Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Selain dikenal sebagai kota penyangga Jakarta, Kota Depok juga dikenal dengan istilah Kota Belimbing. Istilah ini berasal dari sejarah Depok yang dahulu merupakan lahan perkebunan milik Cornelis Chastelein.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas meninggalnya Cornelis Chastelein, lahan perkebunan Depok kemudian dikelola oleh budak-budak yang dimerdekakan oleh Chastelein sendiri. Para mantan budak yang terbagi ke dalam 12 marga tersebut berhasil mengubah Depok menjadi suatu daerah yang subur dan berkembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu hasil perkebunan yang menjadi primadona adalah buah belimbing. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor kenapa Depok dijuluki sebagai Kota Belimbing.
Asal usul nama Depok
Dalam artikel ilmiah berjudul The Role of Cornelis Chastelein in the Development of the Depok Region 1693-1714, asal muasal nama “Depok” setidaknya dapat ditelusuri dari dua istilah.
Istilah pertama, kata “Depok” merupakan akronim dari De Eerse Protestantse Organisatie van Kristenen atau kurang lebih berarti organisasi pertama orang Kristen Protestan. Hal ini didasari dari Cornelis Chastelein itu sendiri yang beragama Kristen dan memang berniat mengajarkan agama Kristen Protestasn di samping bertani di wilayah yang kini bernama Depok.
Sementara itu, “Depok” juga bisa diasumsikan sebagai bagian dari kata padepokan. Kata ini berasal dari kedekatan jarak antara Depok dengan sungai Ciliwung yang kala itu digunakan Kerajaan Pajajaran sebagai tempat “padepokan” atau tempat orang bertapa.
Presiden Depok dan Peristiwa Gedoran Depok
Pada tahun 1871, Depok yang dipimpin 12 marga ini memiliki sistem kelola pemerintahan sipil yang mereka sebuat sebagai Gemeente Bestur. Dari tahun 1913 sampai 1952, setidaknya Depok telah memiliki empat pemimpin atau mereka sebuat sebagai Presiden yang dipilih berdasarkan suara terbanyak dan terkadang musyawarah antara marga.
Presiden di sini ditugaskan untuk mengelola jalan, jembatan, perekbunan, dan berbagai fasilitas yang ada di wilayah Depok kala itu. Berdirinya negara Depok dengan sistem Republik ini kemudian membawa petaka pada tragedi yang dikenal dengan “Gedoran Depok”.
Peristiwa ini bermula dari ketidakinginan Depok mengakui Indonesia sebagai negara baru, karena Depok sendiri telah merdeka ketika Cornelis Chastelein menyerahkan wilayah Kota Depok ke budak-budaknya. Selain itu, banyak pejuang kemerdekaan yang masih menganggap Depok sebagai warisan kolonial yang perlu dibumi hanguskan. Peristiwa berdarah pun akhirnya tidak terhindarkan.
Depok Di Bawah Orde Baru dan Pasca Reformasi
Di bawah Orde Baru, status Depok ditingkatkan dari yang semula kecamatan dan bagian dari Kabupaten Bogor menjadi Kota Administratif yang dicanangkan menjadi wilayah perumahan bagi penduduk DKI Jakarta. Pada tahun 1976, perumahan mulai dibangun melalui Perum Perumnas dan diikuti dibangunnya Universitas Indonesia (UI) di Depok.
Pesatnya perkembangan kota Depok dan maraknya urbanisasi ke Jakarta, membuat Depok kemudian diresmikan menjadi Kotamadya pada 27 April 1999.
Kini, kebun belimbing telah menjadi kebun beton. Ribuan rumah dan puluhan gedung-gedung tinggi menjadi primadona yang menggantikan lahan kebun belimbing di Kota Depok yang telah menjadi Kota Satelit bagi Jakarta. Sebagaimana yang diberitakan Tempo, dalam beberapa tahun terakhir setidaknya 36 hektar kebun belimbing telah beralih fungsi menjadi pemukiman.
Menanggapi hal tersebut, sejarawan JJ. Rizal mengusulkan bahwa lebih baik Kota Depok mengganti belimbing sebagai ikon kotanya, karena menurutnya sudah tidak sesuai dengan pembangunan infrastruktur yang tidak memihak lagi pada tata ruang hijau.
UNJ | KORAN TEMPO | LIPI | DEPOK.GO.ID | TIM TEMPO
Pilihan editor : Langkah Kaesang Pangarep Berminat di Pemilihan Wali Kota Depok 2024