Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjumpaan pertama saya dengan Tempo terjadi pada pertengahan 1980-an di pasar "shopping", Yogyakarta, saat itu masih berupa lorong-lorong toko kecil yang menjual buku dan majalah—baru dan bekas—dengan harga diskon. Majalah Tempo dikelompokkan dalam tumpukan majalah dan terhimpun jadi satu dengan majalah berbahasa Inggris Time, Newsweek, dan Fortune. Kadang terselip juga di tumpukan itu skripsi mahasiswa.
Logo majalah-majalah yang terletak di bagian atas halaman sampul telah disobek. Edisi yang tersedia adalah terbitan minggu-minggu yang telah lewat. Dugaan saya, majalah-majalah tanpa logo itu retur dari distributor, yang dijual ulang dengan harga diskon ketimbang sekadar tertumpuk di gudang.
Harga Tempo edisi kedaluwarsa tersebut tidaklah mahal. Tapi di akhir bulan, sebagai mahasiswa kos dengan uang terbatas, saya sering harus berpikir keras untuk sampai pada pilihan: membeli majalah Tempo untuk menu otak atau membeli lauk tempe untuk menu perut. Yang lebih sering terjadi, saya mengambil Tempo dan menomorduakan tempe. Gara-garanya, dosen-dosen senior saya di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada kerap menyitir majalah Tempo sebagai salah satu exemplar jurnalisme Indonesia.
Namun saya lebih sering menengok masthead Tempo yang memuat sejumlah nama sehingga saya merasa lebih akrab dengan pengelola Tempo ketimbang liputan-liputannya. Akibat membeli Tempo bekas, saya pun hanya bisa menikmati berita lama dan merasa berita-berita nasional yang berpusat di Jakarta sebagai kabar asing.
Setelahnya, saya membaca Surat dari Redaksi, yang umumnya bercerita tentang dapur Tempo, tentang bagaimana wartawan majalah itu menembus pejabat yang pelit bicara dan sulit ditemui, tentang bagaimana Tempo merumuskan rubrik baru, serta cerita tentang kegagahan wartawan Tempo yang menerobos wilayah panas Palestina dan berhasil mewawancarai Yasser Arafat. Setelahnya lagi, saya membaca rubrik Indonesiana, yang memuat cerita-cerita anekdotal dari penjuru Indonesia.
Tapi cara Tempo bercerita membikin saya terpikat serta bertanya-tanya bagaimana bisa menulis berita dan kisah panjang ataupun pendek dengan jernih dan enak dibaca. Sesekali, memenuhi janji tagline saat itu, Tempo juga bisa jenaka.
Perjumpaan saya yang kedua dengan Tempo berlangsung khidmat dan lebih serius. Pada akhir 1980-an, saya memutuskan menulis skripsi tentang Tempo. Picunya sederhana. Tahun 1983, pemerintah Orde Baru membuat dua keputusan besar. Gegara harga minyak dunia turun yang membikin pendapatan negara anjlok, pemerintah tidak lagi mampu menjadi penggerak ekonomi tunggal, dan memulai mengajak aktor ekonomi swasta ikut menggerakkan pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Lahirlah rangkaian deregulasi ekonomi yang dimulai di sektor perbankan. Pada momen yang sama, pemerintah menyatakan perlunya keterbukaan politik dan membiarkan sejumlah suara kritis tampil di media. Enam tahun kemudian, saat mulai mengerjakan skripsi pada 1989, saya menduga, sebagai efek deregulasi ekonomi dan guliran keterbukaan politik, proporsi kritik Tempo terhadap pemerintah tentunya meningkat.
Sejak itu saya tak semata melihat Tempo sebagai perusahaan penjaja berita yang menghibur. Tempo adalah sebuah institusi sosial yang mewakili kepentingan kolektif masyarakat (meskipun tak selalu semua kelompok sosial) berhadapan dengan kekuasaan negara atau pemerintah. Setidaknya dua fungsi bisa dijalankan oleh Tempo sekaligus: sebagai institusi bisnis dan institusi sosial jurnalisme.
Kita tahu, standar emas jurnalisme adalah obyektivitas. Jika berita mesti obyektif, kritik yang memuat subyektivitas jurnalis tidak patut muncul dalam liputan-liputan Tempo karena itu akan mengkhianati prinsip kerja jurnalistik. Untuk menjustifikasi bahwa kritik Tempo bisa dan boleh muncul dalam liputan-liputannya, saya mulai mengakrabi sebuah istilah teknis dalam dunia jurnalisme: editorializing news. Sejauh kritik itu berbasis pada fakta, kritik melalui liputan yang memuat subyektivitas jurnalis dimungkinkan.
Metafor tarik-menarik antara kereta dan kuda, yang populer di komunitas ilmuwan ilmu sosial, bisa menjelaskan situasi ini dengan baik. Kereta adalah teori, kuda adalah data. Seharusnya kereta ditarik oleh kuda dan bukan sebaliknya. Teori bisa benar hanya jika ditarik oleh data penelitian. Namun yang kerap terjadi, agar teori itu bisa menjelaskan gejala yang menjadi fokus penelitian, data dipilih secara selektif dan dicocok-cocokkan dengan teori. Akibatnya, keretalah yang justru menarik kuda.
Kereta dalam jurnalisme adalah kritik atau angle atau frame liputan yang memuat subyektivitas, sedangkan kudanya adalah fakta peristiwa. Subyektivitas dimungkinkan hanya sejauh fakta di lapangan mengizinkannya. Yang kaprah dalam jurnalisme di Indonesia, seolah-olah setiap kali menulis berita, jurnalis harus berada di luar peristiwa dan dilarang keras memasukkan subyektivitasnya.
Di belahan dunia lain, sejawat mereka, para jurnalis di negara maju, memiliki ruang subyektivitas yang mendapatkan pembenaran etis dan profesional. Artikel byline—artikel yang ditulis secara personal atas pertanggungjawaban sang jurnalis—adalah jenis liputan jurnalistik yang memuat subyektivitas. Hanya wartawan yang lolos dari saringan kemampuan profesional dan etis yang mendapatkan hak istimewa menulis secara byline dari institusi media yang menaunginya.
Ujungnya, penelitian saya salah tebak. Di dua rentang waktu yang berbeda—1983 dan 1989—proporsi kritik Tempo terhadap pemerintah tidaklah bertambah kencang. Rupanya, Tempo meyakini bahwa komitmen keterbukaan politik yang digembar-gemborkan pemerintah Orde Baru saat itu bukanlah sebuah komitmen yang hendak dipenuhi. Tempo tetap meliput dan mengkritik dengan kehati-hatian yang istimewa.
Insting Tempo untuk bertahan di tengah ketidakpastian politik tampaknya manjur. Sebab, lima tahun kemudian pada 1994, Tempo bersama sejumlah media lain dibredel pemerintah gara-gara mengungkap borok pembelian kapal perang bekas dari Jerman—yang justru biaya perbaikan dan perawatannya melampaui biaya pembelian kapal baru. Tapi penelitian itu bagi saya seperti sebuah jendela lain untuk memahami jurnalisme Tempo lebih jauh. Kadang, dalam sejumlah liputan pemberitaan, jurnalisme Tempo adalah jurnalisme kuda yang ditarik oleh kereta.
Perjumpaan ketiga dengan majalah Tempo terjadi ketika saya menekuni jurnalisme online dalam empat tahun terakhir. Setelah dibredel, Tempo mengunjungi pembaca dengan Tempo Interaktif yang berformat digital pada 1996. Tampak bahwa ini adalah Tempo darurat, karena gaya liputan yang termuat di Tempo Interaktif tidaklah mirip dengan liputan Tempo majalah. Baru setelah Orde Baru tumbang, majalah Tempo hadir lagi ke publik pada 1998 di tengah merebaknya jurnalisme online.
Tempo kemudian berkembang menjadi aglomerasi yang memiliki edisi berbahasa Inggris pada tahun 2000, Koran Tempo pada 2001, dan diikuti kehadiran Tempo.co, yang merupakan metamorfosis Tempo Interaktif, serta kehadiran Tempo TV. Tapi, bagi saya, obor jurnalisme Tempo tetap dipegang majalah. Yang menjadi pertanyaan, di tengah gempuran kehadiran blogging dan jurnalisme media online, bagaimana jurnalisme majalah Tempo beradaptasi?
Kecepatan pastilah bukan tantangan terbesar bagi jurnalisme majalah Tempo karena ia terbit mingguan. Karena itu, repositioning yang diambil majalah Tempo adalah mendefinisikan ulang jenis jurnalisme yang ditawarkannya ke publik. Ia kini mengandalkan dan memperbanyak teknik investigasi dalam laporan-laporan pemberitaannya. Teknik investigasi ini mesti dibedakan dengan rubrik investigasi, yang memang telah ada di majalah Tempo.
Sebagai teknik pengumpulan bahan dan teknik penyajian berita, investigasi Tempo tak harus berakhir di rubrik investigasi. Teknik ini bisa diterapkan di banyak rubrik. Dengan teknik ini, Tempo memisahkan diri dari arus latah berita pendek dan cepat yang disajikan media berita online lain. Yang terlihat, Tempo membentuk dan mempertahankan ceruk pasar pembaca serius, kelas menengah perkotaan, dan senior yang menghitung kredibilitas media sebagai pertimbangan penting untuk mengkonsumsi informasi.
Ancaman terbesar bagi Tempo justru dari kemungkinan abainya terhadap perilaku informasi kelompok millennials, yakni mereka yang lahir pada 1990-an. Mereka adalah kaum muda, digital natives, dan berperilaku proaktif sebagai "prosumen" informasi: produsen dan konsumen sekaligus. Weblog—yang kemudian diringkas menjadi blog—menjadi fitur media online yang digandrungi para millennials. Sejumlah media online yang hidup dan tumbuh di jagat digital merangkul mereka dengan menyediakan audienceblogs, journalistblogs, dan mediablogs agar mereka masuk jaringan, memperluas konversasi yang memperkuat pemasaran, dan menjadi prosumen loyal terhadap media yang bersangkutan.
Model bisnis yang dikembangkan majalah Tempo dengan membundel berita majalah dalam format PDF dan sekaligus menjajakan eceran per unit berita kurang-lebih bersifat tertutup dan justru memarginalkan rombongan millennials, yang memuja interaktivitas. Kecuali aglomerasi Tempo kelak beradaptasi lebih jauh dengan bertumpu pada pengembangan Tempo.co, jurnalisme ala majalah Tempo terlihat membelakangi waktu. Tapi saya tetap berharap kelak saya akan mengalami perjumpaan keempat, kelima, dan keenam dengan majalah Tempo—apa pun formatnya.
Dodi Ambardi (Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Gadjah Mada)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo