Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU saja wartawan Tempo itu menginjakkan kaki di rumah tersebut, sang pemilik langsung menghardik. "Kamu dari Tempo? Gara-gara kamu, saya dimarahi keluarga besar!"
Sang wartawan adalah Sujatmiko, koresponden Tempo di Tuban, Jawa Timur. Sahibulbait adalah Shinta—bukan nama sebenarnya—salah seorang anak Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia. "Lain kali lebih hati-hati kalau menulis ayah saya," kata Shinta merengut ketika ditemui pada akhir Februari lalu.
Yang dipersoalkan Shinta, 61 tahun, adalah Edisi Khusus Tempo tentang Sjam yang terbit pada 17 November 2008. Ditulis dengan judul "Lelaki dengan Lima Alias", laporan itu mengungkap peran Sjam dalam prahara Gerakan 30 September 1965.
Setelah edisi itu terbit, Shinta menuai protes. Ia dianggap ceroboh karena berbicara ke media tanpa menimbang dampaknya. Beberapa paman dan saudara sepupu juga menyalahkan dia. Apalagi banyak anggota keluarga Shinta menduduki posisi penting baik di lembaga pemerintah maupun swasta. Mereka cemas kehidupannya terganggu karena tulisan itu. Shinta meminta maaf kepada keluarganya. "Saya bilang, ini garis hidup kami," ujarnya. "Kami ini korban politik."
Ide menulis tentang Sjam Kamaruzaman berawal dari liputan khusus tentang Ketua PKI D.N. Aidit, Oktober 2007. Dalam liputan itu, nama Sjam berkali-kali disebut sejumlah sumber sebagai lelaki misterius yang sangat dipercaya Aidit. Sjam mengetuai Biro Chusus, lembaga bawah tanah yang keberadaannya tidak tercatat dalam struktur resmi PKI.
Tapi tak banyak informasi tentang Sjam pada saat edisi khusus itu ditulis. Tak seperti Aidit, keberadaan keluarga Sjam sama sekali tak terlacak. Teman dan handai tolan juga tak diketahui keberadaannya.
Kabar baik datang dari John Roosa, sejarawan dari Universitas British Columbia, Kanada. John baru saja menerbitkan buku Dalih Pembunuhan Massal, sebuah studi tentang G-30-S. Dua wartawan Tempo menemui John di Institut Sejarah Sosial Indonesia, lembaga kajian di Pondok Gede, Jakarta Timur.
John tak sendiri. Ia membawa Suryoputro—bukan nama sebenarnya—teman Sjam ketika masih bermukim di Tuban. Suryo, yang pernah ditahan karena dituduh terlibat G-30-S, menceritakan masa kecil Sjam di Tuban dan masa remaja di Yogyakarta. Suryo mengaku tidak tahu perihal kehidupan Sjam setelah hijrah ke Jakarta. "Ada kesan dia menyembunyikan informasi," kata Arif Zulkifli, kini Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, salah satu wartawan yang menemui John dan Suryo.
Mentok soal sepak terjang Sjam di PKI, Suryo membuka fakta lain: keberadaan anak-anak Sjam. Mula-mula Suryo hanya menyebutkan seorang anak Sjam yang tinggal di pinggiran Jakarta. Setelah dibujuk, akhirnya dia mau memastikan lokasi tinggal Maksun—nama samaran anak sulung Sjam—di Tangerang Selatan, Banten.
Berbekal informasi dari Suryo, Tempo bergerak ke rumah Maksun. Sesampai di sana, hari sudah gelap. Tuan rumah sempat menolak ditemui. "Mereka mengira kami intelijen," ujar Budi Riza, salah satu redaktur yang bertugas hari itu. Jurus bujuk-rayu dipakai. Budi menyebutkan Tempo tak punya niat jahat. Ia menyerahkan edisi khusus tentang Aidit yang terbit setahun sebelumnya sebagai bukti niat baik. Jurus itu mendatangkan hasil.
Dari Maksun, diperolehlah cerita tentang kehidupan pribadi Sjam: seorang ayah yang baik dan tenang tapi misterius. Maksun ingat, bersama bapaknya, ia dan adik-adiknya sering bertamasya melihat matahari tenggelam di Pantai Sampur, dekat Cilincing, Jakarta Utara.
Sepekan setelah pertemuan itu, Tempo mengundang Maksun ke kantor redaksi. Tak disangka, ia membawa istri dan anak serta adik-adiknya. Dalam pertemuan itu, anak-anak Maksun untuk pertama kali mengetahui bahwa kakek mereka adalah tokoh penting PKI.
Tersebutlah Kelana—bukan nama sebenarnya—putra bungsu Sjam yang juga hadir dalam pertemuan itu. Ketika G-30-S meletus dan bapaknya menjadi buron entah ke mana, Kelana yang ketika itu masih kanak-kanak hidup telantar. Ia sempat nyantri ke sejumlah pesantren di Pantai Utara Jawa sebelum menggelandang di sekitar Pasar Genjing, Rawamangun, tak jauh dari rumah mereka.
Pada sekitar 1974, Kelana membaca berita pada sobekan koran yang menyebutkan tahanan PKI dipindahkan ke penjara Budi Utomo, Jakarta Pusat. Mencari ayahnya, Kelana mengunjungi rumah tahanan itu. "Bukannya diusir, saya malah disambut dengan ramah oleh sipir penjara," kata Arif menceritakan kembali penjelasan Kelana.
Sjam sempat menanyakan kabar keuangan putra bungsunya itu. Tahu anaknya berkantong kempis, Sjam meminta Kelana mengambil uang di sebuah tas di dalam sel. Sejak saat itu, setiap kali kehabisan uang, Kelana mendatangi bapaknya di penjara. Bagaimana Sjam memperoleh uang? "Di penjara, Bapak bekerja sebagai perajin tas," ujar Kelana mengutip bapaknya.
Penjelasan itu tidak serta-merta dipercaya Budi dan kawan-kawan. Soalnya ada kecurigaan Sjam mendapat uang sebagai upah atas perannya mengidentifikasikan peran politik tahanan PKI. Sudah lama jadi rumor tentang posisi Sjam sebagai juru tuding. Tapi tak ada yang mengkonfirmasi kabar itu.
Dari Salim Hutajulu, tahanan peristiwa Malari yang pernah satu blok dengan Sjam di Budi Utomo, Tempo mendapat cerita bahwa Sjam diperlakukan istimewa oleh tentara. Meski ditahan, dia bisa keluyuran keluar-masuk sel.
KEPADA Tempo, John Roosa memberikan dokumen penting: fotokopi berita acara pemeriksaan Sjam Kamaruzaman ketika ia diinterogasi militer sepanjang 1966-1967. John mendapatkannya dari sebuah perpustakaan di Jakarta. Tapi John tak memakai dokumen itu dalam risetnya. "Validitas dokumen itu diragukan karena Sjam memberikan kesaksian di bawah tekanan," ujar John ketika itu.
Arif, yang membaca risalah itu, menganggap dokumen tersebut tak bisa sama sekali diabaikan. Kecuali tentang skenario G-30-S yang boleh jadi tak valid, dua cerita lain, menurut Arif, terlalu berharga untuk tak digubris. Keduanya adalah drama tentang penyamaran Sjam sebelum G-30-S meletus dan rute pelarian setelah ia menjadi buron.
Cerita pertama mendapat konfirmasi dari anak-anak Sjam. Kelana, misalnya, bercerita suatu ketika pernah diajak ayahnya berkunjung ke rumah Pono, asisten Sjam di Biro Chusus. Oleh anak-anak Pono, Sjam disapa dengan nama Om Djimin. Kelana sempat bertanya mengapa ayahnya punya nama lain, tapi Sjam tidak memberi jawaban yang meyakinkan. Belakangan, diketahui bahwa Sjam memiliki lima nama alias.
Rute pelarian Sjam dari Jakarta ke Bandung, seperti tertera dalam BAP itu, juga ditelusuri. Koresponden Tempo di Bandung melacak kembali lokasi persembunyian Sjam hingga akhirnya ia ditangkap setahun setelah G-30-S. Dari Shinta, Tempo mendapat cerita hari-hari terakhir Sjam sebelum dieksekusi pada 1986. Dari Shinta pula Tempo memperoleh surat wasiat Sjam kepada keluarganya.
Cerita tentang Sjam juga kami peroleh dari Hamim, bekas anggota Biro Chusus yang masih hidup ketika edisi khusus Sjam Kamaruzaman ditulis. Hamim adalah nama samaran. Ia lama mendekam di penjara Cipinang bersama Ahmad Taufik, wartawan Tempo yang ditahan dalam kasus pendirian Aliansi Jurnalis Independen.
Tak banyak informasi di mana Hamim bermukim. Taufik mengeceknya lewat sipir Cipinang. Dua pekan mencari, belakangan diketahui bahwa Hamim tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Taufik bertolak ke Tasik. Di rumah Hamim, ia diterima dengan hangat. Mengetahui kisahnya hendak dipublikasikan, Hamim sangat berhati-hati. Ia, misalnya, tak ingin pertemuan itu didokumentasikan baik berupa foto maupun video. "Tak kehilangan akal, dalam edisi khusus, wajah Hamim ditampilkan dalam bentuk sketsa," ucap Taufik. Di rumah itu, Hamim tak mengizinkan tamunya memarkir mobil dekat rumah. Meski Soeharto sudah lengser, Hamim merasa banyak intelijen tentara mengamatinya.
Berlangsung lima jam, dalam wawancara itu Hamim membuka tabir tentang Sjam dan G-30-S. Menurut dia, sebagai intel, Sjam memberikan informasi yang keliru kepada Aidit. Hamim juga mengkonfirmasi bahwa Sjam "dipelihara" tentara selama ditahan agar membocorkan keberadaan perwira militer lain di dalam tubuh PKI.
Setelah edisi khusus Sjam terbit, Taufik mengirimkan satu eksemplar Tempo kepada Hamim. Melihat sketsa wajahnya terpampang, ia memprotes. Trauma masa lalu masih membuatnya mudah cemas. "Yang ketakutan keluarga, bukan saya," kata Hamim.
Beberapa tahun setelah edisi khusus itu terbit, Hamim berpulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo