Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Percakapan dua menteri itu terpaut jarak 16 ribu kilometer lebih. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa berada di Jakarta pada sebuah siang, pekan kedua Oktober lalu. Lawan bicaranya, Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri, sedang di Washington, Amerika Serikat, mengikuti pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G-20.
Kepada Chatib, Hatta mengatakan baru saja mendapat laporan bahwa ada ribuan pekerja sebuah perkebunan sawit di Riau terancam tak bisa menerima gaji. Musababnya, rekening perusahaan tempat mereka bekerja diblokir kantor pajak. Meski sudah saatnya istirahat, Chatib mungkin tak mendiamkan kabar itu.
Gantian, dia yang menelepon Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany. Dia meminta Fuad mencari informasi soal itu. Membawahkan lebih dari 30 ribu anak buah di seluruh negeri, Fuad mengaku tak hafal apa yang sedang dikerjakan bawahannya dan kasus apa saja yang tengah mereka Âtangani. Kini giliran ia yang repot mengecek ke sana-kemari.
Dari pengecekan itu, Fuad tahu ada satu perusahaan di bawah Grup Asian Agri yang rekeningnya diblokir Direktorat Jenderal Pajak. Tapi, ia melanjutkan, para penyidik dan petugas di kantor pajak jadi bertanya-tanya mengapa urusan tersebut tampak begitu genting dan membuat sibuk para petinggi negeri ini.
Saat ini kelompok usaha milik Sukanto Tanoto itu memang tengah berurusan dengan perkara pajak kakap. Pada 18 Desember 2013, genap setahun majelis hakim kasasi Mahkamah Agung yang dipimpin Djoko Sarwoko, dengan anggota Komariah E. Sapardjaja dan Sri Murwahyuni, menjatuhkan vonis.
Mahkamah memvonis mantan ÂManajer Pajak Asian Agri, Suwir Laut, dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun. Selain itu, MA menghukum Asian Agri membayar dua kali pajak terutang Rp 1,259 triliun, sehingga totalnya Rp 2,5 triliun. Denda sebesar itu harus dibayar tunai dalam waktu setahun.
Senin dua pekan lalu, Djoko Sarwoko, yang sudah pensiun, mengatakan denda pidana PT Asian Agri itu tidak dapat dialihkan kepada Suwir Laut. Djoko menyebutkan pajak yang kurang bayar adalah pajak badan. "Maka, ya, korporasinya yang harus menanggung," katanya.
Itu sebabnya, sebagai eksekutor, Kejaksaan Agung harus segera mengeksekusi putusan tersebut. "Kejaksaan Agung harus melelang aset Asian Agri jika jatuh temponya sudah lewat. Ya, kan katanya sudah ada yang diblokir, ya, tinggal dilelang."
Dengan tambahan dasar putusan Mahkamah Agung itu, Direktorat Jenderal Pajak lalu menerbitkan 108 surat ketetapan pajak (SKP) atas 14 anak perusahaan Asian Agri. Total tagihannya Rp 1,939 triliun. Nilai ini sudah mencakup denda beragam antara 48 persen dan 100 persen untuk tiap perusahaan.
Asian Agri mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak pada Agustus lalu. Namun, pada 31 Oktober, tiga kantor wilayah pajak, yakni Kantor Wilayah Sumatera Utara II, Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar, dan Kantor Wilayah Jakarta Pusat, serentak menolak keberatan 14 perusahaan itu.
Fuad Rahmany mengatakan perusahaan-perusahaan sawit itu punya waktu tiga bulan sejak keberatannya ditolak untuk mengajukan permohonan banding. "Kalau lewat tiga bulan, kesempatan banding gugur. Artinya dia akan dianggap menerima," ujarnya.
Ternyata Asian Agri langsung mengajukan permohonan banding ke pengadilan pajak, meskipun untuk itu harus membayar dulu 50 persen dari total tagihan sesuai dengan SKP. "Asian Agri sudah membayar lebih dari 50 persen SKP, yakni sebesar Rp 980,7 miliar." Tapi, dia melanjutkan, "Dari 14 perusahaan, setahu kami baru satu yang banding. Mungkin yang lain akan menyusul."
Meski tak akan surut mengejar sampai ke pengadilan, Fuad mengaku khawatir juga. Sebab, tak seperti pengadilan umum yang jauh lebih sering diliput media dan terÂawasi, pengadilan pajak biasanya lolos dari perhatian publik.
"Saya tidak mau menuding, tapi akan jauh lebih baik kalau bisa dibantu diawasi publik," Fuad menegaskan. "Belakangan ini komposisinya 65 persen pemerintah menang di pengadilan pajak. Dulu pernah 50 persen kami kalah dan separuhnya lagi menang. Melawan Asian Agri kali ini, kami yakin SKP kami sudah benar."
Kasus pajak Asian Agri yang berlangsung sejak 2007 ini memang telah membuat aparat pajak jeri. Sejak Dirjen Pajak-ketika itu masih dijabat Darmin Nasution-mengumumkan bukti awal pidana pajak Asian Agri pada 14 Mei 2007, berkas perkara ini baru dinyatakan lengkap dan diajukan ke pengadilan pada Agustus 2010 setelah lima kali mondar-mandir kejaksaan-Ditjen Pajak. Selain itu, dari 12 tersangka kasus ini, baru Suwir Laut yang disidang.
Para aparat pajak ini tahu persis bahwa pengusaha besar yang terbelit masalah pajak itu punya banyak koneksi di pemerintahan dan pos kekuasaan. Tak jarang, kata sumber Tempo, dengan berbagai cara, mereka akan memanfaatkan kedekatan itu untuk mempengaruhi pemeriksaan dan penyidikan di kantor pajak atau lembaga hukum yang melanjutkan prosesnya.
Sumber Tempo yang lain menceritakan bagaimana dua mantan Dirjen Pajak sering ditelepon banyak kalangan penting di negeri ini. "Kami mendengar Pak Darmin Nasution dan Pak Tjiptardjo dulu sering ditelepon petinggi di kabinet dan lembaga intelijen, yang mencoba melobi agar kasus pidana ini dihentikan dan diarahkan menjadi sekadar pelanggaran administratif."
Penyelesaian secara administratif memang menjadi target lama Asian Agri. Upaya itu bahkan dilakukan dengan mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam suratnya pada 7 Januari 2008, seperti ditulis Koran Tempo edisi 18 September 2008, Sukanto diketahui meminta perlindungan kepada Presiden sekaligus mengharapkan kasus pajaknya diselesaikan secara perdata, bukan pidana.
Dalam kasus telepon Hatta, sumber Tempo tadi menambahkan, rekening perusahaan yang diblokir pada Oktober lalu itu tak ada hubungannya dengan kasus-kasus Asian Agri tersebut. Tanpa menyebut nama perusahaannya, ia memastikan urusan pajak itu tak termasuk dalam 14 anak usaha yang kini terancam dieksekusi Kejaksaan Agung dan sedang mengajukan permohonan banding melawan pemerintah di pengadilan pajak.
Dengan posisi seperti itu, sumber tadi mempertanyakan telepon Hatta. "Ini kasus yang berbeda. Anehnya, kenapa mereka mengadu ke atas dan seolah-olah ini jadi bagian dari kasus besar itu?" ujarnya dengan nada suara mulai meninggi. "Kelompok usaha ini sudah manja, mungkin karena merasa banyak koneksinya di tingkat tinggi."
Dugaan yang mengarah pada tekanan itu dibantah Hatta Rajasa. "Saya bahkan tak tahu nama perusahaannya." Ia mengatakan yang menjadi perhatiannya waktu itu adalah jangan sampai ada perusahaan yang terpaksa memecat karyawannya dan ada pekerja yang kehilangan sumber penghidupan.
Pada Agustus lalu, pemerintah memang mengeluarkan empat paket kebijakan ekonomi untuk menghadapi kemungkinan krisis setelah bank sentral Amerika mengumumkan rencana mengurangi paket stimulus moneter. Salah satu sasaran paket itu adalah mencegah pemutusan hubungan kerja, bila perlu dengan memberi beragam insentif kepada industri.
Hatta menjelaskan, tekanan ekonomi pada saat itu memang sangat berat. Cadangan devisa Indonesia terkuras, defisit neraca transaksi berjalan di atas ambang batas normal, dan rupiah melemah. "Itu sebabnya respons saya langsung menghubungi Menteri Keuangan begitu saya menerima laporan ada perusahaan yang kesulitan membayar upah pekerjanya," kata Hatta.
Menteri Keuangan Chatib Basri membenarkan kabar bahwa ia pernah ditelepon Hatta Rajasa pada saat berada di Washington. Menurut dia, yang ditanyakan Hatta saat itu memang tentang apakah ada pemblokiran rekening oleh Ditjen Pajak karena dia khawatir akan menimbulkan pemutusan hubungan kerja. "Saya memberikan penjelasan kepada Pak Hatta soal itu, tidak spesifik mengenai Asian Agri," katanya.
Menteri Keuangan kemudian menambahkan penjelasan mengenai posisi kasus Asian Agri kepada Hatta. Menurut Chatib, pemerintah belum melakukan penyitaan atas aset Asian Agri. "Prosesnya Asian Agri mengajukan keberatan ke Ditjen Pajak, ditolak, lalu banding. Saat ini prosedur hukumnya masih berjalan."
Keyakinan Fuad Rahmany bahwa pemerintah menang melawan Asian Agri masih akan diuji di pengadilan. Proses pengadilan, dari pengajuan permohonan hingga putusan, bisa sampai 12 bulan. Jika kalah, Asian Agri masih punya hak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Tapi, sebelum mengantongi putusan PK, putusan sudah berkekuatan hukum tetap dan Direktorat Jenderal Pajak bisa mengeksekusinya. Asian Agri juga harus membayar denda penagihan sebesar dua persen per bulan, terhitung sejak 30 hari setelah keberatan pajak mereka ditolak.
Soal kabar adanya campur tangan dan tekanan dari para petinggi negeri, Fuad enggan berkomentar. "Saya no comment soal itu." Mantan Kepala Badan Pengawas Pasar Modal ini mengaku tak mau tahu siapa yang mem-back up Asian Agri. "Saya hanya menjalankan semua proses ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Saya rasa itu lebih penting. Melaksanakan ketentuan hukum, kalau kami harus tagih, ya, ditagih. Pada saat harus kami sita, ya, disita."
Karena itu, ia meminta masyarakat tidak melakukan transaksi pengambilalihan aset apa pun milik Asian Agri hingga perkara hukumnya selesai. "Karena aset-aset Asian Agri ini secara potensial bisa menjadi obyek sita. Tapi bisa saja mereka membayar dan perkara selesai."
Asian Agri memastikan tak akan menyerah terlalu cepat. Mereka sudah menyiapkan argumen untuk diadu di pengadilan pajak. "Sudah kami terima penolakan keberatan atas permohonan kami. Dari SKP-SKP tersebut, kami sedang menyiapkan permohonan banding. Karena jumlahnya banyak, kami akan menyiapkan secara bertahap," ucap General Manager Asian Agri Freddy Widjaja, Kamis dua pekan lalu. "Secara hukum, proses pengajuan memakan waktu tiga bulan. Jadi kami masih punya waktu."
Bahkan mereka juga tidak akan membayar denda pidana Rp 2,5 triliun seperti yang diputuskan Mahkamah Agung. Perusahaan ini menganggap putusan dalam perkara itu ditujukan kepada Suwir Laut sebagai pribadi dan bukan korporasi. "Perlu kami tegaskan, Asian Agri dalam perkara ini bukan pihak. Asian Agri tidak pernah didakwa, Asian Agri tidak pernah disidangkan, dan Asian Agri tidak pernah diberi kesempatan membela diri dalam sidang, yang merupakan hak setiap warga negara."
Freddy juga tak mau banyak berkomentar tentang dugaan adanya lobi-lobi oleh perusahaannya untuk meminta dukungan para petinggi negeri ini. Juga soal upaya mereka mengintervensi di Direktorat Jenderal Pajak atau Kejaksaan Agung. Ia pun mengaku tak tahu bahwa Hatta Rajasa sempat menelepon Menteri Keuangan terkait dengan pemblokiran rekening salah satu anak perusahaan grup ini. "Saya tak paham mengenai hal itu.…"
Y. Tomi Aryanto, Amandra Mustika, Martha Thertina, Tri Artining Putri
Rimbun Masalah Raja Kebun
TERBELIT masalah sejak 2006, Asian Agri Group mesti membayar mahal perilakunya menggelapkan pajak. Mahkamah Agung menghukum kelompok usaha perkebunan kelapa sawit terpadu milik taipan Sukanto Tanoto ini membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 2,5 triliun. Belum lagi ini tuntas, Direktorat Jenderal Pajak kembali memaksa mereka membayar tagihan pajak tertunggak Rp 1,9 triliun. Dengan total kekayaan mencapai Rp 27,3 triliun, semestinya tidak sulit bagi Tan Kang Ho--nama Tionghoa Sukanto--untuk melunasi kewajibannya.
Pidana Pajak
Tindak pidana ' pengadilan ' denda/kurungan ' eksekusi ' kejaksaan
Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Penggelapan pajak dikenakan pidana penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal empat kali tunggakan pajak.
Tunggakan Pajak
Tagihan pajak ' keberatan ' ditolak ' pengadilan pajak ' tunggakan/denda pajak ' eksekusi ' Direktorat Jenderal Pajak
Pasal 13 ayat 5 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Jejak Perkara
2006
1 Desember
2007
14 Mei
17 Desember
2008
25 April
2010
13 Agustus
2011
16 Februari
31 Maret
20 Mei
22 Desember
2012
15 Maret
21 Maret
23 Juli
18 Desember
2013
4 April
7 Juni
8 Juni
9 Juni
11 Juni
28 Agustus
25 Oktober
31 Oktober
1 November
12 November
2 Desember
5 Desember
Isi Kantong
Pohon Bisnis
Raja Garuda Mas menjadi kelompok usaha yang menaungi kerajaan bisnis Sukanto. Pada 2009, Raja Garuda Mas berganti nama menjadi Royal Golden Eagle, yang mengelola aset senilai US$ 15 miliar (sekitar Rp 178,6 triliun).
Pulp dan kertas
APRIL
Asia Symbol
Industri Agro
Asian Agri
Apikal
Industri Selulosa
Sateri
Energi
Pacific Oil & Gas
Sukanto Tanoto Family (Founder)
Global Advance Oil and Fats(Makau)
Asia Agri Limited
PT Asianagro Abadi
PT Indosawit Subur
PT Asianagri Riau Jambi
- PT Mitra Unggul Pusaka
- PT Tunggul Yunus Estate
- PT Raja Garuda Mas Sejati
- PT Rigunas Agri Utama
- PT Dasa Anugrah Sejati
PT Asianagro Lestari
- PT Rantau Sinar Kaca
- PT Nusa Pusaka Kencana
- PT Indosepadan Jaya
- PT Supra Mata Abadi
- PT Andalas Inti Estate
- PT Hari Sawit Jaya
- PT Gunung Melayu Induk
- PT Saudara Sejati Gunung
- PT Andalas Intiago Lestari
Asia Agro Abadi Oil and Fats Ltd (British Virgin Island)
- Hong Kong Companies
- Twin Bonus Edible Oil Ltd
- United Oil and Fats Ltd
- Good Fortune Oil & Fats Ltd
- Ever Resources Oil & Fats Industries Ltd
- Asia Pacific Oil Products Ltd
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo