Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA penari berbusana ketat meliuk-liukkan badan di atas meja bar Triple Nine, Kemang, Jakarta Selatan. Jarum jam hampir menunjuk pukul 2 dinihari Ahad dua pekan lalu. Tapi seratusan pengunjung bar dan lounge di lantai tiga gedung Arcade itu tak menunjukkan gelagat kecapekan atau mengantuk. Mereka malah makin "panas" saja, larut dalam musik yang mengentak, sekaligus memelototi para penari berpakaian "minimalis" itu. "Asyiknya di sini ya sexy dancer-nya itu. Lumayan buat cuci mata," kata Rery, 29 tahun. Seperti pengunjung lain, Rery tampak menikmati tontonan di bawah siraman lampu laser itu.
Kasus pembunuhan Raafi Aga Winasya Benjamin di Shy Rooftop, 5 November lalu, seperti tak berpengaruh bagi kehidupan malam di Kemang. Menjelang tengah malam itu, antrean pengunjung tampak di selasar-selasar menuju pintu masuk tempat hiburan di kawasan wisata malam tersebut.
Rery termasuk pengunjung Triple Nine yang mendengar berita kematian Raafi. Ia menyatakan tak risau akan kejadian tersebut. Ia justru yakin, setelah peristiwa itu, pengamanan di tempat hiburan malam diperketat. "Jadinya di sini aman," kata dia.
Malam itu, di pintu masuk Triple Nine, petugas keamanan memang sigap memeriksa setiap pengunjung. Tak hanya mengandalkan alat pendeteksi logam, mereka pun meraba badan setiap pengunjung, mencari senjata dan barang yang dianggap berbahaya. Pengunjung yang membawa tas dipersilakan menyimpannya di tempat penitipan.
Menurut seorang petugas, malam itu ada tujuh orang yang berjaga. Meski berseragam safari seperti orang sipil, mereka sesungguhnya berasal dari sebuah kesatuan yang cukup disegani di lingkungan TNI Angkatan Laut. Para petugas berambut cepak itu tak hanya berdiri di depan pintu masuk. Sebagian di antaranya berada di dalam, berbaur dengan pengunjung dan mengawasi mereka.
Pengunjung tempat hiburan seperti Rery boleh jadi tenang-tenang saja. Tapi keributan yang berujung kekerasan di tempat hiburan di Ibu Kota terus berulang. Pemicunya pun justru kebanyakan hal remeh-temeh, seperti berebut meja atawa senggolan saat berjoget seperti kasus Raafi.
Sehari sebelum insiden di Shy Rooftop, misalnya, keributan terjadi di Kafe Bakudapa, Jalan Wahid Hasyim, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Menjelang kafe tutup, pengunjung bernama Yosial ditusuk pada pinggang kirinya. Tak jelas soal apa. Tiba-tiba saja, pengunjung kafe kaget dan sejumlah di antaranya berteriak melihat Yosial keluar dari kafe bertelanjang dada dan bersimbah darah. Tiga penganiaya, antara lain bernama Bobby, mencoba kabur. Tapi, di sekitar kolam air mancur Jalan Teuku Umar, mobil mereka menerjang pembatas jalan dan tercebur ke kolam. Polisi pun akhirnya meringkus Bobby.
Keributan lain terjadi pada 4 Juni 2011. Sepuluh tentara mengeroyok Manajer Café Holland, Pardamaian Tampubolon, hingga sekarat di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Mereka berang lantaran Pardamaian melarang mereka merokok saat berjoget. Tertusuk sangkur, Pardamaian dibawa ke rumah sakit. Tapi nyawanya tidak tertolong.
Keributan berbuntut panjang terjadi di Blowfish Kitchen and Bar, City Plaza, Wisma Mulia, Jakarta Selatan, 3 April 2010. Dua kelompok pemuda, dari Ambon Key dan Flores Ende, terlibat perkelahian. Seorang pemuda tewas dalam perkelahian itu. Adapun seorang lagi tewas dua pekan kemudian setelah dirawat di rumah sakit.
Saat kasus ini disidangkan pertengahan September 2010, kedua kelompok berkali-kali bersitegang. Puncaknya terjadi pada 29 September 2010 di Jalan Ampera Raya, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kedua kelompok itu saling serang dengan berbagai senjata. Dua orang tewas dalam tawuran berdarah itu.
Kehidupan malam di Ibu Kota sejatinya bukan rimba tanpa aturan. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan, misalnya, dengan terperinci menyebut kewajiban dan larangan bagi pengelola rumah hiburan. Tempat hiburan terlarang dijadikan arena judi dan transaksi narkotik. Para pengunjung juga dilarang membawa senjata tajam atau senjata api. Tempat hiburan tertentu, seperti klub malam dan diskotek, dilarang keras menerima anak-anak di bawah umur 18 tahun.
Saat masih menjabat Gubernur DKI, Sutiyoso menerbitkan Keputusan Nomor 98 Tahun 2004 tentang waktu buka tempat hiburan. Klub malam, misalnya, hanya boleh buka dari pukul 19.00 hingga pukul 03.00. Diskotek buka dari pukul 19.00 sampai pukul 02.00. Adapun musik hidup diizinkan buka pukul 19.00 sampai pukul 01.00. Tapi yang terjadi jauh panggang dari api. Pada akhir pekan, tempat-tempat hiburan di Jakarta biasa buka bahkan hingga pukul 4 pagi.
Pengelola tempat hiburan malam juga kerap mengakali perizinan. Menurut data Dinas Pariwisata DKI Jakarta, dari puluhan tempat nongkrong kaum muda di kawasan Kemang, misalnya, tak satu pun yang terdaftar sebagai diskotek atau klub malam. Izin resminya adalah usaha penyediaan makanan dan minuman. Termasuk dalam golongan ini restoran, kafe, lounge, dan bar.
Di Dinas Pariwisata, Shy Rooftop tempat Raafi terbunuh, misalnya, terdaftar sebagai restoran dan bar. Izin untuk usaha bar bagi PT Naleda Boga Services itu berlaku hingga 15 Desember 2012. Izin bisa diperpanjang tiap tahun.
Karena tempat itu terdaftar sebagai restoran atau kafe, prosedur pengamanannya pun tidak seketat di diskotek atau klub malam. "Ekstremnya, masak orang masuk restoran harus digeledah," kata Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Arie Budhiman kepada Tempo. Fakta bahwa kafe-kafe itu menyediakan minuman beralkohol juga belum tentu bersalah. Sepanjang mendapat izin dari dinas perdagangan, "Itu boleh-boleh saja." Hanya, jika ada yang melanggar, kata Arie, pihaknya pasti akan menjatuhkan sanksi.
Kritik datang dari Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait. Dia menilai pemerintah, pengelola tempat hiburan, dan orang tua berkontribusi dalam peristiwa yang merenggut nyawa Raafi. Dari sisi perlindungan terhadap anak, "Mereka semua harus bertanggung jawab," ujarnya.
Arist menganggap pemerintah daerah lemah dalam mengawasi kemungkinan penyalahgunaan izin. Padahal izin usaha tempat wisata diperbarui saban tahun. Kalau pengawasan berlangsung ketat, kata dia, pemerintah bakal mudah memergoki kafe yang disulap menjadi tempat hiburan malam.
Adapun pengelola tempat hiburan, menurut Arist, lalai karena tidak menjamin keamanan anak-anak. Apa pun izin usahanya, ujarnya, pengelola harus mensterilkan tempat hiburan dari hal-hal yang membahayakan anak, seperti minuman keras dan senjata tajam. Kalau tidak bisa menjamin, "Saat anak-anak datang, ditolak saja."
Jajang Jamaludin, Cornila Desyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo