Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMSUDIN Harahap, 43 tahun, bukan wartawan kemarin sore. Saat terjadi unjuk rasa menuntut penyimpangan yang dilakukan Wali Kota diungkap, dia langsung mencari konfirmasi ke sumbernya langsung: Pak Wali Kota.
Sayangnya, R.E. Siahaan, Wali Kota Pematang Siantar itu, sulit ditemui. Bawahannya pun berkelit memberikan keterangan. Yang didapat hanya ocehan dari anggota DPRD. Meski kurang puas, laporan itu disetor ke kantornya. Sementara itu, Samsudin terus berusaha mendapatkan konfirmasi dari orang nomor satu di daerahnya itu.
Menjelang tengah malam, kesempatan itu datang. Saat melintasi rumah dinas Pak Wali, dia melihat pintu gerbang terbuka. Langsung saja, dia membelokkan motornya dan menuju ke pendapa belakang, tempat Siahaan istirahat. Kaget melihat wartawan itu sudah berada di rumahnya, Pak Wali tetap mengibaskan tangan. ”Sudah larut malam, besok saja,” katanya.
Aksi selonong boy Samsudin berbuntut panjang. Polisi pamong praja penjaga rumah Pak Wali merasa tersinggung. Mereka kemudian menemui Samsudin di sebuah kedai. Aksi muslihat digelar. Pada Samsudin, salah satu dari mereka bilang Pak Wali mau bertemu di sebuah tempat. Walau curiga, dia ikut. Benar saja, urusannya bukan dengan Wali Kota, melainkan dengan Satpol PP. Mereka akan membawanya ke tempat lain. Samsudin menolak, hingga akhirnya terjadi baku hantam.
Polisi datang menggelandang Samsudin ke kantornya dengan alasan telah membuat keributan. Edi Damanik, anggota Satpol PP, bahkan melaporkan Samsudin telah melakukan penganiayaan terhadap dirinya. ”Padahal, dia yang memukul perut saya. Saya terbanting satu meter lebih. Tangan saya pun sampai luka,” ujar Samsudin. Tapi ucapannya tak didengar. Sejak 22 Maret silam dia meringkuk di balik terali besi.
Jika keterangan Samsudin tak bisa diterima, ada dalihnya: saat kejadian, dia ketahuan habis menenggak tuak. Dari mulutnya tercium aroma alkohol. ”Saya memang baru minum tuak, tapi tidak mabuk,” katanya. Meminum tuak pada sore hari merupakan kebiasaan orang di Simalungun dan Pematang Siantar. Di sana bahkan ada pungutan pajak pada lapo tuak, sebesar Rp 20 ribu setiap tahun. Jelas sudah, siapa yang dirugikan dan siapa yang untung dari tuak itu.
Hambali Batubara (Pematang Siantar)
Cinta Terlarang, Burung Melayang
LIMA lelaki itu meloncat ke sungai. Belasan lainnya berdiri di pinggir kali dengan mata tak berkedip. Siapa tahu benda yang mereka cari mengambang di air, tapi tak ada yang terlihat. Cuma terdengar sebuah celetukan, ”Masih hidup atau sudah layu?”
Mereka bukan sedang mencari ikan atau belut, melainkan potongan alat vital. Barang berharga itu milik Pandriyo, 35 tahun, yang putus terkena sabetan pisau Tri Rahayu, 28 tahun. Dua anak manusia yang tinggal di Kampung Duabelasan, Sukoharjo, Jawa Tengah, ini terlibat cinta terlarang. Tri tak lain keponakan Pandriyo. Tapi cinta kadang tak mengenal verboden. Keduanya terbuai asmara hingga benih Pandriyo tumbuh di rahim Tri.
Sudah tahu Tri hamil, eh, Pandriyo cuek. Dia malah menyuruh Tri menggugurkan kandungannya seraya tetap meminta jatah. Tri yang kesal berencana memberikan pelajaran. Sebilah pisau disiapkan di bawah ranjang, tempat mereka biasa indehoy. Saat bermesraan, Sabtu dua pekan silam, sreeet...! pisau Tri membabat ”burung” Pandriyo.
Kemudian, setengah berlari, dia membuang ”burung” berlumur darah itu ke sungai di belakang rumahnya. Warga kampung baru tahu kejadian itu setelah seorang perawat rumah sakit meminta mereka mencari potongan burung itu.
”Kami bingung karena Pandriyo memang punya beberapa burung di rumahnya. Tak tahunya ’burung’ yang itu,” kata Edi Wikarno, salah satu warga yang ikut nyebur ke sungai. Tenggat pencarian ditetapkan enam jam hingga delapan jam. Bila tidak, burung malang itu sulit disambung lagi.
Hampir sejam pencarian dilakukan, hasilnya nihil. Orang yang mencari di sungai sudah ditambah, tapi hingga tenggat dilewati, si burung itu tak jua kelihatan.
Tri yang masih setia menunggu Pandriyo di RSUD Muwardi, Solo, hanya terduduk lemas setelah tahu ”burung” milik pamannya ditemukan telah menjadi bonsai. ”Ndak bisa tumbuh lagi ya? Saya sebenarnya hanya ingin memberi pelajaran.” Duh, pelajaran mahal untuk cinta terlarang.
Imron Rosyid (Sukoharjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo