Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Jangan menatap matahari

Pro dan kontra diantara para ahli mengenai boleh tidaknya masyarakat awam menyaksikan gerhana matahari, yang bisa menyebabkan buta. (sd)

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU Pon 11 Juni pukul 09:49, penduduk kawasan Pangandaran, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat) mendapat kesempatan pertama menyaksikan gerhana matahari sempurna. Gerhana tersebut "berjalan" melengkung ke arah timur laut, melintasi tak kurang dari 22 kota antara lain Yogyakarta, Semarang, Cepu, Surabaya dan berakhir di Ujungpandang. Daerah-daerah tersebut, yang diperkirakan berpenduduk meliputi 40 juta orang, pada saat itu akan gelap total selama 5 menit 11 detik. Karena peristiwa tersebut sangat langka, tentu banyak orang ingin menya sikannya. Namun ternyata ada pro dan kontra di antara para ahli mengenai boleh tidaknya masyarakat awam menyaksikan gerhana tersebut. Sebab apabila alat yang dipergunakan kurang baik - sehingga ada secercah saJa cahaya matahari yang langsung mengenai mata - alat penglihatan tersebut bakal rusak alias buta. Prof. dr. Sugana Tjakrasuganda misalnya mengimbau agar masyarakat awam tidak usah melihat gerhana matahari tanpa alat pengaman. Ahli mata terkemuka dari Bandung itu menyatakan kebutaan yang diakibatkan karena melihat matahari tersebut tidak ada obatnya. Ia mengkhawatirkan penduduk yang sangat awam di pedesaan bakal menjadi korban kerusakan mata tersebut. "Karena hari tiba-tiba gelap, mereka ingin melihat matahari. Pada saat itulah matanya rusak dan mereka tidak menyadarinya. Sebab mereka tidak merasakan sakitnya," kata bekas kepala RIS Mata Cicendo, Bandung, itu. Pelarangan tersebut, menurut Sugana, merupakan upaya pencegahan kemungkinan terjadinya jutaan yang bakal menimpa sekitar 10% dari 40 juta penduduk di kawasan yang dilintasi gerhana total tersebut. Kalaupun misalnya disediakan alat pengaman, semacam kaca mata khusus, belum tentu mereka mampu membelinya. Sementara bila mereka dianjurkan membuatnya sendiri, Sugana khawatir mutu alat tersebut rendah. "Lebih baik melihat siaran televisi saja. Kalau tidak punya televisi, ya lebih baik tidak usah melihat," katanya lagi. Pendapat tersebut didukung oleh Dr. Andrianto Handojo, ketua Jurusan Fisika ITB. Tapi menurut Andrianto, yang sangat berbahaya sesungguhnya bukan peristiwa gerhananya, melainkan pancaran cahaya matahari yang langsung mengenai mata. Hal ini juga sama berbahayanya dengan menatap matahari dalam keadaan tidak gerhana. Yang paling berbahaya dalam gerhana .matahari sempurna ini ialah menjelang saat gerhana akan berakhir, yaitu tatkala matahari berbentuk sabit setelah tertutup sempurna oleh sang bulan. "Pada saat keadaan sekitar kita gelap, pupil mata membesar, berusaha menembus kegelapan. Ketika bagian matahari yang berbentuk sabit itu muncul, terpancarlah cahayanya langsung mengenai mata yang melihat peristiwa gerhana tersebut, padahal pupil mata masih dalam keadaan membesar. Saat inilah yang paling berbahaya. Karena itu berhati-hatiTah, nasihat Adrianto. Prof. Dr. Bambang Hidayat, ahli astronomi itu, bukan tidak manyadari bahaya tersebut. Wakil ketua Panitia Nasional Gerhana Matahari 1983 itu menyatakan bukan hanya 40 juta penduduk saja yang terancam, melainkan 130 juta rakyat Indonesia. "Sebab bukan hanya penduduk di daerah yang dilintasi gerhana saja yang ingin melihat. Tapi siapa yang dapat melarang orang datang ke tempat yang dilewati gerhana untuk melihat peristiwa yang sangat langka itu?" katanya. Karena itu Bambang lebih cenderung memberikan penerangan seluas-luasnya dan sejelas-jelasnya kepada khalayak tentang bahaya gerhana itu. Dengan penerangan yang efektif, ia yakin bahaya kebutaan bisa dihindari. Sebagai contoh gerhana matahari sempurna yang terjadi pada 1976 di Australia hanya mengakibatkan kebutaan pada 2 orang. Sebaliknya gerhana matahari sempurna pada 1912 di Jerman, Rusia dan Swedia membikin buta 3.500 orang karena penerangan yang tidak efektif. Untuk mendapatkan kesepakatan pendapat mengenai hal tersebut Bambang Hidayat mengusulkan pertemuan di antara para ahli. Pertemuan tersebut akhirnya dilangsungkan Selasa pagi minggu lalu di kantor LIPI, Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat. Para ahli bersepakat bahwa yang terpenting ialah bagaimana memberikan penerangan yang efektif dan merata kepada seluruh rakyat agar mereka tidak menatap langsung matahari. Mereka tidak setuju pemakaian sesuatu alat (baik yang impor maupun bikinan sendiri) sebab mutunya sulit dikontrol.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus