Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASUKNYA Arifin Panigoro ke jajaran 10 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes kian mengukuhkan predikatnya sebagai raja minyak Nusantara. Melambungnya harga emas hitam ini di pasar dunia memang membuat nilai kekayaannya berlipat ganda. "Saya sih disebut kaya biasa-biasa saja," ujarnya enteng dalam wawancara khusus dengan Hermien Y. Kleden, Metta Dharmasaputra, Heri Susanto, dan Budi Setyarso di rumahnya di Jalan Jenggala 1, Kebayoran, Jakarta, Selasa dua pekan lalu.
Anda orang ke-9 terkaya menurut Forbes. Tanggapan Anda?
Terus terang, datanya terlalu sederhana. Tidak terlalu rumit mereka menghitungnya. Saya punya saham berapa dikalikan harganya. Ketemu angka kekayaannya. Tapi harga saham kan beda-beda, tergantung saat menghitungnya.
Data Forbes akurat?
Saya pikir sih dilebih-lebihkan sedikit juga. Saya dibilang di atas Om Liem (Soedono Salim). Dia kan orang paling kaya. Om Liem itu sudah 91 tahun. Jelas lebih lama dagangnya, juga ditopang kekuasaan selama 30 tahun.
Taksiran kekayaan Anda sendiri?
Ya..., tidak terlalu jauh dari yang diungkap di situ. Akurasinya 90 persenlah.
Anda dihubungi Forbes?
Saya nggak. Mereka menghubungi Hilmi (Panigoro, adik Arifin dan Presdir MedcoEnergi).
Kekayaan Anda membengkak, berkah melambungnya harga minyak?
Sangat. Kami dapatnya berdasarkan bagi hasil.
Artinya, kalau harga minyak stabil, belum tentu masuk 10 orang terkaya....
Mungkin. Tapi, kalau saya menemukan cadangan minyak lebih besar, kan bisa bertambah juga.
Berapa kali lipat kenaikan kekayaan Anda akibat berkah minyak?
Kalau diasumsikan produksi dan cadangan minyak tetap, dengan kenaikan harga minyak dari US$ 25 per barel menjadi US$ 50 saja, berarti sudah dobel (saat ini di kisaran US$ 70 per barel). Perubahan harga minyak selama lima tahun sangat berarti bagi kami.
Keberhasilan Anda menunjukkan pengusaha pribumi bisa bersaing?
Jangan dibentur-benturkan pri dan non-pri. Pelaut kita pun ternyata kalah dibanding Myanmar dan Thailand. Tidak ada masalah kita pakai pelaut dari Thailand, yang penting hasilnya masuk ke Indonesia. Di minyak juga begitu.
Bagaimana Anda melihat cadangan minyak Indonesia?
Minyak tak banyak lagi. Kalau gas masih oke. Ke timur masih banyak penemuan. Kami sangat berminat membeli ladang gas di Laut Natuna karena Exxon sudah habis kontraknya. Kami sudah menyampaikan keinginan ini ke pemerintah. Kalau dipercaya, kami akan melakukan pengeboran di sana. Cadangannya besar, tapi memang mahal. Kalau Natuna bisa dikembangkan, selain kita dapat devisa, pasokan dalam negeri juga terpenuhi. PLN sekarang sedang butuh banyak gas.
Anda sudah berhenti dari aktivitas politik?
Sekarang tiarap dulu. Saya masih akan melihat momentumnya.
Apakah keinginan-keinginan Anda sudah tercapai?
Sewaktu sekolah saya tak membayangkan bisa seperti sekarang. Saya terus mencari yang belum tercapai. Banyak. Natuna itu meski orang bilang mahal, akan saya kerjakan. Saya sudah ingin masuk ke Irak. Tapi kan belum mungkin.
Sudah mempersiapkan putra mahkota?
Nggak lah. Top management saya pilih dari profesional. Adik saya ada sepuluh, kenapa saya pilih Hilmi memimpin Medco, karena dia profesional. Saya kira di Indonesia sekarang, dia yang terbaik di industri minyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo