Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERISTIWA internasional, tempat-tempat yang "panas" di berbagai penjuru dunia, tak pernah luput dari perhatian Tempo. Ada kisah tentang manusia di sana, yang tak jarang terasa absurd. Agar bisa menyaksikan sendiri dan memperoleh cerita dari sumber pertama, sedapat mungkin kami mengirimkan wartawan dari Jakarta untuk meliput langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua peristiwa yang sulit diabaikan dalam kurang-lebih lima tahun terakhir adalah perang saudara di Suriah dan persekusi yang dialami kaum Rohingya di Myanmar. Meski masalah di kedua negara itu berbeda, implikasi kemanusiaannya sesungguhnya sama—bahwa rakyat yang tak berdaya menjadi korban permainan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang di Suriah adalah konflik multidimensi dan pelik karena banyaknya pihak yang terlibat langsung ataupun tak langsung. Selain telah menewaskan lebih dari seperempat juta orang, perang ini menyebabkan jutaan rakyat Suriah mengungsi ke negara-negara terdekat ataupun ke negara-negara di Eropa.
Nasib kaum Rohingya terpuruk—mereka menjadi hanya sekumpulan orang buangan, yang jika perlu dimusnahkan—sejak junta militer berkuasa. Kewarganegaraan mereka dinihilkan; mereka dianggap penyusup dari negara tetangga. Kebencian belakangan ditanamkan oleh sekelompok penganut Buddha berpandangan ekstrem. Konflik yang kian tajam menyebabkan sebagian dari kaum Rohingya mengungsi, di antaranya mendarat di Indonesia.
Ke Suriah, melalui Turki, Stefanus Teguh Pramono berangkat pada Oktober 2012 dan meliput selama sebulan. Sedangkan ke Negara Bagian Rakhine, Myanmar, bertolak Purwani Diyah Prabandari pada akhir Mei tahun lalu demi menceritakan tragedi kaum Rohingya. Dua masa yang berbeda, dua kawasan yang berlainan. Tapi mereka membawa pulang kisah yang membukakan mata.
RABU, 18 Juli 2012, adalah hari yang biasa saja. Setidaknya begitulah di pikiran Stefanus Teguh Pramono saat itu. Bangun tidur, sambil menunggu matahari naik tinggi, ia menghabiskan waktu dengan menelepon seorang kawan. Bersenda gurau sebentar sebelum menenggelamkan diri dalam rutinitas harian.
Biasanya ia berangkat ke kantor Tempo, yang saat itu berada di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, agak siang. Tiba di sana, ia akan duduk di kubikel abu-abunya di pojokan lantai dua. Kacamata tebalnya bakal berhadapan dengan layar komputer selama berjam-jam demi tugas sebagai redaktur mengisi kolom-kolom di halaman Koran Tempo. Larut malam, saat semua urusan selesai, ia bakal pulang. Itulah hari yang dibayangkan Pram—sapaan akrab Stefanus—saat itu.
Bukan hidup namanya jika tidak ada kejutan. Hari itu, sekitar dua menit sebelum pukul 12 siang, sebaris pesan dari Budi Setyarso, ketika itu Redaktur Pelaksana Nasional Tempo, masuk ke kotak surat elektroniknya. Isinya berupa permintaan berat yang tak akan mungkin bisa dia lupakan seumur hidupnya. "Saya diminta siap-siap untuk berangkat liputan perang ke Suriah," kata Pram mengisahkan pengalamannya, Kamis dua pekan lalu.
Berulang kali Pram membaca pesan itu. Hampir setengah jam lamanya ia hanya bisa terpana. Perasaan dan pikirannya berkecamuk. Liputan perang adalah liputan yang diimpikan dan juga dihindari wartawan. Ia ingin ke sana tapi juga tak ingin kehilangan nyawa. Ia ingin tahu segalanya tapi juga tidak tahu apa-apa tentang Suriah. Penasaran sekaligus cemas.
Akhirnya Pram merespons penugasan yang disampaikan lewat mailing list Kompartemen Nasional itu dengan jawaban ala permainan video Counter-Strike: "Roger that!"
Pram menjalani hari-hari penuh kegamangan setelah menerima pesan tersebut. Suriah adalah antah-berantah baginya. Upayanya mendapatkan visa digantung berminggu-minggu oleh Kedutaan Suriah di Jakarta. Walhasil, perjalanan Pram ke Suriah baru sebatas menggali informasi di dunia maya. Ia berselancar ke negeri itu lewat sambungan Internet dari Kebayoran Lama.
Diam-diam Arif Zulkifli, ketika itu Redaktur Eksekutif Majalah Tempo, mengamati hal tersebut. Hampir sebulan sejak memutuskan Pram meliput ke Suriah, Arif agak gelisah ketika melihat pria berambut gondrong itu belum beranjak dari kursinya di pojok kantor Tempo di Velbak itu.
"Sekali saya intip, masih ada. Dua kali saya lihat lagi juga belum jalan," ujar Arif. Akhirnya Arif mencoba mencari tahu alasannya lewat Redaktur Pelaksana Internasional saat itu, Bina Bektiati. Dari Bina, Arif mengetahui alasan Pram tak kunjung terbang ke lokasi perang.
Arif lalu memanggil dan mengajak bicara Pram. Ia meminta Pram melupakan segala alasan teknis yang jadi penghambatnya untuk segera ke Suriah. "Pokoknya berangkat saja dulu. Jangan khawatir apa pun, karena ini perjalanan yang bakal membuat nama kamu dikenal sebagai wartawan perang," kata Arif saat itu.
Didorong agar segera berangkat membuat Pram makin mematangkan persiapan. Ia belajar kembali memfasihkan bahasa Inggrisnya dan sedikit-sedikit belajar bahasa Arab. Untuk bahasa Arab, ia meminta bantuan reporternya, Subkhan Jusuf Hakim, untuk mengajarinya.
"Dia minta diajari kata-kata bahasa Arab yang kira-kira diperlukan dalam situasi mendesak," ucap Subkhan. Waktu yang mepet membuat Subkhan tak bisa banyak membantu dalam berlatih bahasa. Untuk berjaga-jaga supaya tak lupa, akhirnya Subkhan memberi Pram secarik kertas sontekan berisi beberapa kata bahasa Arab yang bisa digunakan sehari-hari.
Selain belajar bahasa, ia berkonsultasi dengan para wartawan senior. Seorang di antaranya Qaris Tajudin, Redaktur Pelaksana Gaya Hidup Tempo yang pernah meliput Arab Spring. "Beberapa kali kami ngobrol. Tapi pesan saya kepada Pram yang paling penting itu adalah supaya dia lebih percaya pada feeling-nya saat liputan perang," ujar Qaris.
Amunisi Pram untuk terbang ke Suriah pun lengkap. Ia memutuskan memasuki negara itu melalui perbatasan dari sebuah kota di Turki. Menjelang keberangkatannya, ia membeli beberapa perlengkapan, dari rompi antipeluru, sepatu baru, hingga berboks-boks rokok, cokelat, dan permen. Mendekati Idul Adha, ia akhirnya terbang untuk "jihad" di Suriah.
Pram menginjakkan kaki di Ankara, Turki, bertepatan dengan Idul Adha, 26 Oktober 2012. Ia disambut udara malam yang sangat dingin di negeri yang bersebelahan dengan Suriah itu. Perjalanannya masih jauh. Dari Ankara, dia masih harus terbang ke Hatay, provinsi di selatan Turki. Di sanalah dia mendapat segala informasi tentang bagaimana bisa masuk ke Suriah.
"Ternyata saya masih harus pergi lagi ke Kota Kilis, dua jam perjalanan dari Hatay," kata Pram.
Di Kilis, Pram memegang teguh pesan dari Qaris yang ibarat panduan dan tip liputan perang. Salah satunya bagaimana mencari hotel—yakni pilihlah hotel bukan karena fasilitasnya, tapi dari jumlah wartawan yang menginap di sana. Banyak wartawan sama dengan banyak informasi.
Pram memutuskan menjadikan Kilis sebagai basisnya. Ia menginap di hotel kecil bernama Istanbul. Dari kota ini, ia bisa menyeberang dan masuk ke Kota Azaz di Suriah dengan mudah.
Pagi hari sekitar pukul tujuh, meski masih agak bingung, Pram tetap melangkahkan kaki mencoba masuk ke Azaz. Sebelumnya, ia mendapat informasi bahwa kota itu sudah dikuasai kelompok pemberontak yang menentang pemerintahan Bashar al-Assad. Jantungnya berdetak kencang setiap kali ia makin dekat ke perbatasan. Apalagi ia menerima informasi bahwa kelompok pemberontak ini sangat tak ramah kepada nonmuslim. Semua hal menakutkan seakan-akan hinggap di kepalanya saat itu.
Tak disangka, ia bisa menyeberang dengan mudah. Sampai di sana, pemandangan awal yang menyambutnya adalah ratusan tenda pengungsi. "Dan di Kota Azaz ini saya juga bertemu dengan fixer saya, Alaaeddin."
Perjalanan Pram pada hari pertama ke Suriah tidak lama. Dengan Alaaeddin, ia sepakat kembali ke Turki sebelum magrib tiba. Pertimbangannya, meski saat itu perang dalam gencatan senjata, berjalan dalam gelap tetap berbahaya.
Dari Azaz, mereka berangkat ke Kota Aleppo. Kota tua ini menjadi garis depan pertempuran. Sepanjang perjalanan selama satu jam, Pram tidak pernah lepas memegang cincin rosarionya. Doa rosario tak henti ia komat-kamitkan dari mulutnya. "Pikiran saya, ini perjalanan pertama ke lokasi perang, bisa saja saya mati sekarang. Jadi mending berdoa terus."
Sampai Aleppo, ia dicegat sekawanan pemberontak. Melalui penerjemahnya, mereka bertanya dari mana asal dan apa kepentingannya. Pram menjelaskan bahwa ia datang dari Indonesia, negara dengan penduduk muslim paling banyak di dunia dan sangat mengagumi Suriah.
Mendengar jawaban Pram, seorang pemberontak mendekat dan memeluknya. Ia mengucapkan selamat datang di Suriah dan Pram diterima serta dilindungi sebagai tamu. "Itu sambutan paling hangat. Ketakutan saya rontok dan membuat saya terharu. Meski perang, toleransi mereka sangat tinggi," ujar Pram.
Kehangatan terus berlanjut. Kadang beberapa hari Pram perlu berada di Suriah dan menginap bersama kelompok pemberontak. Pemberontak menunjukkan kepada Pram beberapa lokasi penting selama perang. Di waktu senggang, mereka akan mengobrol sambil mengisap rokok kretek yang diboyong Pram dari Jakarta.
Para pemberontak bahkan tak sungkan bercanda dengan Pram. Pernah suatu kali, saat Pram hendak pamit setelah mengunjungi Aleppo, sekelompok penjaga dari kubu pemberontak berkumpul di dekatnya. Tiba-tiba Pram mendengar bunyi desing seperti bom yang mendekat jatuh, para pria itu kemudian berlari berhamburan.
Mengira ada bom yang jatuh di tempatnya, Pram hanya bisa merunduk sambil menutup telinga dan memejamkan mata. Ia berpikir mungkin saja ia bisa mati. Setelah sekian lama ternyata tidak apa-apa, kawanan penjaga tadi tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Pram. "Ternyata saya dikerjain, jadi tadi itu cuma bunyi handphone," kata Pram, yang mengaku memerah dan hampir menangis saat itu.
Banyak peristiwa lain yang menjadi kenangan tak terlupakan bagi Pram dari liputannya di Suriah. Ia tak mengira mampu bertahan sebulan di negeri itu dan menjalin silaturahmi dengan penduduk sekitarnya. Pram bahkan pernah ditawari salah seorang kenalannya dari kubu pemberontak untuk menikahi wanita Suriah. "Sempat tergoda juga, apalagi perempuan di sana cantik-cantik," ujar Pram sambil tergelak.
Hari terakhir di Suriah, Pram menghabiskan waktunya di tenda pengungsi. Ia membagi-bagikan cokelat dan permen yang dibawa dari Indonesia untuk anak-anak korban perang. Di situ ia menyesal karena tidak membawa camilan manis itu lebih banyak.
Tujuh bulan setelah meninggalkan Suriah, perjuangan Pram meliput perang di negeri itu berbuah pengakuan internasional. Pada Juni 2013, Pram menerima Kate Webb Award 2013 untuk liputannya selama sebulan di medan perang. Kate Webb Award adalah penghargaan dari agensi berita AFP untuk jurnalis yang meliput daerah berbahaya dan sulit. Atas jerih payahnya, Pram diganjar hadiah senilai 3.000 euro (sekitar Rp 43,5 juta dengan kurs sekarang), yang kemudian ia berikan seluruhnya kepada ibunya, Anastasia Sri Handayani, untuk ibadah di tanah suci.
"Buat saya, pengalaman selama di Suriah tidak bisa dinilai. Sungguh sedih sebenarnya melihat sampai hari ini perang di sana belum juga berhenti," kata Pram.
Kisah dari Penjara Raksasa Rohingya
POLISI Negara Bagian Rakhine, Myanmar, mendadak mendataLiputngi kediaman Sadak Husain di Desa Dapaing di pinggiran Sittwe, Jumat malam, 5 Juni tahun lalu. Polisi itu menanyakan identitas orang asing yang menjadi tamu Sadak.
Sang polisi juga mengorek informasi ihwal tujuan tamu Sadak berada di Sittwe, ibu kota Rakhine. Tapi pemuda 20 tahun ini memilih tetap merahasiakan identitas tamunya meski menghadapi berondongan pertanyaan selama 20 menit.
Tamu Sadak kala itu adalah Purwani Diyah Prabandari, redaktur Tempo. Prabandari menyambangi kawasan konflik di ibu kota Rakhine untuk meliput kondisi kaum muslim Rohingya. Mereka terisolasi di salah satu kawasan pinggiran Sittwe dan di sebuah kotak di tengah Kota Sittwe karena konflik komunal yang meledak pada Juni 2012.
Sadak memberitahukan kedatangan polisi ke rumahnya kepada Prabandari keesokan harinya. Prabandari khawatir terhadap keselamatannya. Tapi pria Rohingnya ini menyatakan ketidaktakutannya. "Saya tanya apa Sadak takut menemani saya lagi hari itu. Dia bilang tidak apa-apa. Malah dia menjawab, 'Kalau harus mati, saya mati syahid'," kata Prabandari, Jumat dua pekan lalu.
Sebenarnya Sadak paham risiko yang menanti jika ketahuan menerima atau membantu tamu asing, apalagi wartawan. Tapi ia yakin penyamaran Prabandari tak diketahui karena ia berbohong kepada polisi tadi. "Dia menjawab tanpa membuka kebenaran tentang saya," ujar Prabandari.
Sejak konflik komunal, pemerintah Rakhine memperketat pengawasan, khususnya terhadap warga Rohingya. Selain tidak bebas bergerak, warga Rohingya hanya bisa bepergian di kawasan isolasi sepanjang sekitar 14 kilometer. Sebagian dari mereka tinggal di desa, sebagian lagi di kamp pengungsi. Atau di sekotak kawasan sekitar 150 x 150 meter di tengah kota.
Bukan hanya kebebasan bergerak yang tercerabut dari masyarakat Rohingya, berbicara pun tak boleh sembarangan, apalagi kepada orang asing. Kondisi inilah yang dikisahkan Prabandari dalam laporan utama majalah Tempo edisi 14 Juni 2015 melalui tulisan berjudul "Penjara Rohingya Bertepi Laut".
Rencana mengirim reporter ke Rakhine bermula saat 600 pengungsi Rohingya, dalam satu perahu, terdampar di Teluk Langsa, Aceh Timur, awal Mei tahun lalu. Tujuan mereka sesungguhnya adalah Malaysia. Tapi ombak tinggi membawa mereka ke daerah Serambi Mekah itu.
Agar tulisan lengkap, koresponden Lhokseumawe, Aceh, Imran M.A., ikut membantu reportase ke Teluk Langsa. Seulki Lee, koresponden yang kebetulan berada di Malaysia, juga diminta mereportasekan kegiatan pengungsi Rohingya di Pasar Borong, Selangor. Di sini bermukim sekitar 10 ribu orang Rohingya.
Sebelum berangkat ke Myanmar, Prabandari lebih dulu menghubungi sejumlah tokoh Rohingya di negara yang lama dikuasai rezim militer itu. Dari beberapa orang yang tinggal di Yangon, ia diberi sejumlah nomor kontak tokoh Rohingya di Sittwe. Sang tokoh meyakinkan Prabandari bisa masuk ke Sittwe, tapi susah untuk daerah lain. "Harus melewati banyak pos polisi. Penjagaan juga ketat," katanya kepada Prabandari.
Prabandari berangkat ke Myanmar pada Rabu, 27 Mei tahun lalu. Ia terbang ke Yangon lebih dulu, dan bertemu dengan beberapa tokoh Rohingya di sana. Malam sebelum bertolak ke Sittwe dari Yangon, Prabandari diserang rasa khawatir. Tokoh Rohingya di Sittwe memberi tahu bahwa ia harus melapor lebih dulu ke pemerintah setempat begitu tiba di Sittwe. Melapor bisa berarti ia tidak diperbolehkan masuk ke kawasan isolasi komunitas Rohingya. Padahal targetnya adalah mereportasekan kondisi orang Rohingya di kawasan isolasi yang berpagar laut itu. "Akhirnya saya dikasih nomor kontak orang yang bisa mengurus saya selama di Sittwe," ucap Prabandari.
Prabandari terbang keesokan harinya. Sampai di Bandar Udara Sittwe, ada masalah lain. Kartu telepon yang dibelinya di Yangon ternyata tak bisa digunakan di Sittwe. "Aku panik karena tidak tahu bagaimana menghubungi sopir yang menjemputku," ujarnya.
Kepanikan bertambah saat Prabandari menunggu bagasi di terminal kedatangan yang kecil. Dia dihampiri dua orang, petugas berpakaian putih-putih dan polisi. Lelaki berpakaian serba putih itu mengecek paspor Prabandari, lalu menanyakan tujuan dan lama kunjungan di Rakhine.
Sang polisi mencecar Prabandari. Dia mencari tahu apakah profesi Prabandari sebagai wartawan atau fotografer. "Saya mencoba menjawab dengan bercanda. Saat ditanya apakah saya wartawan, saya balik bertanya, 'Emang kalau wartawan enggak boleh jalan?'" kata Prabandari.
Prabandari tak bisa memastikan mengapa kedua petugas itu hanya mencecarnya, sedangkan penumpang lain tidak. Ia menduga karena penampilannya yang mencolok. Ia mengenakan kerudung sehingga mudah dikenali sebagai muslim. Padahal muslim Rohingya tak bebas bepergian di luar area isolasi.
Kawasan isolasi itu berada di sebelah timur Rakhine sepanjang 14 kilometer, membentang sampai ke Teluk Benggala. Kamp ini dihuni sekitar 100 ribu orang Rohingya. Area lain adalah Aung Ming Lar, sebuah kantong sekitar 150 x 150 meter di tengah Kota Sittwe, dihuni 4.200 pengungsi.
Sengaja tak banyak bertanya untuk menghindari perdebatan, Prabandari baru terbebas dari polisi tadi setelah penjemputnya datang. Beruntung karena si penjemput sukses menebak identitas tamunya. Mereka lalu bergegas pergi dan melesat dengan mobil menuju Sittwe.
Selama empat hari di Rakhine, Prabandari menginap di hotel yang berdekatan dengan kantor polisi. Di sini ia harus pandai-pandai mengelabui polisi agar tak dicurigai. "Penjemput saya selalu melihat-lihat dulu apa ada yang mengawasi atau tidak," ucap Prabandari.
Sopir penjemput Prabandari cukup mawas diri. Ia membawa seorang teman yang bertugas sebagai "mata-mata". Apalagi penjemput yang orang Buddha Rakhine juga khawatir ketahuan membantu wartawan masuk ke kawasan isolasi. Begitu masuk kawasan isolasi, ia segera menyerahkan Prabandari ke penjemput berikutnya, orang Rohingya.
Demikian pula di dalam kawasan isolasi. Sopir dan penerjemah yang selalu bersama Prabandari harus waspada. Mereka membawa seorang remaja menjadi "mata-mata" yang mengawasi situasi sekeliling saat Prabandari sedang mewawancarai para sumbernya.
Para sumber juga berhati-hati. Selama wawancara, mereka selalu memilih tempat yang tersembunyi, biasanya di dalam pagar rumah. Untuk sumber yang tinggal di kamp pengungsi, mereka juga selalu meminta wawancara dilakukan di halaman rumah orang di desa, supaya tak mengundang perhatian polisi. Maklum, di dalam kawasan isolasi ini banyak berdiri kantor polisi ataupun militer.
Prabandari melihat, walau terbelenggu di dalam sebuah "penjara raksasa", orang Rohingya begitu bersahabat. Di tengah kemiskinan, mereka mengundang Prabandari makan siang. Dua kali Prabandari menerima ajakan makan. Kepadanya pernah dihidangkan nasi dengan ayam bersantan. Pernah pula nasi dengan menu daging mirip rendang, ikan kuah kari, dan sayur bening.
Saat menyambangi masyarakat Rohingya, Prabandari sudah siap dengan beberapa nama yang akan ditemui. Nama itu diperoleh dari pengungsi Rohingya di Teluk Langsa. Prabandari meminta bantuan koresponden di Aceh, Imran, agar bertanya alamat keluarga pengungsi itu di Sittwe.
Dari situ diperoleh alamat keluarga Zaidul Haq, pengungsi Rohingya di Teluk Langsa, yang berada di kawasan isolasi di pinggiran Sittwe. Pria 25 tahun itu meninggalkan seorang istri dan tiga anak di Sittwe.
Imran mengirim pula foto Zaidul dan beberapa pengungsi Rohingya lainnya di Teluk Langsa. Bermodalkan foto-foto itu, Prabandari mencari keluarga Zaidul. Saat bertemu dengan mereka, suasana berubah jadi haru. Istri Zaidul, Mominah Begam, tersedu-sedu melihat foto suaminya yang selamat.
Banyak orang Rohingya mendatangi Prabandari untuk melihat foto-foto yang dikirim Imran. Dari foto-foto itu, mereka gembira karena lebih mengetahui nasib keluarganya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo