Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Aturan ‘Bakar Lumbung’ Pemblokiran Media Sosial

Pemerintah belum memiliki standar baku ihwal konten yang dianggap bermasalah.

21 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo memberi keterangan agar masyarakat tidak terpancing hoaks di media sosial terkait demonstrasi Wamena di Istana Merdeka, Jakarta, 23 September 2019. presidenri.go.id/BPMI Setpres/Rusman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rencana pemerintah menerbitkan regulasi pemblokiran akun media sosial berisiko tinggi terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

  • Apalagi belakangan pemerintah banyak melakukan tindakan yang menabrak prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi.

  • Pemerintah belum memiliki standar baku perihal konten yang dianggap bermasalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Rencana pemerintah menerbitkan regulasi pemblokiran akun media sosial berisiko tinggi terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi belakangan pemerintah banyak melakukan tindakan yang menabrak prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sejumlah ahli dan pegiat kebebasan berekspresi mengecam rencana ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengajar ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran, Justito Adi Prasetyo, mengatakan pemblokiran akun media sosial tak sepatutnya diserahkan kepada negara. Sebab, kata Justito, pemerintah belum memiliki standar yang baku perihal konten-konten yang dianggap bermasalah. “Akibatnya, selama ini pembatasan akses kerap terkait dengan informasi yang merugikan pemerintah,” kata dia kepada Tempo, kemarin.

Menurut Justito, urusan pemblokiran akun media sosial semestinya menjadi tanggung jawab penyedia platform. Dia mencontohkan Jerman yang menyerahkan keputusan pemblokiran akun kepada kantor perwakilan Facebook setempat.

Platform ini memiliki unit khusus untuk mengecek akun yang kerap mengunggah konten bernada ujaran kebencian. Pemerintah Jerman mewajibkan platform menghapus konten tersebut maksimum satu jam setelah ditemukan. Jika terlambat, Facebook dikenai denda.

Pemerintah, kata Justito, bisa mencontoh upaya tersebut dengan sejumlah inovasi. Misalnya, penyedia platform diwajibkan bermitra dengan pihak yang berpengalaman dalam menguji informasi, seperti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), ataupun Cekfakta Tempo.co. “Jadi, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah karena berisiko melanggar hak asasi manusia,” kata dia.

Pemerintah berhasrat menyusun aturan pemblokiran akun media sosial. Direktur Jenderal Aplikasi dan Telematika Kementerian Informasi dan Telematika, Semuel Abrijani Pangerapan, mengklaim regulasi pemblokiran justru dibuat untuk memperjelas langkah penanganan media sosial oleh pemerintah. Dia memastikan pemblokiran akan menjadi opsi terakhir.

Aturan ini, kata Semuel, akan memuat tahap-tahap yang harus dilakukan sebelum pemblokiran. Misalnya, pemerintah harus lebih dulu mengumpulkan bukti dan memverifikasi konten akun yang dianggap bermasalah.

Jika terbukti, pemerintah dapat mengenakan sanksi administratif seperti denda guna membuat efek jera. Apabila sanksi tidak diindahkan, pemblokiran dapat menjadi opsi. “Ini sudah masuk era demokrasi. Enggak mungkin pemerintah lakukan tangan besi,” tutur Semuel.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas, mengingatkan bahwa media sosial menjadi tulang punggung akses publik atas informasi dan ekonomi. Karena itu, kebijakan tidak bisa dirumuskan secara sepihak. “Ibarat pepatah, saat ada tikus di lumbung padi, jangan lumbung padinya yang dibakar,” kata Ika, kemarin.

Ia juga ragu akan efektivitas kebijakan ini. Berkaca pada pemblokiran situs Internet sejak 2014, upaya pemerintah menyensor konten-konten bermasalah, menurut SAFEnet, justru berlebihan sehingga melanggar hak asasi manusia, seperti situs Suarapapua.com yang sempat diblokir pada 2016. Sebab, pemblokiran itu menghalangi publik untuk mencari informasi yang lebih luas perihal kondisi di Papua.

Adapun pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan regulasi pemblokiran media sosial melalui peraturan menteri akan melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dia menuturkan, undang-undang mengatur kebijakan yang berkaitan dengan pembatasan hak-hak warga harus dimuat dalam undang-undang yang dirumuskan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat.

Herlambang khawatir rencana pembuatan regulasi pemblokiran media sosial hanya akan melahirkan pelanggaran berikutnya. Belakangan ini, kata Herlambang, pemerintah cenderung mengutamakan pendekatan keamanan dan ketertiban umum dalam merespons ekspresi publik di Internet.

Hal itu, kata dia, terbukti dari maraknya penangkapan aktivis ataupun anggota kelompok masyarakat yang kerap kritis terhadap pemerintah. “Akhirnya, penanganannya justru memproteksi rezim, bukan untuk memproteksi publik,” ujar Herlambang.

Sebelum mengatur pemblokiran, dia meminta pemerintah mempertanggungjawabkan sejumlah tindakan yang melanggar hak asasi. Salah satu yang cukup krusial, menurut dia, adalah pemblokiran akses Internet di Papua pada Agustus tahun lalu. Saat itu, pemblokiran akses hanya diumumkan melalui siaran pers. “Pengadilan Tata Usaha Negara pun memvonis tindakan ini sebagai perbuatan melanggar hukum,” kata dia.

ROBBY IRFANY


ATURAN ‘BAKAR LUMBUNG’ PEMBLOKIRAN MEDIA SOSIAL

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus