SEBUAH bangunan dengan menara berkubah, tampak menyolok di
sebuah desa yang sunyi. Jalan menuju ke kampung itu tidak
terlalu mulus, malah 1 km sampai bangunan itu merupakan jalan
tanah dan becek di musim hujan. Itulah Stasiun Pengamat Matahari
satu-satunya di Indonesia, di Desa Haurngombong, Kecamatan
Tanjungsari, Kabupaten Sumedang Uawa Barat). Meskipun diresmikan
pada 1978, sampai sekarang belum ada hubungan telepon ke kawasan
tersebut.
Padahal bila terjadi aktivitas matahari yang dianggap agak
penting, apalagi yang mendadak, harus segera dilaporkan ke Pusat
Riset Dirantara dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
(Lapan) di Bandung yang membawahkan stasiun tersebut. "Kalau
tidak dengan ojeg, saya harus berlari-lari sampai ke jalan raya
Sumedang-Bandung. Lebih celaka lagi kalau Jalannya becek seperti
sekarang," kata Margono, 25 tahun, teknisi dan operator teleskop
Stasiun Pengamat Matahari itu.
Meskipun pengetahuan yang didapatnya di sekolah dulu tidak ada
hubungan dengan seluk-beluk matahari, tamatan STM jurusan
elektro ini merasa senang juga bekerja di stasiun tersebut.
Bertugas di Haurngombong sejak 1979, rupanya mudah saja baginya
menyesuaikan Iri. "Sebab untuk menjadi pengamat matahari tidak
memerlukan pendidikan khusus. Asal cukup teliti menghitung
sunspot dan menuliskannya di buku laporan," tutur Margono.
Sunspot ialah bintik-bintik hitam pada permukaan matahari itu.
Dengan mempergunakan alat potret berlensa khusus yang
dihubungkan dengan sebuah teleskop, setiap hari, bila cuaca
cerah, Margono mengamati matahari selama 30 menit. Untuk
pengamatan selama itu ia bisa menghabiskan dua rol film.
"Cita-cita saya sebenarnya tidak keruan. Dan sejak semula tidak
terniat menjadi petugas di Stasiun Pengamat Matahari ini," kata
Margono, kelahiran Bandung itu. Setelah lulus STM (1976) ia
menganggur selama 2 tahun. Melamar ke sana ke mari tidak
diterima. Kebetulan kakak iparnya yang menjadi sopir Lapan
memberitahu ada lowongan di kantornya. Margono melamar dan
diterima bekerja di Stasiun Haurngombong. Anak ke 4 dari 7
bersaudara ini sekarang sudah jadi pegawai negeri golongan II A
dengan gaji Rp 38 ribu.
"Gaji itu sebenarnya tidak cukup. Tapi dicukup-cukupkan juga,"
kata anak pensiunan pegawai sipil TNI-AD itu. Ia merasa betah
bekerja di Haurngombong yang sepi, "karena tidak mudah digoda
untuk menghambur-hamburkan uang". Karena masih bujangan, ia
tinggal di mess karyawan Lapan di Haurngombong. Sedang dua
petugas pengamat matahari lainnya tinggal di Bandung. Setiap
hari mereka menuju Haurngombong, menempuh jarak 35 km.
"Kadang-kadang seperti percuma saja saya datang jauh-jauh dari
Bandung, bila seharian matahari tertutup awan sehingga tidak
bisa diamati," kata Maspui Aini, 33 tahun, pengamat matahari
yang bekerja di sana sejak 1978. Di musim hujan seperti
sekarang, matahari memang lebih sering tertutup awan. Dan memang
bila cuaca gelap sehari penuh, praktis para petugas itu
menganggur.
Tapi bila mendadak cuaca cerah, mereka segera bergegas mendaki
tangga menuju sebuah menara. Di pucuk menara itu terdapat sebuah
kubah bergaris-tengah kira-kira 5 meter. Seorang petugas
memutar-mutar kubah yang bagian tengah atapnya terbelah
memanjang dengan lebar kira-kira 60 cm. Petugas lainnya memasang
sebuah kamera pada sebuah teleskop, seorang lagi siap dengan
buku catatan "Kelompok satu 15, kelompok dua 13, kelompok empat
25 . . . ," begitu Maspul Aini, sarjana astronomi ITB itu
menghitung sunspot. Petugas pencatat pun menuliskan angka-angka
itu.
Meskipun setiap hari mengintip matahari, mata mereka ternyata
sehat-sehat saja. "Lihat saja apakah ada karyawan di sini yang
sudah mengenakan kacamata?" ujar Maspul, orang Banjarmasin itu,
yang hampir setiap hari mengamati matahari selama lebih kurang
15 menit. Di antara empat belas karyawan Stasiun Haurngombong
itu memang mengaku tak ada yang sakit mata akibat denyar-denyar
sorotan sang surya yang panas itu. Lihat Box).
Dalam kompleks stasiun seluas 1 ha pada ketinggian 800 meter
dari permukaan laut itu terdapat sebuah radio teleskop dengan
antena parabolik bergaris-tengah 6,5 meter setinggi sekitar 10
meter. Di sana juga ada dua menara berkubah bergaris-tengah 5
meter. Di dalam kubah terdapat 3 buah teleskop, dilengkapi
dengan kamera dengan lensa berfilter dan film. Lewat teleskop
berfilter itulah matahari nampak seperti bulan purnama. Dengan
teknik fotograf tertentu, gambar matahari tampak sebesar
kelereng berwarna hitam putih dengan bintik-bintik di
sekitarnya.
Maspul Aini, ayah dan seorang anak itu, mula-mula berkuliah di
Akademi Pendidikan Teknologi Negeri jurusan elektro. Ketika
akademi tersebut dibubarkan ia mendaftarkan diri masuk ITB
jurusan astronomi yang ketika itu kurang laku. "Selain bebas
SPP, uang kuliah dan praktikum, setiap mahasiswa juga diberi
uang saku Rp 2.750 sebulan," tutur Maspul. Uang saku tersebut
naik terus sampai mencapai Rp 15.000 pada 1976. Di tahun itu
pula ia menjadi tenaga honorer Dinas Optik Lapan dengan
honorarium Rp 15.000 pula.
Maspul kemudian mendapat tugas belajar dari Lapan di ITB jurusan
astronomi. "Saya hanya rnasuk kantor kalau tidak ada kegiatan
kuliah," katanya. Tahun lalu ia berhasil menggondol gelar
sarjana astronomi. Kini gajinya Rp 87.000, termasuk segala macam
tunjangan. Ia merasa senang bertugas di Haurngombong, sebab,
katanya, sesuai dengan cita-citanya. "Dulu saya suka mengamati
bintang-bintang di langit kala bulan purnama," katanya.
Dari 14 karyawan di Haurngombong, 4 di antaranya sarjana penuh.
Seorang bertugas di kantor Pusrigan-Lapan, Bandung, seorang
tugas belajar di Australia, dua orang lagi yaitu Maspul Aini dan
Wilson Sinambela yang sehari-hari melayani Stasiun Haurngombong
dibantu seorang sarjana muda fisika ITB, 7 lulusan SLTA dan 2
tamatan SD. Menurut Wilson Sinambela, 36 tahun, dibandingkan
dengan stasiun-stasiun pengamat matahari di Hongkong atau
Manila, peralatan di Haurngombong sudah ketinggalan zaman.
"Meskipun peralatannya amatir, hasilnya profesional,"
kelakarnya. Stasiun pengamat matahari di Hongkong sudah
dilengkapi dengan televisi. "Kita bisa mengamati kegiatan
matahari hanya dengan melihat televisi saja," kata Kepala
Stasiun Haurngombong itu Menurut Wilson, matahari perlu
dipelajari karena merupakan planet terikat dengan bumi. Selain
itu energinya merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk di
bumi.
"Dengan mempelajari matahari, kita juga bisa mempelajari fisika
bintang-bintang lain," ujar sarjana fisika teknik ITB (1976)
itu. Wilson yang lahir di Pematangsiantar dan sudah bekerja di
Lapan sejak masih sarjana muda itu mengaku "tak pernah bermimpi
menjadi pengamat matahari".
Kini dengan golongan III B ia menerima Rp 77.000 sebulan plus
berbagai tunjangan. Ia sudah dikaruniai 4 anak. "Tapi
penghasilan sebesar itu tidak cukup untuk membeli buku,"
katanya.
Ia memang senang membaca. Sedihnya buku-buku mengenai matahari
amat langka di Indonesia. "Untung bisa pinjam di Departemen
Astronomi ITB di Lembang dan di LIPI Bandung," katanya. Ia
kadang-kadang menulis mengenai matahari. "Dan karya-karya tulis
yang dimuat di majalah atau koran itu dinilai untuk jenjang
karir," katanya lagi.
Di Yogya ada seorang sarjana yang membikin sendiri alat pengamat
matahari. Hebatnya, ia mempergunakan barang-barang bekas: per
bekas, pipa-pipa listrik bekas dan sebagainya. Hanya lensanya
saja yang tidak bekas. Alat itu berupa sebuah meja bundar yang
dapat berputar dengan sebuah cermin ukuran 1 meter persegi di
sampingnya. Dari arah lain sebuah lampu sorot terbuat dari
kaleng susu siap "menembak" titik fokus meja berputar tersebut.
Dengan alat sederhana itu bisa diketahui berapa derajat letak
matahari dan bagian bumi mana yang tertimpa sinarnya. Di ruang
lain, ada sebuah alat untuk mengamati dan memanfaatkan energi
matahari. Dr.M.S.A. Sastroamidjojo, 61 tahun, pencipta alat
sederhana itu, mulai penasaran terhadap matahari sejak 18 tahun
lewat. "Dulu saya dendam betul terhadap matahari," kata doktor
fisika tamatan Australian North University ini. Ia selalu merasa
tersiksa karena panas matahari yang membakar itu.
Dari perasaan "dendam" itulah timbul pikiran untuk memanfaatkan
tenaganya. "Sebab hukum alam biasanya selalu mempunyai sisi yang
berlawanan," ujar dosen fisika Fakultas Biologi UGM yang selalu
mengenakan stelan biru tua itu.
Menyadari tenaga matahari yang melimpah-ruah, ayah 2 anak ini
bersemangat sekali memanfaatkannya. Ia telah berhasil
menciptakan kompor bertenaga matahari. Dan Pak Seno, begitu
panggilan akrabnya, juga berhasil membuat alat pengering
bertenaga surya yang kini banyak digunakan di Jember, Sala dan
Karawang untuk mengeringkan padi atau tembakau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini