Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAJALAH dinding di lobi Sekolah Menengah Atas Pangudi Luhur di Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, tak sanggup menampung ucapan belasungkawa dan testimoni untuk Raafi Aga Winasya Benjamin. Kalimat-kalimat kenangan dengan pelbagai warna tinta itu berdesakan, berebut mengisi sisa ruang yang masih kosong.
"Selamat jalan, Pan. Jangan lupain gw, semoga lo jadi dokter hebat di sana," demikian bunyi salah satu kalimat yang tertera di sana. Puluhan kalimat senada terpampang di antara enam foto Raafi yang sedang tersenyum dengan rambut kriwil yang gondrong.
SMA Pangudi Luhur, yang populer dengan sebutan "PL", mengibarkan bendera setengah tiang selama tiga hari dan berkabung atas kematian salah satu siswa paling populernya. Sabtu, 5 November dinihari, Raafi tewas terkena tikaman pisau di Café Shy Rooftop.
Kematian Raafi amat memukul keluarga dan sekolahnya. Anggia Hesti Benjamin, ibu Raafi, menolak memberikan pernyataan kepada pers. "Ibu belum mau berbicara dulu," kata seorang pembantunya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Pagar rumah Raafi di Kemang Timur tertutup rapat untuk wartawan. Kendati demikian, teman Raafi terus berdatangan untuk mengucapkan belasungkawa.
Dugaan bahwa pelakunya mempunyai hubungan dengan sebuah organisasi pemuda terkenal di Ibu Kota membuat keluarga dan teman-temannya kian mengunci mulut. Keterangan untuk pers hanya keluar dari Tim Pencari Fakta SMA Pangudi Luhur, yang dibentuk untuk mengadvokasi kematian Raafi.
Raafi memang terkenal di sekolahnya. Rambut gondrongnya menunjukkan ia anak pintar. Di Pangudi Luhur memang berlaku satu tradisi: hanya siswa yang nilai rata-ratanya di atas tujuh yang boleh memanjangkan rambut. "Raafi salah satu yang nilainya di atas rata-rata," kata Heri Prasetya, Wakil Kepala Sekolah Pangudi Luhur.
Di sekolah Katolik yang khusus untuk laki-laki itu, Raafi dikenal sebagai salah satu anggota "Fantastic Four"—sebutan untuk empat siswa yang paling disegani di Pangudi Luhur. Seperti umumnya siswa di situ, Raafi punya nama panggilan. Dalam keseharian, aktivis Gerakan Pencinta Alam PL itu dipanggil "Bolpan".
Ini memang panggilan main-main, kependekan dari "bolongan pantat". Raafi mendapat nama ini dari kakak kelasnya saat baru masuk sekolah itu tiga tahun lalu. Dan ia bangga menyandang nama panggilan ini.
Raafi sering tampil menjadi pemimpin dalam kegiatan di PL. Pada Pangudi Luhur Fair yang akan digelar 10 Desember nanti, misalnya, dia menjadi ketua seksi keamanan.
Menurut Heri Prasetya, Raafi cerdas dalam pelajaran humaniora. Raafi mengaku terus terang tak mengerti pelajaran fisika meski sudah berusaha memahaminya. Tapi kelemahan di pelajaran eksakta tak menyurutkannya bercita-cita menjadi dokter. "Semua anak tahu Raafi ingin jadi dokter," kata Heri.
Raafi memang punya "darah" dokter. Kakek buyutnya, Profesor Hendarmin, adalah dokter spesialis telinga-hidung-tenggorokan paling terkenal di Jakarta pada 1970-1980-an. Anak dan cucu Hendarmin kemudian banyak juga yang mengikuti jejaknya, kecuali kakek Raafi, Hendarno Hendarmin.
Hendarno berkarier di Bank Indonesia dengan jabatan terakhir direktur. Dialah ayah Harnoko Dewantono, ayah Raafi. Harnoko tak lain Oki, yang pernah menghebohkan karena membunuh adiknya, Eri Trihartarto Darmawan; teman bisnisnya, orang India, Suresh Michandani; dan pacarnya, Gina Sutan Anwar. Tulang-belulang ketiganya ditemukan polisi Los Angeles di sebuah gudang sewaan di Northridge, LA, pada 1994. Saat itu Oki sudah balik ke Tanah Air. Penyelidikan polisi Los Angeles menunjukkan Oki-lah pelaku pembunuhan yang terjadi pada 1991 dan akhir 1992 itu.
Oki dicokok di rumah neneknya di kawasan Paseban, Jakarta Pusat, awal 1995. Kasus pembunuhan ini menggemparkan dan menjadi berita utama sejumlah media. Oki sendiri berkukuh: yang membunuh Gina dan Suresh adalah Eri, dan ia membunuh Eri karena membela diri saat hendak dibunuh sang adik. Tapi hakim tetap yakin Oki pembunuhnya. Pada 13 Mei 1997, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Oki dengan hukuman mati.
Oki kini menunggu eksekusi di penjara Cipinang. Saat vonis dijatuhkan, ia sudah bercerai dengan Anggia Hesti Benjamin. Mereka berpisah pada September 1993, atau dua bulan sebelum Raafi lahir, setelah Anggia melaporkan tindak kekerasan rumah tangga yang dilakukan Oki terhadapnya ke polisi.
Menurut catatan pengadilan waktu itu, Anggia dipukul dengan stik golf saat sedang hamil besar. Oki dihukum satu setengah bulan penjara, tapi langsung bebas karena dipotong masa tahanan. Pernikahan ayah-ibu Raafi ini berumur tak lebih dari setahun. Maka, begitu Raafi lahir pada 2 Desember 1993, kakek-nenek dari ibunyalah yang merawat dan membesarkannya di Irvine, Amerika Serikat.
Kepindahan itu terutama karena kasus Oki sedang hangat dibicarakan di dalam negeri. Di kota satelit Los Angeles itu Raafi tumbuh. Di kota itu dulu Anggia Hesti dan Oki juga tinggal sambil menyelesaikan pendidikan master of business administration dan berbisnis. Di Los Angeles, Oki punya beberapa teman perempuan, tapi ia hanya menikah dengan Anggia. Mereka pulang karena Anggia hamil, tapi kemudian malah bercerai.
Kadung sudah mencintai kota itu, Dindin Benjamin Yatim—ayah Anggia, yang menjadi direktur di Bank Bumi Daya—membeli rumah untuk ditinggali di sebuah kawasan kelas menengah. Di rumah cukup jembar itu, Raafi tinggal bersama neneknya. Ia bersekolah hingga sekolah dasar di sana. Menjelang sekolah menengah pertama, Raafi pulang ke Jakarta.
Ia lalu bersekolah di SMP Global Jaya International di kawasan Bintaro, Tangerang, Banten. Di SMP ini, Raafi juga cukup populer sebagai anak gaul yang nilai-nilainya lumayan bagus. Seorang wali murid di Global menuturkan Raafi memang menonjol secara akademis. "Bahasa Inggrisnya fasih banget," katanya.
Kepada Tempo, beberapa siswa di Pangudi Luhur bercerita, Raafi sebenarnya juga tak baik-baik amat. Ia, misalnya, beberapa kali pernah melakukan kekerasan kepada adik kelasnya. "Dia pernah menjadi eksekutor dalam bullying di sekolah," ujar seorang wali murid kelas XI.
Beberapa siswa mengaku pernah jadi korban kekerasan yang dilakukan Raafi dan teman-temannya. Di Pangudi Luhur, murid kelas XII adalah kelompok siswa yang "paling berkuasa", sementara murid kelas XI dan X harus tunduk atas perintah-perintah kakak kelas mereka itu, terutama geng "Barisan Keamanan" alias "Baka", termasuk Raafi.
Geng Baka terdiri atas 12 siswa kelas XII. Anggota geng inilah yang antara lain ikut pesta ulang tahun di Shy Rooftop itu. Di sana pula mereka melihat Raafi tersungkur, bersimbah darah, kemudian tewas.
Bagja Hidayat, Arie Firdaus, Aditya Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo