Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYAMARAN Hari Tri Wasono untuk "menyelinap" ke rumah Kiai Idris Marzuki sukses. Mengenakan baju koko, celana bahan, dan peci, Hari menyaru sebagai santri agar bisa bertemu dengan pemimpin Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, itu.
Upaya menyamar ini merupakan jalan terakhir Hari agar bisa bertemu dengan Kiai Idris pada awal September 2012. "Pengurus pondok pesantren selalu menolak permintaan wawancara karena isunya sensitif," kata koresponden Tempo di Kediri tersebut, akhir Februari lalu.
Hari mendapat tugas mewawancarai kiai sepuh di lingkungan pesantren sebagai narasumber dalam penyusunan Liputan Khusus "Pengakuan Algojo 1965", yang terbit pada 1 Oktober 2012. Majalah Tempo beberapa kali menulis laporan khusus dengan tema terkait dengan Partai Komunis Indonesia, yang biasanya diterbitkan sekitar akhir September atau awal Oktober, seperti laporan mengenai Dipa Nusantara Aidit dan Musso. Pada 2012, pilihan jatuh untuk menulis tragedi 30 September 1965 dari sudut pandang pelaku pembantaian. Untuk itu para wartawan disebar buat menggali kisah para algojo tersebut di beberapa daerah. Hari kebagian kawasan Kediri.
Tapi menemui Kiai Idris tidak mudah. Hari mendapat informasi bahwa Kiai Idris selalu membuka rumahnya setiap pukul 16.00 untuk orang tua santri. Kebiasaan ini dilakukan guna memberi wejangan kepada murid yang baru masuk atau akan lulus. Hari pun antre di depan kediaman Kiai Idris persis pukul 16.00. Di sana rupanya sudah ada puluhan santri dan orang tuanya yang antre. Setiap orang yang masuk akan mendapat jatah tak lebih dari 10 menit untuk mendengar taushiyah dari sang kiai.
Setelah antre selama 30 menit, tiba giliran Hari. Ia sempat khawatir Kiai Idris bakal marah. "Makanya, begitu duduk, saya langsung mengaku dari Tempo dan jujur mau ngapain," ujar Hari. Ternyata prasangka Hari keliru. Sang kiai malah tersenyum. "Kiai malah bercerita dua jam lebih, sampai-sampai orang tua santri jutek ketika melihat saya keluar."
Pada saat itulah Kiai Idris memaparkan bagaimana tentara berada di belakang pembantaian PKI. Komando Daerah Militer Brawijaya, kata dia, bahkan mengirimkan pasukan tak berseragam ke Lirboyo untuk mengangkut para santri dengan truk militer dan mengirim mereka ke kantong-kantong PKI di Karesidenan Kediri serta menjadikan para santri sebagai algojonya. Kiai Idris wafat pada Juni 2014.
LIPUTAN Khusus "Pengakuan Algojo 1965", yang sering disebut "Edisi Algojo", merupakan laporan investigasi Tempo yang persiapannya paling cepat. Penanggung jawab proyek liputan ini, Kurniawan, mengatakan tim hanya punya waktu satu bulan untuk menyelesaikannya. "Padahal informasi keberadaan para algojo minim sekali, karena selama ini yang bermunculan baru kisah keluarga korban pembantaian," ujarnya.
Idenya berangkat dari film The Act of Killing (Jagal) besutan sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer. Film dokumenter yang baru selesai dan dirilis di Toronto, Kanada, pada September 2012 itu berisi pengakuan Anwar Congo, preman di Medan yang membantai simpatisan PKI sepanjang 1965-1966.
Pada mulanya ide ini hendak diwujudkan menjadi liputan mengenai film tersebut. Tapi, dalam rapat redaksi, ide ini berkembang menjadi liputan khusus mengenai para algojo. Tim peliput pada mulanya khawatir apakah para algojo ini bersedia memberi kesaksian. Selain itu, bagaimana memastikan bahwa merekalah pelakunya dan apakah mereka masih hidup setelah lewat masa hampir setengah abad.
Menurut Kurniawan, jejak para algojo mulai terlacak setelah Tempo berdiskusi dengan sejumlah sumber, termasuk Yosep "Stanley" Adi Prasetyo, saat itu menjabat Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kebetulan, pada akhir Agustus tahun itu, Komisi juga baru menyelesaikan laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam pembantaian 1965 dan menyampaikannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tempo juga menghubungi sumber lain yang sudah lama menangani keluarga korban pembantaian 1965, seperti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah. Penggalian literatur dan wawancara awal dengan sejarawan juga dilakukan. Dari mereka semua, Tempo mendapat peta bumi titik-titik pembantaian terjadi dan sejumlah nama algojonya. Kisi-kisi pengejaran segera didistribusikan ke daerah.
Salah satu algojo yang bisa terlacak adalah seorang lelaki asal Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur,yang berjulukan Bapa Tengkorak. Pencarian Bapa Tengkorak diserahkan kepada koresponden Tempo untuk Nusa Tenggara, Yohanes Seo.
Seo kemudian menghubungi Viki da Gomes, wartawan media lokal di Maumere, untuk diantar ke rumah Bapa Tengkorak. Seo beruntung mengajak Viki karena Bapa Tengkorak ternyata hanya bisa bahasa suku Sikka. "Viki jadi penerjemah," katanya. Sang Bapa bercerita banyak tentang tragedi kemanusiaan tersebut. Bahkan ia menunjukkan lokasi pembantaiannya. Salah satunya terletak di belakang Kantor Bupati Sikka.
Sunudyantoro, saat itu Kepala Biro Tempo untuk Jawa Tengah-Yogyakarta, mengatakan penemuan para algojo banyak dilakukan oleh koresponden daerah. "Ada faktor keberuntungan juga," ujarnya. Agus Supriyanto, Kepala Biro Tempo untuk Jawa Timur waktu itu, membenarkannya.
Khusus Jawa Timur, Jakarta meminta koresponden menelusuri jejak pembantaian yang ada di buku Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu. Buku itu memotret pembantaian orang-orang PKI oleh kalangan pesantren di Kediri-Jombang. Tugas di Kediri dibebankan kepada Hari dan Jombang menjadi tanggung jawab Kukuh S. Wibowo.
Khusus wilayah Jombang, Tempo juga mengirim seorang wartawan dari Jakarta, Dian Yuliastuti. Dian bukan orang Jawa Timur, ia lahir di Boyolali. "Benar-benar buta soal daerah Jombang," katanya.
Dian bertemu dengan Farid Ma'ruf, putra RA, algojo dalam buku Hermawan. Farid mengatakan bahwa bapaknya adalah algojo di Desa Cukir, Kabupaten Jombang, dekat Pabrik Gula Tjoekir. Tapi Dian mengatakan, seharian blusukan di Desa Cukir, ia tak mendapat petunjuk apa-apa. Rata-rata penduduk hanya tahu lokasinya ada di ladang tebu, tapi tidak spesifik di mana. Dian kemudian memutuskan bertolak ke Malang menggunakan bus untuk bermalam.
Di perbatasan Desa Cukir dengan Desa Mlancu, bus berhenti. Entah mendapat wangsit dari mana Dian memutuskan turun. "Ada perasaan kuat bahwa lokasinya ada di sekitar tempat bus berhenti itu," katanya. Begitu turun, Dian mendatangi pangkalan ojek. Ia minta diantar ke balai desa.
Di Balai Desa Mlancu, dia bertemu dengan Dasuki. Pegawai desa ini menjadi saksi mata pembantaian PKI di sana pada 1965. Dasuki berumur delapan tahun saat menyaksikan kejadian tersebut. Dia kemudian mengantar Dian menyusuri lokasi pembantaian.
Soal adanya wangsit yang mampir saat buntu juga dirasakan koresponden Tempo di Solo, Ahmad Rafiq. Ketika itu ia mendapat tugas mencari ladang pembantaian komunis di Grobogan, kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah. Lokasi ini disebut-sebut dalam biografi aktivis hak asasi manusia asal Belanda, Poncke Princen, Kemerdekaan Memilih. Dalam buku itu, Princen mengatakan ada 2.000-3.000 orang PKI yang dibantai di sana. Namun buku itu sama sekali tidak menyebut lokasi pasti pembantaian. "Pokoknya usaha dulu," ucap Rafiq.
Rafiq memulai pencarian di Purwodadi, ibu kota Kabupaten Grobogan. Di sana ia berkeliling dari satu warung makan ke warung lainnya. Rafiq berkeyakinan bisa mendapat informasi jika nongkrong di rumah makan.
Di warung makan kelima yang didatangi, Rafiq mendapat cerita tentang lokasi pembantaian massal di Kecamatan Kradenan. Keesokan harinya, ia berangkat ke sana. Nyatanya, di sana Rafiq kesulitan karena penduduk yang dia temui tidak mau membahas tentang pembantaian massal itu.
Hampir frustrasi, Rafiq memutuskan mampir ke obyek wisata Bledug Kuwu di Kradenan, tempat pelancong bisa menyaksikan kawah lumpur yang sesekali meledak. "Tempatnya enak buat ngelamun," katanya. Saat sedang bengong, Rafiq ujuk-ujuk mendapat keyakinan bahwa lokasi pembantaian ada di sekitar lokasi itu. Dia pun mampir ke kantor Kepala Desa Kuwu, yang tak jauh dari kawah.
Di sana Rafiq bertemu dengan seorang perangkat desa berusia di atas 60 tahun. Sesepuh ini rupanya saksi mata sejarah pembantaian komunis di gudang beras milik Ang Kwing Tian, sebuah kamp penahanan paling besar di sana. "Militer lalu meminjam gudang itu untuk tempat penahanan orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI," ujar perangkat desa tersebut, yang menjadi juru masak dan anggota tim medis di sana pada saat itu.
Para wartawan Tempo di Palembang, Medan, Palu, dan Bali juga akhirnya bertemu dengan saksi dan algojo. Semula tim ragu apakah para algojo mau mengisahkan perbuatannya, karena konsekuensinya bisa jadi ancaman pidana bagi mereka. Yang mengejutkan, justru mereka mengaku blakblakan. Umumnya dengan alasan mereka tak ingin membawa beban ini ke liang lahad. "Sebentar lagi saya meninggal. Saya tidak mau rahasia ini tidak dibuka. Kasihan keluarga korban," kata Ahmad Bantam, pensiunan tentara di Palu yang turut menggali kuburan tempat dua petinggi PKI Sulawesi Tengah dikubur setelah dieksekusi.
Lalu mengalirlah puluhan pengakuan algojo dari berbagai penjuru Nusantara. Laporan verbatim mereka, yang penuh darah dan kekejian, bisa membuat bulu kuduk bergidik membacanya. Para penulis berusaha memperhalus cerita itu sebisa mungkin tanpa menutupi fakta utama perbuatan mereka. Tapi tetap saja hasilnya, yang dapat dibaca di Edisi Algojo, masih membiaskan kengerian itu.
Bola Salju Pengakuan Algojo
Lingkungan pondok pesantren mengecam Edisi Algojo. Menjadi inspirasi Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag.
TABAYUN antara mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Muryadi dan tiga puluhan kiai sepuh se-Jawa Timur pada pertengahan Oktober 2012 hampir dirusak seorang provokator. Sore itu Wahyu menemui para ulama untuk memberikan penjelasan tentang Liputan Khusus Algojo 1965 yang diterbitkan majalah ini.
Para kiai, yang sebagian pengurus Nahdlatul Ulama, keberatan karena Tempo terkesan menyudutkan lingkungan pesantren. Dalam beberapa tulisan memang diceritakan bagaimana santri di pondok pesantren membantai orang-orang komunis. "Tapi ulama sepuh enggak ada yang ngotot atau pakai nada tinggi," kata Wahyu menceritakan kejadian tersebut, akhir Februari lalu. "Eh, tiba-tiba entah siapa ada yang mancing."
Si provokator, menurut Wahyu, berteriak-teriak menuding penerbitan Edisi Algojo merupakan pesanan Partai Komunis Indonesia. Alasannya: penanggung jawab proyek tersebut bernama Seno Joko Suyono. Lelaki yang mengaku dari Barisan Ansor Serbaguna NU itu menuding Seno sebagai anak Letnan Kolonel Djoko Suyono, "Gubernur Militer" PKI di Madiun.
Wahyu balas menghardik si provokator. "Saya bilang: mau anak PKI atau bukan, itu enggak ada urusan dengan jadi wartawan Tempo," katanya. Wahyu, yang saat itu didampingi mantan Kepala Biro Jawa Timur Agus Supriyanto, kemudian menjelaskan bahwa ide menulis algojo 1965 ini sudah melalui pertimbangan rapat yang ketat. Bahkan check and recheck keterangan narasumber juga ketat.
Menurut Pemimpin Redaksi Tempo Channel ini, para kiai pada dasarnya tidak terlalu keberatan terhadap tema Algojo 1965. Sebab, faktanya mereka pun sudah sama-sama tahu. Yang mereka kebanyakan permasalahkan justru penggunaan bahasa redaksi, seperti pemakaian kata "algojo" dan "jagal", sehingga terkesan jahat.
Pertemuan di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Jawa Timur ini merupakan yang kedua kalinya bagi Wahyu berhadapan dengan nahdliyin. Sepekan sebelumnya, beberapa hari setelah Edisi Algojo terbit, dia bersama dua penulis edisi itu, Kurniawan dan Bagja Hidayat, menyampaikan penjelasan kepada Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama di Jakarta. Saat itu pimpinan NU mempertanyakan niat Tempo di balik penerbitan ini. Sekali lagi Wahyu menegaskan bahwa, "Tak ada niat apa pun dari Tempo kecuali untuk mengungkap kebenaran."
Puncaknya, NU menerbitkan buku putih Benturan NU-PKI: 1948-1965, yang diluncurkan awal Desember 2013. Sejarawan yang dekat dengan NU, Agus Sunyoto, mengatakan buku itu sebagai jawaban sebenarnya mengapa pondok pesantren berseberangan dengan PKI. Buku itu memandang PKI lebih dulu mengusik pesantren sehingga semua unsur harus melawan komunis. "Banyak yang marah terhadap penerbitan Tempo soal algojo 1965," ujarnya Kamis pekan lalu.
KOORDINATOR PenerbitanPusat Data dan Analisa Tempo (PDAT), Ngarto Februana, kaget saat mendapat panggilan telepon dari bagian sirkulasi Toko Buku Gramedia pada Oktober 2013. Ia mengatakan orang di seberang sana meminta Tempo mencetak ulang buku Pengakuan Algojo 1965.
Ngarto awalnya tak percaya terhadap permintaan si penelepon. "Dia bilang buku itu sudah mau habis, banyak peminat," katanya. "Belum pernah ada buku Tempo selaris itu." Sebanyak 5.000 eksemplar cetakan pertama hampir habis dalam waktu kurang dari satu bulan sejak peluncuran.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Tempo untuk membukukan edisi khusus dan laporan khusus hasil liputan majalah ini. Buku Pengakuan Algojo 1965 diluncurkan pada 30 September 2013, persis satu tahun setelah diterbitkan oleh majalah Tempo.
Acara peluncuran buku itu digelar di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan. Ngarto merekam acara tersebut, kemudian mengunggahnya ke YouTube. Tak dinyana, video tersebut sudah ditonton sekitar 500 ribu orang. "Padahal cuman peluncuran," ucapnya. Menurut Ngarto, komentar dalam video juga beragam. Ada yang mencaci Tempo, tapi tak sedikit yang mendukung.
Buku itu kini sudah dicetak delapan kali. Total penjualan hampir 20 ribu eksemplar sampai Februari 2016. Saat ini stok di semua toko buku tinggal 426 buah. Buku ini juga diedarkan terbatas di Frankfurt Book Fair, Jerman, pada Oktober 2015.
Koordinator Liputan Khusus Algojo 1965, Dody Hidayat, mengatakan penerbitan buku tersebut juga mengundang perhatian Anak Agung Gde Agung Benny Sutedja. Putra Gubernur Bali Sutedja ini memprotes karena Tempo menyebut bapaknya, yang hilang dalam tragedi 1965, berafiliasi dengan PKI. Benny meminta Tempo meralatnya dan Tempo akhirnya mencantumkan ralat tersebut dalam buku cetakan berikutnya.
Pengakuan para algojo itu juga berimbas dalam menguak tabir tragedi 30 September 1965. PengacaraNursyahbani Katjasungkana mengatakan banyak orang yang datang kepadanya setelah laporan tersebut terbit. "Banyak yang memberi kesaksian tak terduga," ujarnya. Salah satunya kawan main masa kecil Nursyahbani.
Ia kaget saat salah seorang kawan lamanya tiba-tiba memberi informasi terkait dengan kuburan massal orang yang dituduh anggota PKI di Purwodadi, Jawa Timur, dan Wonosari, Yogyakarta. Nursyahbani pun mengkonfirmasi informasi tersebut.
Menurut Nursyahbani, Edisi Algojo Tempo juga menjadi salah satu dasar digelarnya Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda, November 2015. Ceritanya, pada September 2013, Nursyahbani terbang ke Belanda untuk acara nonton bareng film dokumenter The Act of Killing dengan para eksil. Film besutan Joshua Oppenheimer ini bercerita tentang Anwar Congo, preman di Medan yang membantai orang-orang PKI sepanjang 1965-1966.
Setelah pemutaran, Nursyahbani menunjukkan Edisi Algojo Tempo. "Saya bilang, Tempo sudah berani membuka cerita dari sudut pandang berbeda," ucapnya. "Jadi saya ajak mereka untuk mulai berani membuka diri." Menurut dia, para "pelarian" ini terketuk setelah membaca langsung laporan tersebut, sehingga terbuka jalan untuk menggelar Pengadilan Rakyat Internasional 1965.
Nursyahbani mengatakan laporan Tempo tersebut memotivasi orang yang mengetahui kejadian ini untuk bercerita. "Tulisan tersebut menyuntikkan keberanian ke dalam diri korban atau pelaku untuk bercerita," katanya. "Modal yang bagus untuk membuka tabir 30 September."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo