Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pengintip-pengintip sang surya

Para pengamat matahari di stasiun pengamat matahari di desa haurngombong (jawa barat), satu-satunya di indonesia. (sd)

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH bangunan dengan menara berkubah, tampak menyolok di sebuah desa yang sunyi. Jalan menuju ke kampung itu tidak terlalu mulus, malah 1 km sampai bangunan itu merupakan jalan tanah dan becek di musim hujan. Itulah Stasiun Pengamat Matahari satu-satunya di Indonesia, di Desa Haurngombong, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang Uawa Barat). Meskipun diresmikan pada 1978, sampai sekarang belum ada hubungan telepon ke kawasan tersebut. Padahal bila terjadi aktivitas matahari yang dianggap agak penting, apalagi yang mendadak, harus segera dilaporkan ke Pusat Riset Dirantara dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) di Bandung yang membawahkan stasiun tersebut. "Kalau tidak dengan ojeg, saya harus berlari-lari sampai ke jalan raya Sumedang-Bandung. Lebih celaka lagi kalau Jalannya becek seperti sekarang," kata Margono, 25 tahun, teknisi dan operator teleskop Stasiun Pengamat Matahari itu. Meskipun pengetahuan yang didapatnya di sekolah dulu tidak ada hubungan dengan seluk-beluk matahari, tamatan STM jurusan elektro ini merasa senang juga bekerja di stasiun tersebut. Bertugas di Haurngombong sejak 1979, rupanya mudah saja baginya menyesuaikan Iri. "Sebab untuk menjadi pengamat matahari tidak memerlukan pendidikan khusus. Asal cukup teliti menghitung sunspot dan menuliskannya di buku laporan," tutur Margono. Sunspot ialah bintik-bintik hitam pada permukaan matahari itu. Dengan mempergunakan alat potret berlensa khusus yang dihubungkan dengan sebuah teleskop, setiap hari, bila cuaca cerah, Margono mengamati matahari selama 30 menit. Untuk pengamatan selama itu ia bisa menghabiskan dua rol film. "Cita-cita saya sebenarnya tidak keruan. Dan sejak semula tidak terniat menjadi petugas di Stasiun Pengamat Matahari ini," kata Margono, kelahiran Bandung itu. Setelah lulus STM (1976) ia menganggur selama 2 tahun. Melamar ke sana ke mari tidak diterima. Kebetulan kakak iparnya yang menjadi sopir Lapan memberitahu ada lowongan di kantornya. Margono melamar dan diterima bekerja di Stasiun Haurngombong. Anak ke 4 dari 7 bersaudara ini sekarang sudah jadi pegawai negeri golongan II A dengan gaji Rp 38 ribu. "Gaji itu sebenarnya tidak cukup. Tapi dicukup-cukupkan juga," kata anak pensiunan pegawai sipil TNI-AD itu. Ia merasa betah bekerja di Haurngombong yang sepi, "karena tidak mudah digoda untuk menghambur-hamburkan uang". Karena masih bujangan, ia tinggal di mess karyawan Lapan di Haurngombong. Sedang dua petugas pengamat matahari lainnya tinggal di Bandung. Setiap hari mereka menuju Haurngombong, menempuh jarak 35 km. "Kadang-kadang seperti percuma saja saya datang jauh-jauh dari Bandung, bila seharian matahari tertutup awan sehingga tidak bisa diamati," kata Maspui Aini, 33 tahun, pengamat matahari yang bekerja di sana sejak 1978. Di musim hujan seperti sekarang, matahari memang lebih sering tertutup awan. Dan memang bila cuaca gelap sehari penuh, praktis para petugas itu menganggur. Tapi bila mendadak cuaca cerah, mereka segera bergegas mendaki tangga menuju sebuah menara. Di pucuk menara itu terdapat sebuah kubah bergaris-tengah kira-kira 5 meter. Seorang petugas memutar-mutar kubah yang bagian tengah atapnya terbelah memanjang dengan lebar kira-kira 60 cm. Petugas lainnya memasang sebuah kamera pada sebuah teleskop, seorang lagi siap dengan buku catatan "Kelompok satu 15, kelompok dua 13, kelompok empat 25 . . . ," begitu Maspul Aini, sarjana astronomi ITB itu menghitung sunspot. Petugas pencatat pun menuliskan angka-angka itu. Meskipun setiap hari mengintip matahari, mata mereka ternyata sehat-sehat saja. "Lihat saja apakah ada karyawan di sini yang sudah mengenakan kacamata?" ujar Maspul, orang Banjarmasin itu, yang hampir setiap hari mengamati matahari selama lebih kurang 15 menit. Di antara empat belas karyawan Stasiun Haurngombong itu memang mengaku tak ada yang sakit mata akibat denyar-denyar sorotan sang surya yang panas itu. Lihat Box). Dalam kompleks stasiun seluas 1 ha pada ketinggian 800 meter dari permukaan laut itu terdapat sebuah radio teleskop dengan antena parabolik bergaris-tengah 6,5 meter setinggi sekitar 10 meter. Di sana juga ada dua menara berkubah bergaris-tengah 5 meter. Di dalam kubah terdapat 3 buah teleskop, dilengkapi dengan kamera dengan lensa berfilter dan film. Lewat teleskop berfilter itulah matahari nampak seperti bulan purnama. Dengan teknik fotograf tertentu, gambar matahari tampak sebesar kelereng berwarna hitam putih dengan bintik-bintik di sekitarnya. Maspul Aini, ayah dan seorang anak itu, mula-mula berkuliah di Akademi Pendidikan Teknologi Negeri jurusan elektro. Ketika akademi tersebut dibubarkan ia mendaftarkan diri masuk ITB jurusan astronomi yang ketika itu kurang laku. "Selain bebas SPP, uang kuliah dan praktikum, setiap mahasiswa juga diberi uang saku Rp 2.750 sebulan," tutur Maspul. Uang saku tersebut naik terus sampai mencapai Rp 15.000 pada 1976. Di tahun itu pula ia menjadi tenaga honorer Dinas Optik Lapan dengan honorarium Rp 15.000 pula. Maspul kemudian mendapat tugas belajar dari Lapan di ITB jurusan astronomi. "Saya hanya rnasuk kantor kalau tidak ada kegiatan kuliah," katanya. Tahun lalu ia berhasil menggondol gelar sarjana astronomi. Kini gajinya Rp 87.000, termasuk segala macam tunjangan. Ia merasa senang bertugas di Haurngombong, sebab, katanya, sesuai dengan cita-citanya. "Dulu saya suka mengamati bintang-bintang di langit kala bulan purnama," katanya. Dari 14 karyawan di Haurngombong, 4 di antaranya sarjana penuh. Seorang bertugas di kantor Pusrigan-Lapan, Bandung, seorang tugas belajar di Australia, dua orang lagi yaitu Maspul Aini dan Wilson Sinambela yang sehari-hari melayani Stasiun Haurngombong dibantu seorang sarjana muda fisika ITB, 7 lulusan SLTA dan 2 tamatan SD. Menurut Wilson Sinambela, 36 tahun, dibandingkan dengan stasiun-stasiun pengamat matahari di Hongkong atau Manila, peralatan di Haurngombong sudah ketinggalan zaman. "Meskipun peralatannya amatir, hasilnya profesional," kelakarnya. Stasiun pengamat matahari di Hongkong sudah dilengkapi dengan televisi. "Kita bisa mengamati kegiatan matahari hanya dengan melihat televisi saja," kata Kepala Stasiun Haurngombong itu Menurut Wilson, matahari perlu dipelajari karena merupakan planet terikat dengan bumi. Selain itu energinya merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk di bumi. "Dengan mempelajari matahari, kita juga bisa mempelajari fisika bintang-bintang lain," ujar sarjana fisika teknik ITB (1976) itu. Wilson yang lahir di Pematangsiantar dan sudah bekerja di Lapan sejak masih sarjana muda itu mengaku "tak pernah bermimpi menjadi pengamat matahari". Kini dengan golongan III B ia menerima Rp 77.000 sebulan plus berbagai tunjangan. Ia sudah dikaruniai 4 anak. "Tapi penghasilan sebesar itu tidak cukup untuk membeli buku," katanya. Ia memang senang membaca. Sedihnya buku-buku mengenai matahari amat langka di Indonesia. "Untung bisa pinjam di Departemen Astronomi ITB di Lembang dan di LIPI Bandung," katanya. Ia kadang-kadang menulis mengenai matahari. "Dan karya-karya tulis yang dimuat di majalah atau koran itu dinilai untuk jenjang karir," katanya lagi. Di Yogya ada seorang sarjana yang membikin sendiri alat pengamat matahari. Hebatnya, ia mempergunakan barang-barang bekas: per bekas, pipa-pipa listrik bekas dan sebagainya. Hanya lensanya saja yang tidak bekas. Alat itu berupa sebuah meja bundar yang dapat berputar dengan sebuah cermin ukuran 1 meter persegi di sampingnya. Dari arah lain sebuah lampu sorot terbuat dari kaleng susu siap "menembak" titik fokus meja berputar tersebut. Dengan alat sederhana itu bisa diketahui berapa derajat letak matahari dan bagian bumi mana yang tertimpa sinarnya. Di ruang lain, ada sebuah alat untuk mengamati dan memanfaatkan energi matahari. Dr.M.S.A. Sastroamidjojo, 61 tahun, pencipta alat sederhana itu, mulai penasaran terhadap matahari sejak 18 tahun lewat. "Dulu saya dendam betul terhadap matahari," kata doktor fisika tamatan Australian North University ini. Ia selalu merasa tersiksa karena panas matahari yang membakar itu. Dari perasaan "dendam" itulah timbul pikiran untuk memanfaatkan tenaganya. "Sebab hukum alam biasanya selalu mempunyai sisi yang berlawanan," ujar dosen fisika Fakultas Biologi UGM yang selalu mengenakan stelan biru tua itu. Menyadari tenaga matahari yang melimpah-ruah, ayah 2 anak ini bersemangat sekali memanfaatkannya. Ia telah berhasil menciptakan kompor bertenaga matahari. Dan Pak Seno, begitu panggilan akrabnya, juga berhasil membuat alat pengering bertenaga surya yang kini banyak digunakan di Jember, Sala dan Karawang untuk mengeringkan padi atau tembakau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus