Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden Prabowo membuat pemerintah berperan sebagai motor pergerakan ekonomi.
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo menyatakan akan memperbesar utang pemerintah.
Keuangan pemerintah ternyata tidak sekuat yang dibayangkan Prabowo saat kampanye.
KETIKA Prabowo Subianto mengambil alih tampuk pemerintahan, semua orang mengamati dengan saksama ke mana arah kebijakan ekonominya. Satu isu paling sentral di sini adalah peran pemerintah dalam pengelolaan perekonomian negara. Apakah Prabowo akan membuat pemerintah berperan sebagai motor pergerakan ekonomi atau sebaliknya? Apakah pemerintahan Prabowo mengambil posisi sebagai fasilitator seraya mendorong pihak swasta berperan lebih besar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak sebelum dilantik, Prabowo terlihat sangat yakin pada pilihan pertama. Setelah menjadi Presiden Republik Indonesia, Prabowo membentuk kabinet besar. Dia juga memasang target pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun. Sebagai pembanding, estimasi pertumbuhan ekonomi pada 2024 hanya 5,03 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika ingin menjadi motor utama pewujudan target pertumbuhan secepat itu, pemerintah harus kuat secara finansial. Apalagi Prabowo menyandarkan pencapaian target itu pada program populis yang menelan ongkos besar. Misalnya makan bergizi gratis untuk siswa sekolah. Ada juga proyek pembangunan pusat produksi pangan atau food estate.
Walhasil, pemerintah harus mampu menaikkan penerimaan pajak. Ambisi itu mendorong Prabowo mematok target tinggi dalam visi dan misi pemerintah, Asta Cita. Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) akan terus dinaikkan hingga menjadi 23 persen, meski angka ini terkesan tak realistis. Pada akhir 2014, rasio itu hanya 10,02 persen, belum mencapai separuh cita-cita Prabowo.
Demi menggapai target yang luar biasa itu, Prabowo berniat membentuk Badan Penerimaan Negara, lembaga baru setingkat menteri. Badan ini akan terpisah dari Kementerian Keuangan.
Tak cuma mengerek penerimaan perpajakan, Prabowo juga berniat menggelembungkan utang pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, dia dan orang-orang dekatnya dengan berani menyatakan bahwa pemerintah akan menambah utang dengan agresif sehingga rasio utang pemerintah terhadap PDB naik menjadi 50 persen.
Sebagai perbandingan, pada 2024, rasio itu sekitar 39 persen, terhitung rendah jika dibandingkan dengan banyak negara tetangga. Itu sebabnya Prabowo sangat yakin masih ada ruang sangat longgar untuk menambah utang baru tanpa menimbulkan masalah keuangan serius.
Namun, ketika ambisi sudah terucap dan harus terlaksana, Prabowo terbentur realitas pahit. Keuangan pemerintah ternyata tidak sekuat yang ia bayangkan. Pemerintah tak akan mampu menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang bertenaga. Apalagi Joko Widodo, presiden sebelumnya, mewariskan beban keuangan yang mahaberat.
Masalah utama pemerintahan Prabowo adalah utang. Pada 2025-2029, pemerintah harus melunasi berbagai jenis surat berharga negara alias obligasi yang jatuh tempo sebesar Rp 3.086 triliun. Pada tahun ini saja, ada obligasi senilai Rp 803 triliun yang jatuh tempo. Itu belum termasuk pengeluaran untuk membayar bunga. Sebagian besar utang itu dibuat di zaman pemerintahan Jokowi, terutama di masa pandemi Covid-19.
Pemerintah bisa saja melakukan refinancing, membuat utang baru untuk melunasi utang yang jatuh tempo. Bak gali lubang tutup lubang. Namun beban refinancing akan menyedot dana pemerintah. Nyaris tak akan ada lagi ruang bagi Prabowo untuk menambah utang, selain demi kepentingan refinancing.
Beratnya beban fiskal bahkan sudah memaksa pemerintah mengetuk pintu BI, memohon bantuan refinancing untuk sebagian utang yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 150 triliun. Secara teknis, langkah ini sama saja dengan bailout oleh Bank Indonesia dengan cara mencetak uang.
Bantuan BI itu menjadi bukti kesehatan finansial pemerintah bakal memburuk jika Prabowo menambah utang. Pasar keuangan global pasti akan bereaksi negatif dan kepercayaan pada Indonesia runtuh. Kurs rupiah entah bakal melorot menjadi berapa. Kenyataan pahit ini menohok ambisi Prabowo: pemerintah tak akan bisa menjadi motor penggerak ekonomi dengan cara menambah utang, apalagi secara besar-besaran.
Warisan Jokowi dalam hal rasio pajak terhadap PDB tak kalah buruknya. Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, rasio itu terus menurun, dari 11,36 persen pada 2014 menjadi 10,02 persen. Secara komparatif, Indonesia termasuk negara papan bawah di antara negara-negara miskin dengan rasio paling rendah.
Boleh saja Prabowo yakin bisa menggenjot penerimaan pajak dengan mudah. Masalahnya, itu hal yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Secara politis, kenaikan pajak akan menimbulkan reaksi negatif yang luas. Inilah tantangan bagi pemerintah yang sudah lama berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025.
Prabowo akhirnya harus memetik pelajaran pahit ketika terpaksa menerapkan kenaikan itu dengan sangat terbatas untuk barang mewah. Hampir semua barang dan jasa lain tetap dikenai tarif PPN 11 persen. Ada potensi penerimaan pajak sebesar Rp 71 triliun yang menguap karena batalnya rencana itu.
Kesenjangan amat besar antara keinginan dan kenyataan itu juga menimbulkan inkonsistensi keputusan. Sulitnya menaikkan penerimaan pajak membuat rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara sampai kini belum terwujud. Prabowo mungkin akhirnya memahami bahwa pembentukan badan baru justru berisiko memperlambat upaya menambah penerimaan pajak. Sebab, perhatian aparatnya akan lebih tersita pada urusan administrasi dan birokrasi.
Karena tak bisa menambah utang dan tak mampu menaikkan penerimaan, Prabowo berbalik arah. Hanya beberapa pekan sebelum 100 hari pertama pemerintahannya, terbit Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang memerintahkan pejabat pemerintah di semua tingkat melakukan efisiensi anggaran. Pemerintah kini menjalankan program pengetatan (austerity), memangkas bujet untuk kegiatan seperti seremoni dan perjalanan dinas.
Konsekuensinya, peran pemerintah sebagai pendorong pertumbuhan bakal mengempis. Nilai pemangkasan anggaran itu mencapai Rp 306,2 triliun dari total bujet 2025 yang besarnya Rp 3.613 triliun. Pengetatan itu terlihat signifikan jika dibandingkan dengan anggaran belanja pemerintah setelah dipotong pembayaran gaji pegawai (Rp 513,22 triliun) dan pembayaran bunga plus utang (Rp 1.353,2 triliun), dua pos pengeluaran yang memang tak ikut dipangkas. Dus, instruksi presiden nomor 1 itu memotong sekitar 17,5 persen anggaran belanja pemerintah.
Sudah tentu perubahan arah kebijakan menjadi lebih realistis merupakan hal positif. Tak terbayangkan bagaimana dampaknya pada ekonomi jika pemerintah tetap berkeras berpedoman pada ambisi yang terlalu jauh dari kenyataan. Namun arah kebijakan yang tak konsisten juga memunculkan satu pertanyaan: bagaimana Prabowo bisa keliru merumuskan kebijakan ekonomi ketika mengawali masa jabatannya?
Padahal Prabowo boleh dibilang memiliki segalanya. Ada dukungan penuh dari Jokowi sehingga akses ke pemerintahan sebelumnya sangat terbuka. Keponakannya, Thomas Djiwandono, pun menjadi Wakil Menteri Keuangan sejak Juli 2024 sehingga Prabowo semestinya bisa mengakses data keuangan pemerintah. Apakah inkonsistensi itu terjadi lantaran Prabowo tak punya seorang “jenderal ekonomi” atau tim mumpuni yang saran-sarannya benar-benar ia ikuti?
Masalahnya, tak mudah bagi pemerintah untuk berubah arah begitu saja. Sudah banyak kekeliruan yang terjadi selama 100 hari ini. Contohnya, Prabowo telanjur membentuk birokrasi yang amat gemuk, berlawanan dengan semangat penghematan besar-besaran dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Saat ini terdapat 106 menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga—jumlah anggota kabinet terbanyak sejak 1966. Belum lagi adanya sederet program populis yang sepertinya menjadi obsesi presiden dan tak boleh diutak-atik meskipun dampak riilnya pada pertumbuhan ekonomi masih bisa kita perdebatkan.
Segala karut-marut itu berlangsung dengan latar belakang yang sangat tidak menguntungkan Indonesia. Ekonomi global yang masih bergejolak membuat keyakinan investor global terhadap Indonesia goyah. Dalam keadaan seperti ini, kejelasan arah kebijakan pemerintah sungguh krusial bagi keselamatan ekonomi Indonesia. Ibarat kapal berlayar memasuki badai, sungguh celaka jika sang nakhoda masih kebingungan tak tahu arah. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo