Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di negeri ini jurnalis berperan ganda. Selain bekerja sebagai jurnalis, mereka merangkap sebagian dari peran akademikus. Berbeda dengan satu generasi yang lalu, sumbangan terbesar media massa mutakhir bagi masyarakat bukan lagi penyedia berita, melainkan kajian mendalam dan berjangka panjang yang biasa disebut jurnalisme investigatif (seterusnya disingkat JI).
Di sejumlah masyarakat lain, lembaga pendidikan berkembang sekuat jurnalisme. Di Indonesia, kondisi lembaga pendidikan jauh lebih lemah daripada pertumbuhan industri media massa. Akibatnya, sebagian dari peran yang seharusnya dimainkan lembaga pendidikan telah diambil alih oleh media massa.
Ketimpangan status akademik dan jurnalisme itu tampil dalam berbagai bentuk. Jauh lebih banyak karya jurnalis yang dikutip mahasiswa dan dosen dalam makalah mereka, ketimbang sebaliknya. Hasil penelitian para sarjana yang dikutip jurnalis biasanya karya dari luar Indonesia. Bukan karena karya sarjana sebangsa kurang dihargai. Terlepas dari kualitasnya, karya mereka memang teramat langka, dan susah ditemukan di toko buku atau perpustakaan.
Seperempat abad lalu, media massa menjadi sumber berita bagi mayoritas publik terpelajar. Kini media sosial sudah melayani kebutuhan tersebut secara berlimpah-ruah. Media massa terlalu lamban sebagai sumber berita. Media massa bisa tetap relevan bila mampu menyajikan JI yang mendalam, berwawasan cerdas, cermat dalam penyampaian, dan akurat dalam hal data.
Masalahnya, JI tidak mudah atau murah. Tidak semua industri media dan tidak semua jurnalis siap memproduksinya terus-menerus. Seperti penelitian ragam lain, JI yang baik membutuhkan modal, sarana, dan sumber manusia yang tidak kecil.
Beban ini tidak perlu sepenuhnya ditanggung sendiri-sendiri oleh setiap perusahaan media. Kerja sama antarlembaga, dan dengan individu tenaga peneliti di luar profesi jurnalisme (termasuk akademik), layak digalakkan. Modal, sarana, dan kegiatan dari berbagai sumber yang serba terbatas seharusnya bisa lebih dihemat.
Liputan khusus Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 tentang pembantaian 1965 merupakan sebuah kisah sukses besar. JI ditambah kolom, foto, wawancara, dan resensi film, lebih dari 30 tulisan ditampilkan dalam liputan khusus itu. Semuanya memakan 76 halaman! Dengan bahan sebanyak itu, Tempo kemudian menerbitkannya sebagai sebuah buku.
Tentu, panjang dan jumlah tulisan bukan jaminan mutu liputan khusus atau kepuasan publik. Kesuksesan karya jurnalisme investigatif terbukti bila ia disimpan, dibaca ulang, atau dikutip oleh berbagai profesi lain bertahun-tahun sesudah diterbitkan.
Edisi khusus Tempo tersebut terjual habis dalam hitungan hari. Konon, di beberapa kota, majalah itu dijual pengecer dengan harga beberapa kali lipat dari harga resmi. Berkat edisi tentang jagal 1965 itu pula, pada akhir 2012 Tempo dianugerahi Yap Thiam Hien Award. Bertahun sesudahnya, orang masih mencari dan mengutip edisi tersebut.
Mungkin itu bukan prestasi gemilang Tempo yang pertama. Tapi, dari kasus ini, tampak pentingnya kerja sama dengan non-jurnalis. Manfaatnya timbal-balik. Walau edisi itu sepenuhnya dikerjakan oleh tim peneliti Tempo, sejauh pemahaman saya, gagasan merancang edisi tersebut dimulai setelah saya menghubungi Tempo untuk memberitahukan soal film The Act of Killing (Jagal) yang akan diedarkan. Saya juga menawarkan sebuah ulasan tentangnya, jauh hari sebelum film itu beredar. Tempo menyambut baik tawaran saya, dan minta kesempatan menonton film itu. Saya mengenalkan rekan di Tempo dengan Joshua Oppenheimer, sang sutradara.
Atas jasa seorang teman, setahun sebelumnya saya berkenalan dengan Joshua dan timnya gara-gara buku yang pernah saya terbitkan, State Terrorism and Political Identity in Indonesia (2005). Buku ini membahas topik yang dekat dengan tema film The Act of Killing. Kebetulan pula saat itu saya sedang menyiapkan sebuah bab tentang hubungan antara film dan pembantaian 1965 untuk buku yang lebih baru: Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture (2014).
Bukan hanya Tempo dan pembacanya yang memetik manfaat dari pertemuan berbagai pihak dengan latar belakang berbeda-beda itu. Atas kebaikan Joshua, saya mendapat akses istimewa untuk menonton sejumlah versi pra-edar film itu. Ini membantu penulisan buku yang sedang saya siapkan. Joshua beberapa kali meminta masukan saya dalam proses produksi, sebelum filmnya jadi. Misalnya strategi mengedarkan film itu di Indonesia bila kelak jadi.
Ada contoh lain karya JI yang sempat menggemparkan publik, yakni laporan majalah mingguan Time (1999) tentang kekayaan Soeharto dan keluarganya. Edisi majalah berbahasa Inggris itu terjual habis di Indonesia. Bahkan fotokopinya terjual laris di jalan-jalan. Kasus ini lebih dramatis karena pihak Soeharto menggugat Time di pengadilan dengan delik pencemaran nama.
Laporan Time sangat banyak dibantu oleh hasil penelitian bertahun-tahun yang dikerjakan George Junus Aditjondro untuk melacak tersebarnya harta keluarga Soeharto di mancanegara. George mantan wartawan Tempo yang beralih profesi sebagai akademikus. Ia menikmati berkah tersendiri dari kerja sama itu. Lewat Time, hasil penelitiannya menjangkau pembaca dalam jumlah dan lingkup jauh lebih besar ketimbang yang bisa dicapai seandainya diterbitkan di sebuah jurnal akademik.
Sayangnya, seperti telah disebut di awal tulisan ini, tidak banyak peneliti yang tekun, mandiri, dan tahan ancaman dari penguasa seperti George. Pertumbuhan pesat industri media di Indonesia tidak diimbangi oleh pertumbuhan lembaga perguruan tinggi dengan tradisi penelitian yang kuat. Mengapa lembaga pendidikan Indonesia sangat lemah merupakan topik yang membutuhkan ulasan terpisah, dan sudah sering saya bahas di tempat lain.
JI dan penelitian akademik saling melengkapi. Tapi tidak identik. Yang satu tidak bisa menggantikan yang lain. Yang mengkhawatirkan, bila jumlah atau mutu karya JI dalam media arus utama pun kini berangsur-angsur merosot, sementara tradisi penelitian di lembaga akademik tetap megap-megap. Mungkin ada gunanya melihat kecenderungan mutakhir dengan membandingkan dengan kondisi sebelumnya.
Pada masa penindasan Orde Baru, jurnal akademik Prisma menjadi forum pertukaran laporan penelitian akademik yang sangat populer dan berwibawa. Jurnal itu tersedia di toko buku dan perpustakaan di berbagai kota. Dibaca dan dibahas kaum sarjana secara rutin bertahun-tahun. Jangan heran, jurnal ini tidak diterbitkan oleh sebuah universitas dan bukan hasil kerja himpunan sarjana ilmuwan sosial pada tingkat nasional.
Kini, dengan ruang publik lebih merdeka, tidak ada satu pun jurnal akademik yang berperan seperti Prisma. Padahal jumlah jurnal akademik yang diterbitkan di berbagai universitas berlipat ganda. Sebagian terbesar jurnal ini tidak tersedia di toko buku atau perpustakaan atau di Internet. Tidak jelas siapa, jika ada, pembacanya.
Pada masa Orde Baru pra-Internet, berbagai perdebatan akademik yang paling berpengaruh berlangsung di halaman koran. Sebuah topik bisa dibahas bersambung selama beberapa bulan. Buku teks karya Koentjaraningrat, yang sempat menjadi bacaan klasik untuk antropologi, yakni Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, awalnya diterbitkan sebagai rangkaian artikel di Kompas (1970-an). Sulit membayangkan hal seperti ini berulang pada masa kini.
Kritik terhadap Ekonomi Pancasila ataupun perkenalan tentang strukturalisme dan Marxisme dilakukan Arief Budiman dalam bentuk kolom dan wawancara di koran (1980-an) ketimbang jurnal ilmiah. Gagasan itu meninggalkan corak yang nyata dalam wacana dan gerakan sosial di kalangan generasi muda masa itu. Sejak itu belum ada lagi perdebatan teori besar di ruang publik dengan dampak luas dan berjangka panjang.
Pada tahun-tahun awal pasca-Orde Baru, jurnal Pantau sempat menjadi lahan bersemainya jurnalisme investigasi yang memukau. Sayang, usianya pendek.
Kini, dalam skala kecil, sejumlah pemikiran kritis berlangsung di luar media arus utama dan di luar penerbitan kampus, misalnya IndoProgress dan Historia. Dibutuhkan lebih banyak penerbitan alternatif semacam itu. Juga dibutuhkan lawan debat yang seimbang bagi para pemikir muda yang selama ini sudah bertumbuh di luar media massa arus utama. Benturan gagasan dibutuhkan agar terjadi pertumbuhan wawasan cendekia yang sehat, majemuk, dan kokoh di ruang publik.
Mudah-mudahan terbuka peluang kerja sama yang saling memperkuat antara media massa arus utama dan bakat-bakat muda ini, sebelum mereka kehabisan semangat menggebu. Sebelum mereka habis dibajak partai politik atau perusahaan multinasional.
Ariel Heryanto (Profesor pada the school of culture, history, and language australian national university)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo