Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereka yang dihantui naga merah

Keresahan penduduk hong kong, menerima masa depannya : kembali jadi bagian rrc, apabila berakhirnya koloni inggris di hong kong 30 juni 1997 nanti. (sel)

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang enam bulan lalu masih berupa mimpi buruk sebagian dari 5,5 juta penduduk Hongkong, apa boleh buat, dari hari ke hari terasa makin menghantui. Orang Cina yang dulu mati-matian mempertaruhkan segalanya untuk lepas dari kungkungan Komunis dengan hijrah ke Hongkong, pelan tapi pasti, akan berhadapan lagi dengan rezim merah itu. Kecuali meninggalkannya lagi. Apa pasal? Hongkong, lambang kebebasan bersaing kapitalisme di depan pintu gerbang komunis, harus menerima masa depannya yang tak terelakkan: kembali jadi bagian Republik Rakyat Cina. Perundingan antara Inggris dan RRC "fokusnya sudah beralih," tulis Michael Parks dalam International Herald Tribune, 23 Februari. Yang menjadi masalah sekarang: apa dan bagaimana Hongkong di bawah bendera Cina. Tentu timbul banyak reaksi. Yang pertama dengarkan dulu dari Christine Loh ini. "Kita harus lebih realistis tentang masa depan, atau kalau anda setuju, tentang nasib kita," ujar wanita pengusaha Hongkong itu. "Segala angan-angan meneruskan status quo, atau bahkan merdeka, diam-diam sirna. " Pengumpulan pendapat penduduk Hongkong musim semi lalu memang nyaris secara mutlak (95%) memilih kelangsungan status quo di bawah Inggris. Sayang, betapa pun mutlaknya hasil poll, tampaknya tidak akan mampu menahan cengkeraman RRC di pulau secuil itu. Tak ayal hal itu menimbulkan keresahan dan kemasygulan. Jangan heran kalau mulai sekarang telah meningkat secara tajam usaha-usaha beremigrasi ke AS, Kanada, dan Australia. Modal pun mulai mengalir ke luar, dan investasi baru makin menciut. Pemerintah Hongkong sendiri telah menunda proyek-proyek besar. Keresahan umum yang mewabah ini oleh seorang pekerja sosial disebut sebagai "penyakit yang memasyarakat" - barangkali bisa disebut sindrom Cina. Dewan Kota membuka perdebatan umumnya bulan kemarin. Acara rutin disingkirkan - dan untuk pertama kalinya mereka membicarakan tentang masa depan koloni Inggris itu. "Hongkong akan menjadi bagian Cina tak lebih lama dari tahun 1997," kata seorang anota Dewan Kota, R. Denny Huang. "idak ada yang harus diragukan lagi." Para mahasiswa Universitas Cina (Chinese University) tidak mau ketinggalan mengadakan serangkaian pertemuan dengan topik: Cina akan datang! Ada keinginan Ketua Persatuan Guru Hongkong merevisi kurikulum sekolah untuk menyiapkan para murid menerima suasana baru kelak. Karyawan perusahaan listrik mulai belajar dialek Beijing. Tapi, "para pejabat senior diam-diam pindah ke luar negeri begitu mereka pensiun," Park mengungkapkan. Masalah masa depan Hongkong yang begitu lama nyaris menjadi pembicaraan tabu Inggris-RRC - tiba-tiba melesat sebagai topik nomor satu sejak tahun kemarin. Yaitu ketika London-Beijing bersepakat merundingkan masalah tersebut, berkenaan makin mendekatnya batas akhir penyewaan 90% dari 1.062 kilometer persegi wilayah Hongkong pada 1997. Kelak, bila Inggris hengkang dari sana, mereka boleh-boleh saja 'mengangkat' semua bangunan yang pernah mereka dirikan: pabrik-pabrik,perumahan, pertanian dan peternakan. Yang pokok pada batas waktunya wilayah tersebut sudah kembali di bawah kedaulatan RRC. "Kedaulatan adalah isu pertama," kata Joseph C.Y. Cheng, seorang ahli ilmu politik Universitas Cina di Hongkong. "Inggris dan Cina perlu mencari rumus-rumus secepat-cepatnya, dan di atas dasar formula itu Cina dapat memperoleh kedaulatannya sambil mengakui sumbangan Inggris terhadap pembangunan Hongkong." Namun ilmuwan itu mengakui bahwa isu berikutnya lebih sulit ketimbang yang pertama - berkenaan dengan masa depan Hongkong, wajah, dan bentuk pemerintahannya. "Tanpa menjernihkan hal ini, masalah kedaulatan akan tetap tinggal menganga, karena itu satu dari sejumput kartu yang harus dimainkan Inggris." RRC sendiri telah berusaha memainkan kartunya dengan baik. Yaitu seperti yang digembar-gemborkan pejabat-pejabat tinggi di Beijing dan perwakilannya di Hongkong: "Hongkong akan diperintah oleh rakyat Hongkong sendiri". Dan, "tidak ada satu pun yang akan berubah," di bidang sosial atau sistem ekonominya. Konon Beijing hendak membuat Hongkong sebagai "wilayah administrasi khusus" seperti, yang konon pula, tersurat atau tersirat dalam konstitusi RRC yang baru. Disebut pula kehendak Cina komunis memberikan Hongkong otonomi yang maksimal. Itu juga baru konon. Jaminan-jaminan yang diberikan RRC itu, betapapun, menimbulkan berbagai pikiran atau gagasan dalam masa empat bulan terakhir. Yaitu tentang bagaimana mengalihkan koloni Inggris tersebut ke suatu wilayah khusus seperti itu. Tentang atas unsur-unsur pokok apa gerangan "kelangsungan stabilitas dan kemakmuran" Hongkong dapat terjamin seperti yang disepakati Inggris-Cina. Dan tentang bagaimana menjamin penyelesaian sehingga kepercayaan bisa tetap tinggal bertahan di Hongkong sana. Sebuah rencana yang cakupannya paling luas, tapi masih tetap berat sebelah, dikemukakan bulan kemarin oleh Meeting Point - nama kelompok 40 orang yang terdiri dari para usahawan, pekeria sosial, guru, pengacara dan wartawan. Mereka menerima janji Beijing sekadar pada tingkat dan pengertian bahwa itu merupakan suatu bentuk transisi antara pemerintahan kolonial dan pemerintahan yang berdiri sendiri. Kelompok itu mengusulkan diadakan pemilihan walikota, anggota dewan kota dan pejabat-pejabat lainnya, pembuatan undang-undang dilakukan oleh Kongres Rakyat Nasional Cina (DPR) yang harus tetap menjamin berlanjutnya kapitalisme di pulau itu. Termasuk juga lancarnya lalu-lintas uang, pelabuhan bebas, tetap berlakunya hukum yang sedang berlaku. Dan juga untuk menjamin hak-hak asasi seperti kebebasan berbicara, pers yang bebas, dan partisipasi politik bagi semua orang. Pokoknya peran RRC seperti yang selama ini dilakukan Inggris: mengurus masalah luar negeri kecuali masalah dagang - dan pertahanan. Itu maunya. "Kami menekankan nasionalisme Cina sebagai dasar dari langkah awal kedaulatan Cina," kata Yeung Sum, seorang dosen masalah sosial pada Universitas Hongkong. Sum yang juga organisator Meeting Point menambahkan, "Kami, hampir semua di antara kami, adalah orang Cina dan itu penting - tapi kami menempatkan Hongkong sebagai yang pertama." Cina ya Cina, tapi .... Lebih jauh ia menekankan bahwa identifikasi dengan Cina sebagai patriot berbeda dari identifikasi dengan sistem sosial dan politik di Daratan. Yeung Sum mengakui bahwa ada orang-orang yang menganggap kelompok mereka berjalan terlalu jauh, terlalu optimistis dan idealistis, dan bersikap naif terhadap kaum komunis. "Tapi kami merasa perlu ada seseorang yang bertindak dan berbicara untuk mayoritas rakyat Hongkong, 90% penduduk yang tidak dapat enyah, dan karena itu tetap tinggal tidak peduli apa pun yang terjadi." Usul yang jauh berbeda dikemukakan oleh Jimmy McGregor. Dia ini bekas pejabat pemerintah yang kini direktur Kadin Hongkong. Kebanyakan orang percaya, kata McGregor, London dan Beijing akan mencapai persetujuan tentang penerusan kedaulatan Cina atas Hongkong. Dan bahwa Hongkong akan menjadi daerah otonomi Cina yang berpemerintahan sendiri pada 1997 setelah masa transisi yang disepakati . "Itu tidak akan jalan," sambut seorang Skots yang senang berterus terang. "Tidak ada rezim komunis yang sudi dengan sistem persaingan bebas, yang meraih keuntungan adalah motivasi utama. Otonomi apa pun yang mereka janjikan, tidak akan mereka tepati." Dipihak lain, banyak orang-orang Inggris beranggapan, Hongkong belum siap mempunyai pemerintahan sendiri. Bahkan sampai pada 1997, tidak akan cukup tersedia administrator yang terlatih atau, lebih penting lagi, mempunyai cukup pemimpin politik yang berpengalaman. Biasa, bahasa kolonial . Tentu saja orang-orang Cina Hongkong tersinggung pernya. Anggapan itu dianggap sewbagai "fitnahan orang-orang Inggris", "rasialis" dan "usaha mempertahankan sisa-sisa akhir kebanggaan kolonial". Namun para pemimpin ada mengakul bahwa memang tersebar luas keragu-raguan tentang pamor Hongkong tanpa kehadiran Inggris pada 1997 nanti. Toh, "Jika rakyat harus memilih antara kolonialisme seperti adanya sekarang dan nasionalisme seperti yang mereka bayangkan, mereka akan menetapkan kolonialisme sebagai pilihan," bak ungkapan Dr. L.K. Ding. Ahli fisika berpendidikan Amerika yang mengepalai komisi industri kristen ini adalah pengkritik gigih administrasi pemerintahan Inggris di Hongkong. "Alasannya, kebebasan itu lebih penting," lanjutnya. "Sebab, secara mendasar, rakyat ingin kemerdekaan. Orang-orang banyak menginginkan kesempatan untuk hidup, bekerja, memberikan pendidikan bagi anak-anak. Mereka tidak peduli siapa yang memerintah, sepanjang kemerdekaan pribadinya terjamin dan kukuh. Jika Cina komunis dapat memerintah dengan cara demikian, itu akan disambut dengan tangan terbuka. Tapi rakyat, rakyat biasa, merasa kaum komunis tidak dapat dipercaya ...." Adalah kesimpulan yang kadaluarsa bahwa Hongkong akan menjadi wilayah administrasi khusus Cina. "Jadi fokus diskusi bukanlah bagaimana mempertahankan sistem yang ada, tapi bagaimana memeliharanya agar di dalam pemerintahan yang baru, kemerdekaan tetap dapat diberikan." Mungkinkah?.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus