Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Siasat Sebelum Eksekusi

Asian Agri menjaminkan aset-asetnya sebelum pelaksanaan eksekusi denda pajak Rp 2,5 triliun. Berkelit menjelang jatuh tempo.

16 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDAPAT tugas berat menyita aset-aset Asian Agri Group senilai Rp 2,5 triliun, Chuck Suryosumpeno mencoba optimistis. Ketua Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi Kejaksaan Agung ini yakin bisa memenuhi target meski tersiar kabar perusahaan milik Sukanto Tanoto itu telah menjaminkan 14 perusahaannya ke Credit Suisse Bank, Inggris. "Aset mereka kan bukan hanya itu," katanya Kamis pekan lalu.

Chuck meminta Asian Agri segera membayar denda pajak Rp 2,5 triliun seperti tercantum dalam putusan Mahkamah Agung, Desember tahun lalu. Menurut dia, perlawanan perusahaan itu akan sia-sia meski aset telah dijaminkan ke pihak lain. "Itu juga untuk menyelamatkan nama baik Asian Agri," ujarnya. Menurut dia, jika merasa tidak bersalah, Asian Agri bisa mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang ­mengabarkan berita tak enak itu: 40 akta aset Asian Agri berupa tanah dan bangunan sudah dijaminkan ke Credit Suisse Bank cabang London, Inggris, jauh sebelum Mahkamah Agung mengetukkan palu. Padahal jatuh tempo pembayaran denda ini tinggal dua bulan lagi habis. Jika tenggat ini lewat, Februari tahun depan Kejaksaan Agung mesti mengakuisisi seluruh aset itu. "Nilainya mencapai Rp 4 triliun," kata sumber Tempo.

Ada dugaan penjaminan aset tersebut dilakukan untuk menghindari eksekusi Kejaksaan. Meski aset yang dijaminkan itu milik 14 perusahaan, kewajiban pembayaran cicilan utang hanya dilakukan tiga perusahaan: PT Mitra Unggul Perkasa, PT Rantau Sinar Karsa, dan PT Hari Sawit Jaya. Dengan kata lain, kewajiban ke kreditor dibayar oleh perusahaan yang bukan debitor. "Mereka membayar lewat Credit Suisse cabang New York, Amerika Serikat," ucap sumber itu.

Jaksa Agung Basrief Arief membenarkan soal langkah Asian Agri mengagunkan aset 14 perusahaannya itu. Dia mengaku telah memerintahkan anak buahnya terbang ke London untuk berbicara dengan manajemen bank yang berpusat di Zurich, Swiss, itu. "Minggu depan sudah ada yang ­berangkat," kata Basrief pekan lalu.

* * *

Pengejaran aset Asian Agri sudah dilakukan Kejaksaan Agung sejak putusan Mahkamah Agung diterima Februari tahun lalu. Kala itu, Basrief Arief mengirim surat kepada Badan Pertanahan Nasional dan PPATK. Kedua lembaga itu diminta memasok data sertifikat tanah 14 perusahaan Asian Agri dan catatan transaksi keuangan mereka.

Bukan hanya itu, Kejaksaan Agung juga memanfaatkan jaringan informal pemu­lihan aset di luar negeri. Mereka menyurati Camden Assets Recovery Interagency Network (CARIN), yang berpusat di Belanda, untuk menelusuri aset Asian Agri. CARIN adalah organisasi yang bergerak dalam penelusuran dan pemulihan aset hasil kejahatan. Anggotanya terdiri atas 44 negara yang sebagian besar berada di Eropa dan Amerika Utara. Indonesia satu-satunya anggota dari Asia Tenggara. Di luar itu, Kejaksaan juga meminta bantuan Asset Recovery Inter-Agency Network for Asia-Pacific.

Bantuan dua lembaga internasional ini terbilang ampuh. Dalam hitungan bulan, Kejaksaan menerima surat balasan perihal aset Asian Agri di luar negeri. Balasan dari sejumlah lembaga dalam negeri juga diterima, termasuk kabar tentang rekening 14 perusahaan yang kering itu. Terhadap sejumlah rekening, Kejaksaan memutuskan tak memblokir karena umumnya dipakai untuk gaji karyawan. "Nilainya kecil sekali. Atas pertimbangan kemanusiaan, kami memutuskan memantau saja," ujar sumber itu.

Kejaksaan lalu menyasar aset gedung dan bangunan yang dimiliki Asian Agri. Juni lalu, sejumlah aset Asian Agri di dalam dan di luar negeri dibekukan. Nilainya secara kasar, menurut Basrief, cukup untuk melunasi denda Asian Agri. "Di atas Rp 5 triliun."

Bagi Donal Fariz, peneliti dan Koordinator Indonesia Corruption Watch, Kejaksaan lalai mengamankan aset-aset Asian Agri. Menurut dia, penyitaan semestinya sudah dilakukan sejak perkara masuk tahap penyidikan dan penuntutan. "Kalau sudah dari awal bergerak, tidak akan kecolongan seperti ini," katanya.

Chuck Suryosumpeno mengakui lalai, tapi menolak dituding sengaja melakukan itu. "Ini soal kebiasaan saja," ucapnya. "Dari dulu cara berpikir kami lebih pada follow the person, bukan follow the money."

* * *

MESKI telah diputus pada 18 Desember 2012, polemik putusan kasasi Suwir Laut terus bergulir. Manajer Pajak Asian Agri ini dihukum dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun. Hakim kasasi yang diketuai Djoko Sarwoko juga mewajibkan 14 anak perusahaan Asian Agri membayar denda Rp 2,5 triliun. Perusahaan diberi waktu setahun sejak diterimanya salinan putusan untuk melunasi denda yang besarnya dua kali lipat tunggakan nilai pajak mereka. Putusan itu sendiri baru diterima Kejaksaan Agung pada Februari 2013. Sedangkan pihak Suwir Laut dan Asian Agri menyatakan baru menerima putusan sebulan kemudian.

General Manager Asian Agri Freddy Wi­djaja berkukuh pihaknya tak berkewajiban membayar denda seperti yang disebutkan Mahkamah. Alasannya, putusan itu bermasalah karena mengaitkan hukuman bagi Suwir dengan hukuman denda bagi 14 anak usaha Asian Agri. Padahal 14 perusahaan itu tak pernah didakwa jaksa. "Asian Agri tidak pernah didakwa, tidak pernah disidangkan, dan tidak pernah diberi kesempatan membela diri dalam sidang. Padahal itu hak setiap warga negara," katanya.

Tapi, bagi Kejaksaan, putusan itu tak bermasalah. Menurut Chuck, pengacara telah memelintir putusan agar publik percaya Asian Agri tak harus membayar denda. Merujuk pada butir ketiga putusan itu, Chuck mengatakan syarat pembayaran tersebut merupakan syarat khusus bagi pemidanaan bersyarat Suwir Laut. "Artinya, mau tidak mau Asian Agri harus membayar. Tidak ada kaitannya dengan Suwir Laut," ujarnya.

Selain itu, kata Chuck, dalam pertimbangan putusan disebutkan perbuatan Suwir Laut dikehendaki oleh 14 perusahaan Asian Agri. Karena itu, hakim menggunakan doktrin vicarious liability-korporasi harus bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan karyawannya. Sebab, seperti tertulis dalam putusan itu, menurut Chuck, "Apa yang dilakukan terdakwa telah diputuskan secara kolektif."

Djoko Sarwoko-pensiun sebagai hakim agung pada Januari lalu-membenarkan bahwa Asian Agri tak didakwa dalam perkara ini. Tapi, dalam perkembangannya, pembebanan pidana terhadap korporasi karena perbuatan karyawannya lazim dilakukan. Prinsip ini, misalnya, sudah diterapkan di Belanda atas pertimbangan pajak menjadi andalan pendapatan negara. "Indonesia perlu mengadopsi sendi-sendi hukum di sektor perpajakan di Belanda," ujar Djoko.

Febriyan, Tri Artining Putri, Khairul Annam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus