Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sengketa Greater Sunrise Hingga ke Den Haag

Timor Leste menggugat Australia karena telah disadap saat terjadi negosiasi soal minyak dan gas di Laut Timor pada 2004.

16 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengacara Bernard Collaery sedang di luar negeri saat ia mendengar kabar bahwa seorang agen badan intelijen domestik Australia (Australian Security Intelligence Organisation/ASIO) menggeledah rumah dan kantornya di Canberra, Australia. Aparat intelijen itu membawa sejumlah dokumen penting, Senin dua pekan lalu. Aksi ini tak hanya membuat marah Collaery, tapi juga Perdana Menteri Timor Leste Kay Rala Xanana Gusmao di Dili. "Kami menilai tindakan ini mengecewakan dan bertentangan dengan prinsip hubungan bertetangga yang jujur dan transparan," kata Xanana, Rabu dua pekan lalu.

Collaery adalah pengacara negara Timor Leste yang memperkarakan Australia ke Pengadilan Tetap Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda. Selain diwakili Collaery, Timor Leste diwakili profesor Oxford dan Cambridge, Sir Elihu Lauterpacht dan Vaughan Lowe, serta Duta Besar Timor Leste untuk Inggris, Joaquim da Fonseca. Australia diwakili jaksa Justin Gleeson dan profesor Cambridge, James Crawford.

Kasus di Den Haag ini merupakan upaya Timor Leste membatalkan Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) Treaty 2006, yang ditandatangani perdana menteri Australia saat itu, Alexander Downer, dan kolega Timor Leste-nya, Jose Ramos-Horta. Perjanjian itu mulai berlaku efektif tahun depan.

Berdasarkan kesepakatan CMATS, kedua negara akan memperoleh pendapatan 50 : 50 dari ladang minyak dan gas Greater Sunrise. Dua negara mengklaim sama-sama berdaulat atas daerah yang terletak sekitar 150 kilometer selatan Timor Leste dan 450 kilometer barat laut Darwin itu. Kawasan tersebut diperkirakan memiliki kandungan minyak dan gas senilai US$ 40-50 miliar.

Timor Leste ingin merevisi kesepakatan itu setelah eks agen intelijen luar negeri Australia (Australian Secret Intelli­gence Service/ASIS), yang menjadi whistleblower, mengatakan dinas intelijen Negeri ­Kanguru melakukan penyadapan saat kesepakatan itu dinegosiasikan. Berdasarkan pengakuan ini, Timor Leste menuding Australia bersikap tak adil dan melanggar hukum internasional. Mereka pun meminta kesepakatan 2006 itu dibatalkan.

Penggeledahan terhadap kantor dan kediaman Collaery terjadi tiga hari sebelum sidang pertama kasus ini di Den Haag. Pada hari yang sama, agen ASIO menggerebek rumah sang "peniup peluit", yang juga akan menjadi saksi kunci Timor Leste. Setelah eks mata-mata itu ditahan dan diinterogasi selama beberapa jam, paspornya dicabut.

Menurut Collaery, salah satu dokumen yang diambil dalam penggeledahan itu adalah pernyataan tertulis (affidavit) sang whistleblower. Disebutkan bahwa eks agen itu mengaku mengetahui ada teknisi ASIS memasang alat sadap di dinding kantor kabinet Timor Leste di Dili, yang saat itu direnovasi dengan dana bantuan Australia.

Ihwal kesediaan eks agen menjadi "peniup peluit" diduga karena kegelisahannya akan potensi ASIS digunakan untuk kepentingan perusahaan komersial non-pemerintah. Perusahaan minyak yang mendapatkan kontrak di Greater Sunrise adalah Woodside Petroleum. Fakta yang lebih membuat masygul adalah Alexander Downer, yang memberi perintah penyadapan dan menandatangani perjanjian, kini penasihat Woodside.

Jaksa Agung George Brandis mengakui penggeledahan memang terjadi setelah ada permintaan Direktur ASIO David Irvine. Pada 2004, Irvine menjabat Direktur ASIS. Namun Brandis membantah kabar bahwa aksi ini untuk menghambat jalannya peradilan di Den Haag. "Perintah penggeledahan dikeluarkan dengan alasan ada dokumen intelijen yang berhubungan dengan masalah keamanan," ucapnya.

Penggerebekan itu memang tak menghentikan proses hukum yang diajukan Timor Leste ke Den Haag. Pengacara dua negara, Kamis pekan lalu, mengikuti sidang pertama yang berlangsung tertutup selama tujuh jam. Duta Besar Joaquim da Fonseca mengatakan sidang ini menetapkan pedoman prosedural untuk sengketa itu.

Abdul Manan (Sydney Morning HeraLd, Canberra Times, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus