Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agen Fiktif Negeri Ginseng

Penjualan pesawat CN-235 dari PT Dirgantara Indonesia ke Korea Selatan diusut penegak hukum di sana. Diduga menggunakan perusahaan cangkang sebagai agen penjual.

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penandatanganan kerjasama di Kementerian Pertahanan RI, dan Korea Selatan terkait pembelian jet latih T-50 buatan Korea Selatan dan CN 235 buatan PT DI./TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Agen PT Dirgantara Indonesia di Korea Selatan tengah terbelit masalah hukum.

  • Korea Selatan bekerja sama dengan PT Dirgantara membangun pesawat tempur.

  • Agen di Korea baru didirikan menjelang kontrak PT Dirgantara dan pemerintah Korea diteken.

SUAP PT Dirgantara Indonesia diduga mengalir hingga ke Korea Selatan. Komisi Pemberantasan Korupsi sebenarnya sudah menerima laporan besel penjualan pesawat produksi PT Dirgantara ke Negeri Ginseng tiga tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun penyidikan masih berfokus di dalam negeri. “Sementara kasus yang kami tangani yang di dalam negeri. Kalau nanti ada perkembangan ke sana (kontrak penjualan luar negeri), bisa saja,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Selasa, 13 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Korea Coast Guard berencana membeli empat pesawat CN-235 seri 110 pada 2010. Lewat proses negosiasi, pemerintah Korea dan PT Dirgantara menyepakati harganya US$ 25 juta per unit. Pesawat tersebut kemudian diserahterimakan PT Dirgantara kepada Korea Coast Guard pada 2012.

Di depan mata, di sini seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tapi di balik negosiasi dan pembayaran pesawat tercium aroma tak sedap. Seorang anggota Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara, yang melaporkan kasus suap ini ke KPK tiga tahun lalu, mengatakan modus penjualan produk PT Dirgantara di dalam ataupun luar negeri tak jauh berbeda. “Sama-sama menggunakan mitra fiktif,” ujar pegawai yang enggan disebutkan namanya itu, pertengahan Oktober lalu.

Dalam penjualan pesawat CN-235 seri 110 ke Korea Selatan, PT Dirgantara menunjuk Lee Kang & Partners sebagai agen di sana. Indikasi korupsi muncul karena nilai komisi Lee Kang & Partners berubah-ubah. Kontrak kerap diamendemen meskipun Lee Kang & Partners nyaris tak berperan dalam jual-beli pesawat.

Korean Air Force bahkan memasukkan Lee Kang & Partners ke daftar perusahaan hitam. Di Indonesia, Lee Kang & Partners justru bermitra dengan PT Bumiloka Tegarperkasa, perusahaan yang sedang diusut KPK. Namun PT Dirgantara tetap menggandeng Lee Kang & Partners meski memiliki rekam jejak yang buruk di negara asalnya.

Si pegawai yang enggan disebutkan namanya mengatakan Direktur Utama PT Dirgantara 2007-2017, Budi Santoso, bersahabat dengan pemilik Lee Kang & Partners. Mereka berkenalan sejak Budi menjabat Direktur PT Pindad. Budi berkarier di PT Pindad sejak 1998 hingga 2007. Dia satu dari enam tersangka korupsi PT Dirgantara yang tengah ditelisik KPK sejak awal tahun lalu.

Dari penelusuran mitra kolaborasi Tempo di Korea, KCIJ Newstapa, Lee Kang & Partners menjadi agen PT Dirgantara sejak 2008. Pemimpin Lee Kang & Partners, Lee Deok-gyu, baru mendirikan perusahaan yang menjadi agen dalam bisnis jual-beli senjata militer ini ketika Korea Coast Guard memutuskan untuk membeli empat CN-235 seri 110 dari Indonesia pada 2010.

Saat itu, Lee masih bekerja di salah satu perusahaan perdagangan terbesar di Korea, Daewoo International. Menurut seorang petugas di Korea Coast Guard yang telah mengamati kesepakatan tersebut sejak sepuluh tahun lalu, PT Dirgantara menunjuk perusahaan Lee sebagai agen buat penjualan CN-235 untuk Korea Selatan. Padahal Lee tak berpengalaman dalam perdagangan pesawat.

Di tangan Lee, harga keempat pesawat itu menjadi US$ 112 juta, naik dari US$ 100 juta yang disepakati di awal. Alarm menyala di kantor penegak hukum Korea. Mereka mengendus kejanggalan dalam negosiasi tersebut. Pemilik dan pegawai Lee Kang & Partners diduga menampung uang komisi dari PT Dirgantara sebesar 6 miliar won atau setara dengan Rp 77,9 miliar di perusahaan cangkang Contour Pacific Limited di British Virgin Islands.

Di pengadilan, jaksa Korea Selatan mendakwa Lee Kang & Partners dengan pasal pencucian uang. Operasi ini diduga dilakukan di dalam dan luar negeri. Lee Deok-gyu dan seorang manajer di Lee Kang & Partners menghadapi dakwaan. Tapi mereka tak ditahan.

Nama Contour Pacific tercantum dalam dokumen Panama Papers—bocoran data klien firma hukum Mossack Fonseca dari berbagai negara yang membuka perusahaan di negara surga pajak—yang terbongkar pada 2016. Dokumen Panama Papers mencantumkan Lee mendirikan Contour Pacific pada Juli 2005. Lee menjadi satu-satunya direktur dan pemegang saham.

Kepada KCIJ Newstapa, Lee mengatakan pembentukan perusahaan cangkang dapat diputuskan hanya oleh manajer umum setingkat direktur. “Karena sifat dari perusahaan perdagangan umum,” ujarnya. Setelah menuntaskan kasus yang menyandungnya di Korea, Lee berencana menggugat PT Dirgantara di Seoul. Ia belum menyebutkan alasan gugatan.

Muhammad Arief Sulaiman, kuasa hukum mantan Direktur Utama PT Dirgantara, Budi Santoso, mengaku tak mengetahui proyek penjualan produk PT Dirgantara di Korea. “Pak Budi tidak cerita ke kami soal ini,” katanya.

Hingga pertengahan Oktober lalu, KPK sudah menetapkan enam tersangka dalam kasus penjualan produk PT Dirgantara di dalam negeri. Empat di antaranya berasal dari PT Dirgantara. Selain Budi Santoso, mereka adalah Kepala Divisi Pemasaran yang belakangan menjadi Asisten Direktur Utama, Irzal Rinaldi Zailani; Direktur Niaga dan Restrukturisasi Budiman Saleh; serta Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan PT Dirgantara Indonesia 2007-2012, Arie Wibowo.

Meski bertabur masalah hukum, kerja sama PT Dirgantara dengan pemerintah Korea tetap berjalan setelah transaksi pesawat CN-235. Keduanya tengah mengembangkan proyek pesawat tempur generasi 4.5 Korean Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX) sejak 2011.

Produksi massal pesawat ini ditargetkan pada 2026. Dalam proyek massal tersebut, PT Angkasa Mitra Karya diduga berupaya menjadi mitra proyek prestisius ini. Bersama PT Bumiloka, PT Angkasa juga tengah beperkara di KPK.

Dalam catatan yang diperoleh Tempo, PT Angkasa diduga menyetor Rp 18,4 miliar dan US$ 60 ribu demi memuluskan proyek pesawat tempur itu. Uang tersebut berasal dari pemilik PT Angkasa, Didi Laksamana. Ada juga uang yang ditujukan kepada Asisten Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Irzal Rinaldi Zailani.

Duit itu diserahkan dalam sembilan tahap. Menurut penegak hukum yang mengetahui kasus ini, seluruh duit diambil dari fee pelaksanaan pengadaan suku cadang pesawat yang diperoleh PT Angkasa dari PT Dirgantara.

Kuasa hukum Didi, Yanuar Wasesa, mengatakan kliennya tak mau berkomentar soal penjualan CN-235 ke Korea. “Pak Didi juga melarang saya berkomentar,” ucap Yanuar. Pengacara Irzal, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, mengatakan uang dari proyek ini belum tentu masuk ke kliennya. “Bisa saja Pak Didi ini juga nakal. Mengklaim diberikan kepada Irzal tapi ternyata diambil sendiri,” ujar Tjoetjoe.

Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan penelusuran suap PT Dirgantara masih panjang. Ia mengatakan penyelidik membuka peluang penetapan tersangka baru dan pengembangan kasus. “Kita tunggu proses selanjutnya,” katanya.

LINDA TRIANITA, CHOI WONSUK (KCIJ NEWSTAPA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus