Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DELAPAN belas siswa kelas XII Sekolah Menengah Atas Pangudi Luhur bergegas meninggalkan sekolah begitu jam pelajaran usai. Selasa pekan lalu, mereka mesti datang ke Café Shy Rooftop di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Seharusnya mereka berdua puluh, tapi dua teman tak bisa datang lantaran sakit.
Bukan hendak pesta atau kongko mereka di sana. Hari itu, di kafe yang terletak di lantai lima gedung The Papilion itu, para siswa tersebut sudah ditunggu tujuh penyidik Kepolisian Resor Jakarta Selatan dan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sebagian siswa datang didampingi orang tua mereka.
Di sana, di kafe yang terletak di puncak gedung itu, selama dua jam polisi melakukan rekonstruksi peristiwa yang menimpa Raafi Aga Winasya Benjamin, 17 tahun. "Ini untuk membantu agar kasus itu lebih terang," kata Kepala Polres Jakarta Selatan Komisaris Besar Imam Sugianto kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Sabtu dinihari dua pekan lalu, Raafi meregang nyawa setelah cekcok dengan sekelompok orang di lantai dansa. Bersama 20 temannya, yang Selasa pekan lalu diminta polisi datang kembali ke kafe itu, Raafi saat itu tengah merayakan ulang tahun teman sekelasnya. Remaja ini ditemukan bersimbah darah akibat luka tusuk di perutnya. Saat dia digotong ke Rumah Sakit Siaga di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, nyawanya tak terselamatkan.
Tak banyak yang tahu, Raafi adalah putra Harnoko Dewantono alias Oki, terpidana mati kasus pembunuhan. Teman-temannya di "PL"—demikian sebutan populer sekolah itu—hanya mengenal ayah Raafi sebagai seorang pengusaha yang kerap mondar-mandir ke luar negeri. Pada pengujung 1994, nama Oki menjadi buah bibir karena menjadi tersangka pembunuhan adiknya dan dua orang lain di Los Angeles, Amerika Serikat. Pembunuhan itu baru terkuak beberapa tahun setelah Oki pulang ke Indonesia. Raafi lahir setelah ibunya, Anggia Hesti Benjamin, bercerai dengan Oki (lihat "Akhir Tragis Calon Dokter").
Sempat berkembang kabar, Raafi dibunuh orang-orang yang dendam atas perbuatan ayahnya belasan tahun silam. Tapi polisi menepis rumor itu. Imam memastikan pembunuhan itu tidak dilatarbelakangi motif tersebut. Rekonstruksi di kafe itu, kata dia, justru hendak mengurai motif sebenarnya. Hanya, Selasa pekan lalu itu, kelompok yang bertikai dengan Raafi cs tak datang memenuhi panggilan polisi. "Namun kami tetap akan mempertemukan mereka," kata Imam.
HARI itu merupakan hari istimewa bagi Muhammad Arif. Jumat, 4 November lalu, siswa SMA Pangudi Luhur kelas XII itu genap 17 tahun. Arif akan merayakan ulang tahunnya di Shy Rooftop. Ia sudah memesan meja nomor 47.
Berkumpul di warung Sur di dekat sekolah mereka, tempat siswa kelas XII biasa nongkrong, Arif dan 20 temannya berangkat ke Shy Rooftop sekitar pukul 23.00. Menumpang dua mobil, dalam setengah jam mereka sudah sampai di tempat hiburan itu. Di sana mereka segera memesan tiga botol vodka.
Setengah jam kemudian, 13 orang datang mengisi meja persis di sebelah kanan meja Arif. Mereka adalah Michael Joseph Luhukay dan teman-temannya. Malam itu, anak bekas wakil direktur utama salah satu bank swasta nasional tersebut juga hendak merayakan ulang tahunnya, yang ke-24. Selain mengundang teman dekatnya, Mike—begitu Michael biasa disapa—mengajak sejumlah temannya sesama anggota 234 Soerjosoemarno Clan (biasa disingkat 234 SC). Kepada penyidik, Arif dan teman-temannya mengaku tidak kenal mereka sebelumnya.
Dari Facebook resminya, 234 SC merupakan organisasi masyarakat di bawah naungan Pemuda Pancasila yang dipimpin Japto Soerjosoemarno. Nama "SC" awalnya berasal dari "Siliwangi Club", merujuk ke kompleks tentara di Jalan Siliwangi di daerah Senen, Jakarta Pusat. Menurut jejaring sosial itu, 234 SC "dipegang" anak Japto, Sahid Abishalom, atau lebih dikenal sebagai "Abi Japto".
Di Twitter, sejumlah orang yang mengaku sebagai sosialita Kemang "berkicau" tentang Abi, yang mereka dengar hadir di pesta Mike. Tapi sejumlah sumber Tempo di lokasi menyatakan mereka tak melihat Abi di sana. Kepada polisi, beberapa saksi menyebutkan beberapa nama anggota 234 SC yang hadir saat itu, antara lain Febrie Awan dan istrinya, Violetha Ceacilia Maria Constanza alias Connie. Lalu ada juga Helmy dan Abel.
Kepada Tempo, juru bicara 234 SC, Sher Ahmad Reza Awan, membenarkan nama-nama itu anggota 234 SC dan hadir pada ulang tahun Mike. Reza mengaku tak datang ke acara Mike sehingga tak tahu siapa lagi yang hadir. "Kalau Febrie dan Connie itu kedua orang tua saya," ujarnya.
Lewat tengah malam, suasana di Café Shy Rooftop makin menggeliat. Lantunan lagu-lagu hip-hop makin mengentak-entak. Sekitar pukul satu dinihari, Raafi dan beberapa temannya turun ke dance floor yang berjarak lima meter dari meja mereka. Teman-teman Mike, seperti Connie, Helmy, Maratoga, dan Abel, kala itu juga tengah berjoget.
Saat itulah terjadi senggolan di antara mereka. Menurut sejumlah saksi, Connie didorong seseorang dari kelompok Raafi hingga jatuh. Sempat berjoget lagi setelah ditolong temannya, lagi-lagi perempuan itu didorong hingga jatuh. Connie lantas dibawa ke meja Mike oleh Toga, Helmy, dan Abel. Febrie lantas mengajak istrinya, Toga, dan Abel pulang. Adapun Helmy, menurut sejumlah saksi, memilih bertahan.
Setelah itu, terjadi keributan antara Raafi dan empat orang yang mempersoalkan insiden jatuhnya Connie. Menurut sumber Tempo di kepolisian, salah satunya adalah Helmy. Lantaran tempat joget mereka berdekatan, mereka menuduh Raafi sebagai orang yang menjatuhkan Connie. Maka adu mulut dan dorong-dorongan pun terjadi. Aksi itu sempat berhenti karena datang anggota satpam yang melerai.
Tapi keributan sejurus kemudian pecah lagi ketika satu dari empat orang tersebut menabrakkan diri ke Raafi dan teman-temannya. Situasi makin panas setelah Raafi melemparkan puntung rokok ke arah empat orang tersebut. Seorang teman Raafi mencoba menghentikan pertengkaran itu. Nahas, satu di antara empat orang yang bertengkar dengan Raafi itu justru memukul dahinya. Tak hanya itu, tangan kanannya juga terkena sabetan benda tajam—diduga pisau lipat—sepanjang 10 sentimeter. Remaja ini langsung menjerit-jerit kesakitan.
Belum lagi rasa terkejut hilang dengan aksi sabetan itu, tiba-tiba mereka mendengar Raafi merintih-rintih. "Dia bilang, 'Tolong gua, tolong gua…,'" ujar seorang saksi. Tubuh Raafi sudah bersimbah darah. Ususnya keluar. Ada luka tusuk memanjang sekitar 10 sentimeter dari perut ke arah ulu hati.
Empat orang teman Raafi segera membopong remaja berambut gondrong tersebut ke mobil. Tujuannya: Rumah Sakit Siaga. Lantaran lift hanya ada di lantai empat, mereka lebih dulu harus menuruni dua anak tangga. Dari keterangan saksi kepada polisi, Raafi meregang nyawa di mobil saat menuju rumah sakit. Tapi sejumlah saksi menduga Raafi sudah meninggal saat di dalam lift Shy Rooftop. Saat Raafi tersungkur, aktivitas di kafe sempat terhenti. Menurut seorang pengunjung kafe, begitu Raafi dibawa teman-temannya keluar, suara musik berdentam kembali. Pengunjung kembali berjoget.
Lain lagi dengan seorang sopir yang biasa mangkal di depan The Papilion. Setelah peristiwa penusukan Raafi, sopir itu mengantar dua penumpang yang baru keluar dari Papilion. Ia kemudian balik lagi ke Papilion lantaran mendengar percakapan mencurigakan penumpangnya. "Sudah dibereskan anaknya," demikian penumpang tersebut berbicara kepada seseorang. Sejenak kemudian, ia berbicara lagi, "Iya… iya, aman. Pokoknya aman."
Setelah menurunkan dua penumpangnya di Jalan Biak Nomor 24, Jakarta Barat, sang sopir balik lagi ke Papilion. Di sana baru ia ngeh setelah mendapat keterangan dari satpam bahwa ada tamu kafe yang ditusuk. Sopir itu sudah diperiksa polisi. Tempo pekan lalu mengecek alamat turunnya dua penumpang itu, yang ternyata hanya sebuah rumah-toko kosong. Komisaris Besar Imam Sugianto membenarkan soal informasi sopir taksi ini.
DUA pekan lebih menelisik, Kepolisian Resor Jakarta Selatan dan tim Kepolisian Daerah Metro Jaya belum juga menemukan titik terang pelaku penusukan Raafi. Empat puluh tujuh saksi sudah dimintai keterangan. Di antaranya 20 siswa Pangudi Luhur, Mike dan teman-temannya, manajemen Shy Rooftop, petugas keamanan, dan beberapa pengujung. "Beberapa saksi masih tertutup," kata Imam.
Menurut Imam, pihaknya belum memegang barang bukti yang menunjuk pelakunya. Closed circuit television (CCTV) di dalam kafe itu, kata dia, tidak bisa merekam tempat kejadian karena suasana gelap. Apalagi saat itu pengunjungnya 300-an, cukup padat. Kepolisian masih menunggu hasil uji forensik Markas Besar Kepolisian terhadap CCTV di depan pintu masuk dan keluar kafe. "Kami ingin mengetahui siapa yang keluar dan masuk," ujarnya.
Yang juga menyulitkan polisi, kata Imam, tempat kejadian perkara sudah dibersihkan sebelum aparat datang. Polisi sudah meminta keterangan manajemen Shy Rooftop tentang mengapa mereka membersihkan barang bukti penting itu. Menurut Imam, manajemen Shy beralasan supaya tidak mengganggu pengunjung lain.
Imam juga belum memastikan soal benda tajam yang dipakai buat menusuk Raafi. Dari proses pemeriksaan, kata dia, memang mengarah ke pisau. "Soal jenisnya, kami masih menunggu visum Raafi untuk melihat dari lukanya."
Sumber Tempo yang tahu kasus ini mengatakan penyidik sejauh ini sebenarnya mengantongi ciri-ciri orang yang bertengkar dengan Raafi. Ia memastikan satu dari empat orang yang bertengkar dengan Raafi adalah pelaku penusukan. Dari hasil pemeriksaan, kata dia, sudah ada nama-nama yang diduga bertengkar dengan Raafi. Foto salah seorang di antaranya sudah ditunjukkan ke beberapa saksi. "Inisialnya R," kata sumber ini.
Sumber ini menuturkan ciri-ciri empat orang yang cekcok dengan Raafi. Orang pertama, yang disebut sebagai pemancing keributan, memakai baju putih, berambut cepak, gemuk, dengan tinggi sekitar 170 sentimeter. Orang kedua memakai topi, pendek, berambut cepak, dan usianya lebih tua dari yang lain. Sedangkan dua lainnya memiliki rambut pendek lurus, tingginya sekitar 170 sentimeter, dan berkulit sawo matang. Orang kedua dan keempat disebut-sebut juga pelaku pemukulan. Bahkan, menurut sumber ini, ada saksi yang menunjuk pelaku penusukan pria yang memakai topi.
Karena kasus ini diduga melibatkan anggota organisasi massa, kata sumber ini, polisi maju-mundur. Apalagi tuduhan mulai mengarah ke salah satu anggota ormas. Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane juga mengkritik lambannya kerja polisi menangkap penusuk Raafi. Ia khawatir polisi sudah "masuk angin" alias ditekan pihak lain. Neta meminta Polda Metro mengambil penuh kasus ini. "Seharusnya penghilangan barang bukti di kafe dijadikan fokus," katanya. "Nanti ketahuan siapa yang menyuruh."
Imam Sugianto menepis ada yang menekan pihaknya hingga anak buahnya belum juga menemukan tersangka. "Kalau melanggar aturan, semua harus ditindak," ujarnya. Adapun Sher Ahmad Reza menjamin tidak ada hubungan penusukan itu dengan 234 SC. Anggota 234 SC, menurut dia, sekadar menghadiri ulang tahun Mike. "Polisi juga sudah memeriksa mereka."
Leletnya pengusutan kasus ini membuat gemas orang tua siswa dan sejumlah alumnus SMA Pangudi Luhur. Selasa pekan lalu, mereka membentuk tim pencari fakta dan menunjuk kuasa hukum untuk mengawal kasus ini. "Kami ingin pelakunya diadili," kata Allova Mengko, salah satu kuasa hukum yang mendampingi "Tim Pencari Fakta PL".
Tim juga sudah menyurati Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo, meminta polisi melindungi siswa Pangudi Luhur yang menjadi saksi perkara ini. Kepada Tempo, sejumlah siswa yang jadi saksi mengaku ketakutan setelah tahu mereka berurusan dengan anggota ormas. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendewai menyatakan siap melindungi mereka dan juga mendengar soal ketakutan para saksi itu. "Kami sudah mencari mereka, tapi belum ketemu," kata Abdul Haris.
Anton Aprianto, Mustafa Silalahi, Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo