APA yang enam bulan lalu masih berupa mimpi buruk sebagian dari
5,5 juta penduduk Hongkong, apa boleh buat, dari hari ke hari
terasa makin menghantui. Orang Cina yang dulu mati-matian
mempertaruhkan segalanya untuk lepas dari kungkungan Komunis
dengan hijrah ke Hongkong, pelan tapi pasti, akan berhadapan
lagi dengan rezim merah itu. Kecuali meninggalkannya lagi.
Apa pasal? Hongkong, lambang kebebasan bersaing kapitalisme di
depan pintu gerbang komunis, harus menerima masa depannya yang
tak terelakkan: kembali jadi bagian Republik Rakyat Cina.
Perundingan antara Inggris dan RRC "fokusnya sudah beralih,"
tulis Michael Parks dalam International Herald Tribune, 23
Februari. Yang menjadi masalah sekarang: apa dan bagaimana
Hongkong di bawah bendera Cina.
Tentu timbul banyak reaksi. Yang pertama dengarkan dulu dari
Christine Loh ini. "Kita harus lebih realistis tentang masa
depan, atau kalau anda setuju, tentang nasib kita," ujar wanita
pengusaha Hongkong itu. "Segala angan-angan meneruskan status
quo, atau bahkan merdeka, diam-diam sirna. "
Pengumpulan pendapat penduduk Hongkong musim semi lalu memang
nyaris secara mutlak (95%) memilih kelangsungan status quo di
bawah Inggris. Sayang, betapa pun mutlaknya hasil poll,
tampaknya tidak akan mampu menahan cengkeraman RRC di pulau
secuil itu.
Tak ayal hal itu menimbulkan keresahan dan kemasygulan. Jangan
heran kalau mulai sekarang telah meningkat secara tajam
usaha-usaha beremigrasi ke AS, Kanada, dan Australia. Modal pun
mulai mengalir ke luar, dan investasi baru makin menciut.
Pemerintah Hongkong sendiri telah menunda proyek-proyek besar.
Keresahan umum yang mewabah ini oleh seorang pekerja sosial
disebut sebagai "penyakit yang memasyarakat" - barangkali bisa
disebut sindrom Cina.
Dewan Kota membuka perdebatan umumnya bulan kemarin. Acara rutin
disingkirkan - dan untuk pertama kalinya mereka membicarakan
tentang masa depan koloni Inggris itu. "Hongkong akan menjadi
bagian Cina tak lebih lama dari tahun 1997," kata seorang anota
Dewan Kota, R. Denny Huang. "idak ada yang harus diragukan
lagi."
Para mahasiswa Universitas Cina (Chinese University) tidak mau
ketinggalan mengadakan serangkaian pertemuan dengan topik: Cina
akan datang! Ada keinginan Ketua Persatuan Guru Hongkong
merevisi kurikulum sekolah untuk menyiapkan para murid menerima
suasana baru kelak. Karyawan perusahaan listrik mulai belajar
dialek Beijing. Tapi, "para pejabat senior diam-diam pindah ke
luar negeri begitu mereka pensiun," Park mengungkapkan.
Masalah masa depan Hongkong yang begitu lama nyaris menjadi
pembicaraan tabu Inggris-RRC - tiba-tiba melesat sebagai topik
nomor satu sejak tahun kemarin. Yaitu ketika London-Beijing
bersepakat merundingkan masalah tersebut, berkenaan makin
mendekatnya batas akhir penyewaan 90% dari 1.062 kilometer
persegi wilayah Hongkong pada 1997. Kelak, bila Inggris hengkang
dari sana, mereka boleh-boleh saja 'mengangkat' semua bangunan
yang pernah mereka dirikan: pabrik-pabrik,perumahan, pertanian
dan peternakan. Yang pokok pada batas waktunya wilayah tersebut
sudah kembali di bawah kedaulatan RRC.
"Kedaulatan adalah isu pertama," kata Joseph C.Y. Cheng, seorang
ahli ilmu politik Universitas Cina di Hongkong. "Inggris dan
Cina perlu mencari rumus-rumus secepat-cepatnya, dan di atas
dasar formula itu Cina dapat memperoleh kedaulatannya sambil
mengakui sumbangan Inggris terhadap pembangunan Hongkong." Namun
ilmuwan itu mengakui bahwa isu berikutnya lebih sulit ketimbang
yang pertama - berkenaan dengan masa depan Hongkong, wajah, dan
bentuk pemerintahannya. "Tanpa menjernihkan hal ini, masalah
kedaulatan akan tetap tinggal menganga, karena itu satu dari
sejumput kartu yang harus dimainkan Inggris."
RRC sendiri telah berusaha memainkan kartunya dengan baik. Yaitu
seperti yang digembar-gemborkan pejabat-pejabat tinggi di
Beijing dan perwakilannya di Hongkong: "Hongkong akan diperintah
oleh rakyat Hongkong sendiri". Dan, "tidak ada satu pun yang
akan berubah," di bidang sosial atau sistem ekonominya. Konon
Beijing hendak membuat Hongkong sebagai "wilayah administrasi
khusus" seperti, yang konon pula, tersurat atau tersirat dalam
konstitusi RRC yang baru. Disebut pula kehendak Cina komunis
memberikan Hongkong otonomi yang maksimal. Itu juga baru konon.
Jaminan-jaminan yang diberikan RRC itu, betapapun, menimbulkan
berbagai pikiran atau gagasan dalam masa empat bulan terakhir.
Yaitu tentang bagaimana mengalihkan koloni Inggris tersebut ke
suatu wilayah khusus seperti itu. Tentang atas unsur-unsur pokok
apa gerangan "kelangsungan stabilitas dan kemakmuran" Hongkong
dapat terjamin seperti yang disepakati Inggris-Cina. Dan tentang
bagaimana menjamin penyelesaian sehingga kepercayaan bisa tetap
tinggal bertahan di Hongkong sana.
Sebuah rencana yang cakupannya paling luas, tapi masih tetap
berat sebelah, dikemukakan bulan kemarin oleh Meeting Point -
nama kelompok 40 orang yang terdiri dari para usahawan, pekeria
sosial, guru, pengacara dan wartawan. Mereka menerima janji
Beijing sekadar pada tingkat dan pengertian bahwa itu merupakan
suatu bentuk transisi antara pemerintahan kolonial dan
pemerintahan yang berdiri sendiri.
Kelompok itu mengusulkan diadakan pemilihan walikota, anggota
dewan kota dan pejabat-pejabat lainnya, pembuatan undang-undang
dilakukan oleh Kongres Rakyat Nasional Cina (DPR) yang harus
tetap menjamin berlanjutnya kapitalisme di pulau itu. Termasuk
juga lancarnya lalu-lintas uang, pelabuhan bebas, tetap
berlakunya hukum yang sedang berlaku. Dan juga untuk menjamin
hak-hak asasi seperti kebebasan berbicara, pers yang bebas, dan
partisipasi politik bagi semua orang. Pokoknya peran RRC seperti
yang selama ini dilakukan Inggris: mengurus masalah luar negeri
kecuali masalah dagang - dan pertahanan. Itu maunya.
"Kami menekankan nasionalisme Cina sebagai dasar dari langkah
awal kedaulatan Cina," kata Yeung Sum, seorang dosen masalah
sosial pada Universitas Hongkong. Sum yang juga organisator
Meeting Point menambahkan, "Kami, hampir semua di antara kami,
adalah orang Cina dan itu penting - tapi kami menempatkan
Hongkong sebagai yang pertama." Cina ya Cina, tapi ....
Lebih jauh ia menekankan bahwa identifikasi dengan Cina sebagai
patriot berbeda dari identifikasi dengan sistem sosial dan
politik di Daratan. Yeung Sum mengakui bahwa ada orang-orang
yang menganggap kelompok mereka berjalan terlalu jauh, terlalu
optimistis dan idealistis, dan bersikap naif terhadap kaum
komunis. "Tapi kami merasa perlu ada seseorang yang bertindak
dan berbicara untuk mayoritas rakyat Hongkong, 90% penduduk yang
tidak dapat enyah, dan karena itu tetap tinggal tidak peduli apa
pun yang terjadi."
Usul yang jauh berbeda dikemukakan oleh Jimmy McGregor. Dia ini
bekas pejabat pemerintah yang kini direktur Kadin Hongkong.
Kebanyakan orang percaya, kata McGregor, London dan Beijing akan
mencapai persetujuan tentang penerusan kedaulatan Cina atas
Hongkong. Dan bahwa Hongkong akan menjadi daerah otonomi Cina
yang berpemerintahan sendiri pada 1997 setelah masa transisi
yang disepakati .
"Itu tidak akan jalan," sambut seorang Skots yang senang
berterus terang. "Tidak ada rezim komunis yang sudi dengan
sistem persaingan bebas, yang meraih keuntungan adalah motivasi
utama. Otonomi apa pun yang mereka janjikan, tidak akan mereka
tepati."
Dipihak lain, banyak orang-orang Inggris beranggapan, Hongkong
belum siap mempunyai pemerintahan sendiri. Bahkan sampai pada
1997, tidak akan cukup tersedia administrator yang terlatih
atau, lebih penting lagi, mempunyai cukup pemimpin politik yang
berpengalaman. Biasa, bahasa kolonial .
Tentu saja orang-orang Cina Hongkong tersinggung pernya.
Anggapan itu dianggap sewbagai "fitnahan orang-orang Inggris",
"rasialis" dan "usaha mempertahankan sisa-sisa akhir kebanggaan
kolonial". Namun para pemimpin ada mengakul bahwa memang
tersebar luas keragu-raguan tentang pamor Hongkong tanpa
kehadiran Inggris pada 1997 nanti.
Toh, "Jika rakyat harus memilih antara kolonialisme seperti
adanya sekarang dan nasionalisme seperti yang mereka bayangkan,
mereka akan menetapkan kolonialisme sebagai pilihan," bak
ungkapan Dr. L.K. Ding. Ahli fisika berpendidikan Amerika yang
mengepalai komisi industri kristen ini adalah pengkritik gigih
administrasi pemerintahan Inggris di Hongkong.
"Alasannya, kebebasan itu lebih penting," lanjutnya. "Sebab,
secara mendasar, rakyat ingin kemerdekaan. Orang-orang banyak
menginginkan kesempatan untuk hidup, bekerja, memberikan
pendidikan bagi anak-anak. Mereka tidak peduli siapa yang
memerintah, sepanjang kemerdekaan pribadinya terjamin dan kukuh.
Jika Cina komunis dapat memerintah dengan cara demikian, itu
akan disambut dengan tangan terbuka. Tapi rakyat, rakyat biasa,
merasa kaum komunis tidak dapat dipercaya ...."
Adalah kesimpulan yang kadaluarsa bahwa Hongkong akan menjadi
wilayah administrasi khusus Cina. "Jadi fokus diskusi bukanlah
bagaimana mempertahankan sistem yang ada, tapi bagaimana
memeliharanya agar di dalam pemerintahan yang baru, kemerdekaan
tetap dapat diberikan." Mungkinkah?.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini