Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kematian di Bawah Laut

Gempa membuat terumbu karang Acropora di Simeulue tinggal satu persen. Gugusan karang sepanjang 85 km turun satu setengah meter.

7 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mawardi Ahmad kini mesti berhitung jika ingin meng-operasikan kapal motornya. Ikan-ikan makin sulit dijaring, padahal ongkos bahan bakar naik. “Kapal harus berlayar ke tengah laut,” katanya. Ini keluhan Mawardi, seorang nelayan di Sukamaju—sebuah desa di wilayah Kabupaten Simeulue—saat berbincang dengan Tempo pada pekan lalu.

Menurut Mawardi, sebelum gempa dan tsunami menerpa Simeulue dan sejumlah wilayah Aceh pada Desember 2004, kapal motor dia mampu mengangkut ikan 400 kilogram saban kali melaut. Itu pun tak perlu jauh-jauh ke tengah. Kini, keadaannya jauh berbeda. Kapalnya cuma sanggup menangkap setengah dari perolehan di atas setelah dua malam melaut.

Gempa dahsyat berkekuatan 8,7 pada skala Richter di masa tsunami memang masih menyisakan penderitaan bagi Mawardi dan ribuan warga Pulau Simeulue. Tumbukan lempeng Samudra Indonesia dan daratan Asia telah mengangkat pesisir pulau sampai setinggi 1,2 meter dari permukaan laut. Akibatnya, terumbu karang yang menjadi habitat ikan karang dan ikan permukaan menyembul ke permukaan lalu mengering. Ikan-ikan yang telah kehilangan habitat makin jarang kelihatan.

Hancurnya terumbu karang di Simeulue, yang terletak 150 kilometer dari Labuhan Haji di pantai barat Aceh, ramai diberitakan sejumlah media internasional pada bulan lalu. Ini setelah The Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) dan Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies mengumumkan hasil survei mereka di Simeulue dan Kepulauan Banyak.

Tim peneliti dua lembaga tersebut mencatat, sebagian dari 306 kilometer pantai Simeulue nongol ke permukaan air laut. Pada sejumlah titik, terumbu karang bisa terlihat dari jarak hanya beberapa meter di bibir pantai sampai 500 meter ke arah laut. “Skala kerusakan terumbu karang amat luar biasa,” kata Andrew Baird, pakar dari Australia. “Koral yang tersingkap ada di mana-mana.”

Stuart Campbell, koordinator Wildlife Conservation Society, menyebut kasus di Simeulue ibarat kisah kematian skala besar yang jarang teramati. Salah satu lokasi sepanjang 200 meter yang diteliti memperlihatkan gambaran itu.

Sebelum gempa, terumbu karang jenis Acropora yang semula masih sekitar 35 persen kini tersisa 1 persen. Lalu jenis Montipora, yang tadinya mencapai 15 persen, kini cuma ada 7,5 persen. Tim peneliti menyimpulkan, terjadi perubahan struktur pada sejumlah terumbu karang setelah gempa hebat.

Kondisi terumbu karang di Kepulauan Banyak yang terletak di timur Simeulue juga tak kalah menyedihkan. Tapi ini bukan karena gempa. “Sebagian besar rusak karena bintang laut ‘bulu seribu’ atau Acanthaster planci,” kata Tasrif Kartawijaya, peneliti dari Wildlife Conservation Society. Menurut dia, ini kasus besar yang pertama kali terjadi di Indonesia. Predator karang ini pernah merusak terumbu karang di Australia.

Serbuan bulu seribu perlu mendapat perhatian besar. Menurut Andrew Baird, selama ini banyak peneliti yang menyatakan kerusakan terumbu karang di Indonesia karena coral bleaching atau penangkapan ikan menggunakan racun sianida. “Kerusakan disebabkan bulu seribu jarang diteliti. Jadi, kita jangan hanya menyalahkan manusia,” ujarnya.

Mawardi Ahmad sudah merasakan dampak dari kerusakan terumbu karang tersebut. Menurut sang nelayan, terangkatnya Pulau Simeulue menenggelamkan sawah yang umumnya berada di wilayah pesisir. “Banyak petani kini terpaksa menjadi nelayan atau pembudidaya,” ujarnya. Dia mencatat, sebelumnya ada 3.000 nelayan di Kabupaten Simeulue. Setelah gempa dan tsunami, jumlah pencari ikan meningkat menjadi 5.965 orang.

Namun, tim peneliti menemukan bukti bahwa sebagian terumbu karang di Simeulue telah rusak sebelum gempa akibat aksi pengeboman ikan. “Patahan bekas bom air masih terlihat,” kata Tasrif. Temuan itu dibenarkan Syafril Yunus, Ketua Yayasan Simeulue Lestari.

Dia mencatat, sejak 10 tahun lalu warga setempat gemar menggunakan bom untuk menangkap ikan. Selain itu, batu-batu karang diambil penduduk untuk dijadikan bahan material untuk membangun jalan, jembatan, dan rumah. “Akibatnya, ada beberapa pulau kecil yang tenggelam,” ujarnya. Dia mencontohkan Pulau Balok, Lampase dan Dua.

Belakangan, sekelompok warga malah memakai sianida untuk menangkap ikan hias dan lobster. Ikan-ikan memang mabuk dan bisa dijaring, tapi terumbu karang juga rusak dihajar racun sianida. “Yang menggunakan bom dan sianida kebanyakan nelayan dari luar Simeulue,” kata Syafril. Nelayan lokal sebelumnya tak mengenal praktek semacam itu.

Untunglah, masih ada “berita baik” dari Stuart Campbell. Menurut dia, tak semua terumbu karang Simeulue rusak berat. Pada beberapa lokasi yang diteliti, memang ada jenis terumbu karang yang terangkat oleh gempa dan mati. “Namun, kini sudah mulai beregenerasi dan berkolonisasi di perairan dangkal,” katanya. Secara alami, dalam setahun terumbu karang akan tumbuh sekitar 10 sampai 12 sentimeter. Untuk kasus kerusakan di Simeulue tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun agar normal kembali.

Lain lagi pendapat Andrew Baird. Dia mengaku takjub terhadap sejumlah karang yang masih hidup meski sudah dua tahun berada di atas permukaan laut. “Malahan ada beberapa spesies yang kini mendominasi perairan dangkal,” katanya. Tim peneliti pun mengaku mendapat kesempatan langka mempelajari proses terbentuknya terumbu karang, karena selama ini para ahli hanya mampu mengamatinya melalui fosil.

Sebelumnya, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pernah melakukan penelitian mengenai dampak tsunami Aceh terhadap sumber daya alam. Mereka bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Norwegia. Dari riset, mereka menemukan gugusan karang sepanjang 85 kilometer dengan kedalaman 16–30 meter yang sejajar dengan pantai barat Aceh. “Akibat gempa dan tsunami, gugusan karang itu turun 1 sampai 1,5 meter,” kata Suharsono, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi.

Ketika tsunami melanda, gugusan karang tertimbun pasir, tapi lama-kelamaan pasir itu hilang disapu ombak. Itu sebabnya, Suharsono optimistis terhadap masa depan terumbu karang di Simeulue, karena secara alamiah bisa tumbuh kembali. “Peneliti kami melihat anakan yang kecil-kecil mulai membesar,” ujarnya.

Jika tidak ada gangguan, Suhartono meramalkan dua tahun lagi terumbu karang di Simeulue bakal membesar. Kuncinya, tentu, terletak pada kerja sama masyarakat dengan pemerintah daerah. “Pemerintah pusat juga harus turun tangan membantu infrastruktur nelayan yang rusak karena tsunami,” kata Mawardi, yang sudah rindu mengangkut ratusan kilogram ikan segar sehabis melaut.

Untung Widyanto, Deffan Purnama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus