SABTU Pon 11 Juni pukul 09:49, penduduk kawasan Pangandaran,
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat) mendapat kesempatan pertama
menyaksikan gerhana matahari sempurna. Gerhana tersebut
"berjalan" melengkung ke arah timur laut, melintasi tak kurang
dari 22 kota antara lain Yogyakarta, Semarang, Cepu, Surabaya
dan berakhir di Ujungpandang. Daerah-daerah tersebut, yang
diperkirakan berpenduduk meliputi 40 juta orang, pada saat itu
akan gelap total selama 5 menit 11 detik.
Karena peristiwa tersebut sangat langka, tentu banyak orang
ingin menya sikannya. Namun ternyata ada pro dan kontra di
antara para ahli mengenai boleh tidaknya masyarakat awam
menyaksikan gerhana tersebut. Sebab apabila alat yang
dipergunakan kurang baik - sehingga ada secercah saJa cahaya
matahari yang langsung mengenai mata - alat penglihatan tersebut
bakal rusak alias buta. Prof. dr. Sugana Tjakrasuganda misalnya
mengimbau agar masyarakat awam tidak usah melihat gerhana
matahari tanpa alat pengaman.
Ahli mata terkemuka dari Bandung itu menyatakan kebutaan yang
diakibatkan karena melihat matahari tersebut tidak ada obatnya.
Ia mengkhawatirkan penduduk yang sangat awam di pedesaan bakal
menjadi korban kerusakan mata tersebut. "Karena hari tiba-tiba
gelap, mereka ingin melihat matahari. Pada saat itulah matanya
rusak dan mereka tidak menyadarinya. Sebab mereka tidak
merasakan sakitnya," kata bekas kepala RIS Mata Cicendo,
Bandung, itu.
Pelarangan tersebut, menurut Sugana, merupakan upaya pencegahan
kemungkinan terjadinya jutaan yang bakal menimpa sekitar 10%
dari 40 juta penduduk di kawasan yang dilintasi gerhana total
tersebut. Kalaupun misalnya disediakan alat pengaman, semacam
kaca mata khusus, belum tentu mereka mampu membelinya. Sementara
bila mereka dianjurkan membuatnya sendiri, Sugana khawatir mutu
alat tersebut rendah. "Lebih baik melihat siaran televisi saja.
Kalau tidak punya televisi, ya lebih baik tidak usah melihat,"
katanya lagi.
Pendapat tersebut didukung oleh Dr. Andrianto Handojo, ketua
Jurusan Fisika ITB. Tapi menurut Andrianto, yang sangat
berbahaya sesungguhnya bukan peristiwa gerhananya, melainkan
pancaran cahaya matahari yang langsung mengenai mata. Hal ini
juga sama berbahayanya dengan menatap matahari dalam keadaan
tidak gerhana. Yang paling berbahaya dalam gerhana .matahari
sempurna ini ialah menjelang saat gerhana akan berakhir, yaitu
tatkala matahari berbentuk sabit setelah tertutup sempurna oleh
sang bulan.
"Pada saat keadaan sekitar kita gelap, pupil mata membesar,
berusaha menembus kegelapan. Ketika bagian matahari yang
berbentuk sabit itu muncul, terpancarlah cahayanya langsung
mengenai mata yang melihat peristiwa gerhana tersebut, padahal
pupil mata masih dalam keadaan membesar. Saat inilah yang
paling berbahaya. Karena itu berhati-hatiTah, nasihat Adrianto.
Prof. Dr. Bambang Hidayat, ahli astronomi itu, bukan tidak
manyadari bahaya tersebut. Wakil ketua Panitia Nasional Gerhana
Matahari 1983 itu menyatakan bukan hanya 40 juta penduduk saja
yang terancam, melainkan 130 juta rakyat Indonesia. "Sebab bukan
hanya penduduk di daerah yang dilintasi gerhana saja yang ingin
melihat. Tapi siapa yang dapat melarang orang datang ke tempat
yang dilewati gerhana untuk melihat peristiwa yang sangat langka
itu?" katanya. Karena itu Bambang lebih cenderung memberikan
penerangan seluas-luasnya dan sejelas-jelasnya kepada khalayak
tentang bahaya gerhana itu.
Dengan penerangan yang efektif, ia yakin bahaya kebutaan bisa
dihindari. Sebagai contoh gerhana matahari sempurna yang terjadi
pada 1976 di Australia hanya mengakibatkan kebutaan pada 2
orang. Sebaliknya gerhana matahari sempurna pada 1912 di Jerman,
Rusia dan Swedia membikin buta 3.500 orang karena penerangan
yang tidak efektif. Untuk mendapatkan kesepakatan pendapat
mengenai hal tersebut Bambang Hidayat mengusulkan pertemuan di
antara para ahli.
Pertemuan tersebut akhirnya dilangsungkan Selasa pagi minggu
lalu di kantor LIPI, Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat. Para ahli
bersepakat bahwa yang terpenting ialah bagaimana memberikan
penerangan yang efektif dan merata kepada seluruh rakyat agar
mereka tidak menatap langsung matahari. Mereka tidak setuju
pemakaian sesuatu alat (baik yang impor maupun bikinan sendiri)
sebab mutunya sulit dikontrol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini