unik dan sulit. Sebab mereka sudah salah langkah ketika hasil minyak melimpah ruah. Waktu itu mereka bukannya mengelola industri padat karya, malah langsung terjun langsung ke industri padat modal. "Oleh karena itu, kini mereka harus memulai lagi dari awal," tulis Browning. Kendati infrastruktur sebagian besar sudah tidak menjadi masalah, mereka harus meningkatkan diri di bidang tenaga kerja, institusi, dan pasar. Di bidang tenaga kerja, banyak lapangan yang diisi tenaga impor: untuk tenaga staf mereka mempekerjakan orang Barat, Pakistan, Mesir, dan Arab lainnya. Sedang orang Asia non-Arab untuk tenaga kasar. Tapi mereka tentu tidak bisa terus menerus mempekerjakan buruh asing yang mahal dan peka dari segi hankamnas. Karena itu para penguasa Arab harus mendidik bangsanya sebagai tenaga kerja baik halus maupun kasar. Faktor lain para menteri Arab sering memiliki kekuasaan penuh dan sewenang-wenang dalam membuat keputusan pengeluaran departemennya. Kendati acap kali efisien, kekuasaan yang tak terbatas seperti itu tidak akan menumbuhkan stabilitas sesuai dengan kebutuhan ekonomi modern. Di sektor swasta hal itu bisa mengurangi minat penanaman modal berjangka panjang, yang bisa membuahkan hasil besar dan segera. Sebagian besar negeri Arab itu juga masih tergantung pada kompeni Barat dalam memasarkan minyak mentah mereka. Untuk mengambil alih itu tidak mudah. Apalagi dunia sedang berkelahi dengan resesi dan proteksionisme. Jadi, apa yang mungkin dilakukan negeri Arab itu dalam 1980-an? Pertama, mereka harus membenahi kebijaksanaan pajak untuk mencegah kemerosotan ekonomi. Kedua, menggalakkan ("minimal tidak mengendurkan semangat," tulis Browning) sektor swasta menciptakan industri untuk mendorong kemajuan lebih jauh. Untuk diketahui: dalam hal pajak, negara-negara Arab nyaris tidak mengenalnya. Jadi, tak gampang. *** Kehendak pemimpin Arab untuk mengelola industri nonminyak tampaknya masih tenggelam dalam mabuk minyak padahal harganya sudah turun. Tentu ada beda di sana sini bagi masing-masing negara. Mari kita lihat Sultanat Oman dulu. Sementara pemerintah membangun jalan untuk mempercepat pembangunan di sektor lainnya, mayoritas penduduknya, sekitar satu juta orang, masih mencari makan dari menangkap ikan, menggembalakan unta, domba, kambing, dan pertanian tradisional. Yang mengesankan antara 1975-1980, pertumbuhan GDP orang Oman rata-rata 20% per tahun mencapai di atas US$ 5 milyar. Tapi kebutuhan negeri itu pada dasarnya juga masih sederhana. Untuk rencana pembangunan lima tahun, 1980-1985, pemerintah Oman menganggarkan biaya US$ 21,3 milyar - pada pelita sebelumnya hanya US$ 8 milyar. Pertahanan mengambil bagian terbesar. Diperhitungkan pengeluaran militer akan memakan 42% dari anggaran. Namun pelita terakhir juga mengalokasikan US$1 milyar untuk pelabuhan, pengangkutan, dan US$ 460 juta untuk listrik dan air bersih. Lalu, US$ 390 juta untuk pinjaman berbunga rendah serta sumbangan untuk sektor swasta. Masih ada US$ 370 juta untuk pengeluaran bidang sosial dan pembinaan tenaga kerja. Proyeksi pemasukan Oman dari bidang minyak tahun lalu lebih rendah sekitar 12% dari yang direncanakan. Penguasa Oman, Sultan Qaboos, berharap memperoleh bantuan dari negara-negara Arab yang lebih kaya untuk menyumpal kekurangan itu. Kendati bantuan itu masih belum datang, ekonomi Oman toh masih mampu bertahan. Cuma akibatnya: akan ada ketersendatan pembangunan di sana sini. Untuk Bahrain dan Arab Saudi jalan yang terbentang di hadapan mereka adalah industri. Tak ada pilihan lain. Kawasannya yang dapat ditanami hanya seluas tiga mil di utara. Berhasil bertahan dari penjualan mutiara dan berdagang Bahrain memulai industrialisasi pada 1960-an, saat persediaan minyaknya mulai mengering. Padawaktu itu, minyak tidak mampu menghasilkan uang cukup bagi orang Bahrain untuk melakukan pekerjaan apa pun di luar industri minyak. Bagi Arab Saudi, yang berpenduduk banyak, industrialisasi satu-satunya bentuk pembangunan yang dapat mendistribusikan kekayaan minyak secara merata kepada sembilan juta penduduk negeri itu. Bahrain maupun Arab Saudi kini memusatkan diri pada industri berat. Bahrain telah mendirikan penyulingan minyak mentah, galangan kapal, dan pabrik peleburan aluminium. Arab Saudi sedang merampungkan pembangunan dua kota industri baru di padang pasirJubail dan Yanbu. Masing-masingnya mempunyai kompleks petrokimia dan penyulingan minyak untuk ekspor sementara Jubail dilengkapi pula dengan pabrik baja. Proyek mahal ini menyedot US$ 46 milyar dari anggaran Saudi pada tahun fiskal 1982-1983 ditambah US$ 5,5 milyar bagi pembangunan proyek baru. Untuk Qatar, Kuwait, dan Persatuan Emirat Arab, akibat berkurangnya pemasukan sukar diramalkan. Kendati semua telah melakukan investasi besar-besaran dalam industri, ruang lingkup pengembangannya agak terbatas. Negeri-negeri kecil ini pasarnya juga kecil. Tanpa investasi di bidang industri, pemerintah Kuwait, Qatar, dan PEA harus menghadapi ketidakstabilan ekonomi yang ditimbulkan oleh membekunya investasi secara keseluruhan. Daripada menanam modal ke pabrik-pabrik, para investor lebih suka dananya tetap cair. Hingga dapat mereka putar dalam investasi jangka pendek. Ketidakstabilan itu karena tidak dijalankannya petunjuk pelaksanaan perencanaan secara ketat. Atau malah tanpa perencanaan sama sekali. Kuwait maupun PEA, umpamanya, kalang kabut justru karena melimpahnya produksi semen. PEA yang mendirikan begitu banyak pabrik kantung kertas dan galangan kapal - semuanya sudah rampung empat tahun lalu - tapi belum berhasil mendapatkan pesanan. "Karena itu tidak heran kalau para cukong di Kuwait dan PEA lebih senang menaruh uangnya di usaha-usaha perdagangan dan jasa. Dan bukan di bidang industri," komentar Browning. *** Melimpah ruahnya minyak sekarang ini juga akan membawa perbedaan ekonomi tajam di jazirah Arab itu. Pemerintah-pemerintah yang menambatkan anggaran pembangunan proyek-proyek industri, akan merasakan tekanan paling alot di bidang penerimaan ketimbang negara tetangganya setidaknya pada awalnya. Jika kejenuhan di bidang minyak berkepanjangan, tak ayal akan membawa kemerosotan secara menyeluruh di bidang pembangunan. Perdagangan dan jasa pun akan menerima pengaruhnya. Sampai kapan banjir minyak berlangsung? "Tak ada yang tahu," kata Browning. Jawaban sebetulnya terletak pada kebijaksanaan bidang perminyakan dan pada pertumbuhan ekonomi dunia di masa mendatang. Para produsen minyak di Semenanjung Arab konon harus menanggung beban paling berat dari anjloknya produksi minyak itu. Persediaan minyak yang bejibun dan jumlah penduduk yang sedikit membuat mereka paling setia terhadap ketentuan harga OPEC. Tapi usaha mematok harga minyak pada tonggak tertentu tidak mampu bertahan lama. Harga minyak Arab pun melorot sampai US$34 per barrel. Itu pun masih digoyang lagi. Pertama oleh Inggris dengan US$ 30,50 untuk minyak Laut Utaranya, disusul oleh Nigeria menjadi US$ 30 per barrel untuk jenis BonnyLight. Ini membuat para dedengkot OPEC buru-buru berkumpul di London membicarakan kebijaksanaan baru. Harga yang harus dibayar untuk usaha mengekang harga itu cukup berat. Antara 1979 dan Januari 1983, produksi minyak Arab Saudi kedodoran sampai 57%, sampai pada empat juta barrel per hari. Kuwait anjlok dengan 68%, sampai sekitar 700 ribu barrel per hari. Dan PEA terpangkas 33YO, men jadi 1,2 juta barrel per hari. Persentase pemasukan pemerintah juga terpenggal dengan angka yang kira-kira sama pula. "Pemerintah Arab Saudi mulai mengencangkan ikat pinggangnya," tulis Browning lebih jauh. Dalam anggaran belanja 1982-1983, pengeluaran negara itu merosot dengan 9%, menjadi US$ 91,4 milyar. Akibatnya para menteri diminta menggunting pembelanjaan. Toh, Menkeu Arab Saudi, Mohammad Abalkhail, memperhitungkan negeri itu akan tetap mengalami defisit. Kendati dapat dipujikan kejelian hitungan Saudi, hasilnya ternyata masih tidak memadai. "Anggaran pemerintah lebih merupakan disiplin politik ketimbang gambaran yang benar dari realitas finansial," menurut Browning. "Sasaran pembelanjaan jarang tercapai." Kalau tidak melesat ke bawah tentu melenceng ke atas dan ini berpengaruh cukup beratterhadap ekonomi negara itu. Dengan pengeluaran pemerintah yang kira-kira separuh dari GDP, Saudi mampu mengelola semua kegiatan ekonomi melalui anggaran belanjanya. Untuk menopang bisnis dan melancarkan roda perekonomian, mereka memberikan subsidi. Pada 1981-1982, subsidi yang dianggarkan mencapai 60% dari 21,1 milyar rial (US$ 6,2 milyar) merupakan pengeluaran terbesar. Subsidi memenuhi dua keperluan di Arab Saudi. Menekan pengaruh inflasi terhadap konsumen. Maksud lain adalah untuk merangsang investasi dan pembelanjaan sesuai dengan keinginan pemerintah. Sebegitu jauh, kebijaksanaan pajak, termasuk subsidi, berjalan seperti yang diinginkan. GDP telah naik dari US$ 46,4 milyar pada 1975-1976 menjadi US$ 149,5 milyar pada 1980 1981. Inflasi kurang dari 2% pada 1981. Ini sebagai contoh saja. Sesuai dengan ukuran pemerintah Arab Saudi sendiri, ekonomi negeri itu cukup sukses bila dilihat dari bertumbuhnya sektor swasta nonminyak. Antara tahun fiskal 1975-1976 dan 1980-1981, sektor partikelir itu menyumbang kepada GDP Saudi dari sebesar US$ 8,1 milyar menjadi US$ 27 milyar. "Pemerintah memang lagi memusatkan perhatian pada penggalakan pertumbuhan sektor swasta nonminyak," kata Menteri Perencanaan Arab Saudi, Hisham Naser. Di Arab Saudi sekarang banyak terlihat pabrik semen, dan tak kurang banyak pula supermarket. *** Hari-hari ini para teknokrat Arab Saudi sekarang sedang merancang pelita mereka yang keempat - 1985-1990. Ini adalah kelanjutan strategi pembangunan yang cukup luas dari pelita sebelumnya. Repelita yang keempat ini - berbeda dengan terdahulu - merupakan rangkaian rencana yang dapat disesuaikan menurut situasi pendapatan pada tiap tahunnya, dari kebutuhan ekonomi yang paling mendesak. Ketidakpastian pemasukan dari minyaklah yang membuat Arab Saudi memilih metode perencanaan pembangunan seperti itu. Ekonomi Saudi yang semakin tangguh, konon memerlukan rencana pembangunan yang luwes. Masalah yang terbesar yang dihadapi pemerintah Arab Saudi adalah bagaimana mencetak duit sebanyak-banyaknya untuk ditanam di bidang industri. Sebab bidang industri - yang memerlukan penanaman uang berjangka panjang dan jumlahnya sangat besar - kurang menarik para pemilik modal karena tidak memberikan sebanyakbanyaknya dan dalam tempo singkat. Pemerintah Arab Saudi mencoba mengimbangi praktek mencari keuntungan dengan mudah itu lewat pemberian subsidi dan pinjaman berbunga rendah di bidang industri. Namun tidak banyak yang dapat diraih. Pada 1970-an, kaum swasta ramai-ramai mara ke usaha real estate. Soalnya, pemerintah juga memberi kredit dalam rangka memenuhi 70% dari kebutuhan negeri itu akan perumahan yang layak. Bidang ini pada gilirannya telah menimbulkan spekulasi terhadap tanah pemukiman - dan uang yang tadinya diharapkan tertuang ke industri, nyatanya lari ke tanah obyekan . Ketika bisnis real estate jenuh pada akhir 1970-an, usahawan Arab Saudi mulai melirik sektor lain. "Mereka mengalihkan uangnya ke usaha pertanian. Atau mengirimnya ke luar negeri untuk ditanam di perusahaan-perusahaan asing yang dianggap lebih menguntungkan," tulis Brawning. Menurut catatan, dua tahun silam jumlah kekayaan Arab Saudi yang ditanam dalam bank-bank komersial naik dengan mengesankan: 148% sekitar US$ 12,3 milyar. "Sama dengan pinjaman negeri itu pada bank-bank komersial," komentar Browning. Pemerintah Kuwait kini sudah mampu pula menopang ekonomi negerinya tanpa menyedot keuntungan minyaknya lebih banyak. Mereka telah berhasil menarik lebih dari US$ 80 milyar untuk apa yang mereka namakan: Dana Kuwait untuk Generasi Masa Depan. "Tak sepeser pun dana itu boleh diutik-utik sebelum tahun 2001," tulis Browning. Perubahan terbesar lain di Kuwait adalah di bidang subsidi. Gagal dalam strategi jangka panjang untuk menyebarkan pemerataan melalui bidang industri, pemerintah Kuwait mencobanya melalui subsidi-subsidi, bantuan sosial, dan lain sebagainya. Ini tentu dalam kerangka mempertahankan taraf hidup layak yang sudah tercapai. Namun subsidi itu akhirnya menyusut dari tahun ke tahun. April 1982, harga minyak tanah naik dua kali, dan minyak solar melipat enam kali. Uang Kuwait dari sektor swasta juga mengalir ke luar - baik melalui investasi di luar negeri maupun melalui impor. Volume impor meroket 50% antara 1979 dan 1981. Tapi yang lebih bikin pusing pemerintah adalah investasi luar negeri itu. Pada 1981, misalnya, uang Kuwait yang ditanam di negeri orang tercatat US$ 868 juta di bidang real estate dan $ 1,4 juta di bidang lainnya. Pada 1 Maret 1983, Dewan Kerja Sama Teluk Arab (GCC) mulai menyingkirkan halangan yang memisahkan perekonomian negara-negara jazirah Arab. Kendati jauh dari semacam pasar bersama yang sungguhan, persetujuan itu setidak-tidaknya menunjukkan bahwa penguasa-penguasa Semenanjung Arab sedang berpikir keras tentang gagasan mengintegrasikan perekonomian mereka. Gagasan yang sudah disepakati: di bidang tarif, akan ada potongan sebesar 40% terhadap tarif barang-barang di negeri-negeri GCC. Di sektor permodalan, diusahakan mempermudah keluar masuknya modal di keenam negara. Tiap warga GCC bebas menanam modal di proyek-proyek industri, pertanian, peternakan, perikanan, dan konstruksi - tak peduli lokasinya di mana. Mobilitas tenaga kerja juga akan dipermudah. Para ahli, dokter dan pengacara misalnya, leluasa bekerja di negeri GCC mana pun. Juga akan didirikan Perusahaan Investasi Teluk yang menangani investasi besar-besaran di kawasan itu. Tiap negara anggota akan menyetor saham yang sama besarnya untuk modal sebesar US$ 2,1 milyar - 20% pada saat pendirian, dan sisanya dalam waktu lima tahun. "Menciptakan bisnis, baru separuh dari pertempuran yang dilakukan negeri-negeri OPEC," tulis Browning. "Mereka juga harus melatih rakyatnya untuk mengelolanya." Langkanya buruh-buruh terampil di negeri-negeri itu membuat imigran berbondong masuk. Di Arab Saudi yang berpenduduk 9 juta, misalnya, hampir seperempat di antaranya adalah pendatang yang masuk setelah boom minyak. Sekitar 60% dari 1,3 juta penduduk Kuwait adalah pendatang. Dan 35% dari 350 ribu penduduk Bahrain juga masukan dari negeri lain. Di PEA lebih gawat lagi: jumlah penduduk pendatang melampaui penduduk asli. Di Qatar, jumlah perantauan tercatat lima banding satu dengan pribumi. Hanya Oman bisa membanggakan diri. Mereka tidak kebagian banjir orang-orang asing. Orang-orang asing ini sudah barang tentu merepotkan. Mereka sewaktu-waktu bisa saja angkat kaki dari sana. Nah, untuk melatih Arab-Arab mengambil alih pekerjaan - jika kelak harus ditinggalkan pendatang itu butuh waktu. Apalagi jika harus merekrut kaum wanitanya. * * * Industri berat, itulah kini yang sedang dibangun di negeri-negeri Arab. Investasi besar-besaran dilakukan di pabrik petrokimia, penyulingan minyak, galangan kapal, peleburan aluminium, dan pabrik baja. Perkara modal tentu bukan soal. Tapi, yang bikin mereka sakit kepala adalah pasar. mereka tidak punya jaringan tradisional dengan pasar Barat maupun Timur Jauh. Sebab jaringan itu terpotong pada abad ke15 ketika Vasco de Gama menemui jalan ke India melalui Tanjung Harapan. Sementara masuk pasar baru juga tak gampang - saingan cukup banyak. Korban pertama akibat salah hitung di bidang pemasaran adalah galangan kapal raksasa di Dubai yang dibangun dengan biaya US$ 485 juta. Galangan ini tak pernah disinggahi kapal sejak 1979. Soalnya, lalu lintas supertanker melalui Teluk sepi seiring jatuhnya harga minyak. Dua peleburan aluminium di kawasan itu juga menderia. Balco, penyalur Aluminium Bahrain (Alba) merugi pada 1982. Juga Dubai Aluminium (Dubal). Angka kerugian akibat sukar memasarkan produksi itu tak diungkapkan. Yang pasti jutaan dollar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus