Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu Aceh, kini Papua. Dulu bencana, kini kekerasan. Hidup Letnan Jenderal (Purnawirawan) Bambang Darmono tampaknya tak jauh-jauh dari troubleshooting, membereskan perkara. Dan masalah terbaru yang mesti dia tangani kali ini amat pelik: Papua. Bambang, bekas Panglima Komando Operasi TNI Aceh, mendapat tugas dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membereskan kekisruhan di wilayah tersebut—dengan "mengutamakan pendekatan kesejahteraan," ujarnya kepada Tempo. Resmi memimpin Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat sejak 9 November 2011, secara informal Bambang telah diminta membangun komunikasi dengan masyarakat Papua sejak akhir tahun lalu.
Komunikasi itu dibuka dengan perayaan Natal di rumahnya pada Desember 2010. Dari tokoh gereja sampai Majelis Rakyat Papua datang bertamu. "Pasca-Natal, kami mulai berdialog," katanya. Sejak itu, dia sering ke Papua—warga Papua pun kerap ke rumahnya. Mereka berdiskusi, bertukar kabar. Saking seringnya bertemu, salah satu kelompok yang tadinya curiga dengan makanan yang dia suguhkan mulai ikut mencomot kudapan. Pensiunan letnan jenderal ini mengurus keamanan Aceh setelah tsunami mengempaskan provinsi itu pada 2004. Dia juga muncul di Yogyakarta selepas lindu besar mengguncang kota itu pada Mei 2006.
Di tanah Papua, Bambang akan menghadapi, antara lain, isu kekerasan aparat yang membuat pemerintah Indonesia sering dilanda tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Satu contoh, kasus penyiksaan seorang aparat Kepolisian RI terhadap warga Papua—yang dituduh anggota Organisasi Papua Merdeka. Warga itu disundut rokok dalam kondisi ususnya sudah terburai-burai—pemandangan miris yang kemudian beredar di YouTube. "Saya sudah pensiun, enggak mungkin lagi menggunakan unit-unit TNI untuk memberikan informasi kepada saya. Tuhan yang menyertai saya," katanya.
Memang banyak masalah telah melukai Papua, dari kekerasan aparat keamanan TNI-Polri, ketimpangan hasil pembangunan, hingga masalah Freeport, perusahaan multinasional yang menggali kekayaan alam tanah itu sejak 1967. Di tengah masa persiapannya berkantor di Papua, Bambang memberikan dua kali wawancara kepada wartawan Tempo Yophiandi Kurniawan, Gita Lal, dan Mardiyah Chamim. Hadir pula fotografer Jacky Rachmansyah dan kamerawan Denny Sugiharto. Perbincangan berlangsung di rumahnya yang asri di kawasan Cibubur.
Bagaimana cara Anda meyakinkan orang asli Papua, mengingat banyak dari mereka sudah tak percaya kepada Jawa—yang merepresentasikan Jakarta?
Karena pemerintahan ada di Pulau Jawa, yang paling enak disebut ya (kesalahan) orang Jawa, meskipun kesalahan dibuat juga oleh teman-teman Papua. Dulu (kita) terlalu menekankan pendekatan keamanan. Akibatnya, timbul banyak stigmatisasi. Selama ini, terjadi disharmoni integrasi sosial di Papua, yang memungkinkan ancaman integrasi teritori. Timbul rasa tidak aman karena integrasi sosial tak tuntas. Jangankan kesejahteraan material, dalam hal kesejahteraan batiniah saja, banyak orang Papua masih merasa terancam. Tugas saya memperbaiki disharmoni ini
Di Papua, ada banyak suku, gereja, dan perusahaan multinasional, yang punya kepentingan masing-masing. Bagaimana Anda berhubungan dengan mereka?
Struktur masyarakat Papua bukan piramida, karena tak ada pemimpin tunggal atau orientasi tunggal. Di Papua, bentuknya trapesium. Di atasnya rata. Di lapisan atas ada interest group. Mereka nyaris sulit memiliki pandangan yang sama. Celakanya, lapisan atas inilah yang mendapat akses media terbesar dan omongan mereka ke mana-mana (seolah-olah mencerminkan) pandangan rakyat Papua secara keseluruhan. Kedua, middle group. Mereka kelompok yang cukup memiliki pekerjaan, cenderung cair, tergantung tarik-tarikan yang di atas. Nah, yang terbesar adalah silent majority—yang enggak tahu apa-apa. Ini salah satu kegagalan proses sosialisasi.
Lalu Anda mau berdialog dengan siapa?
Saya punya waktu tiga tahun, sampai 2014, untuk berdialog tentang Papua. Bukan Papua-Jakarta, karena kalau Papua-Jakarta, siapa yang mewakili Papua? Berbeda dengan Aceh. Ketika di Aceh, kita dengan jelas melihat siapa yang berunding (mewakili Aceh). Ketika Hasan Tiro bilang oke, kita berunding. Nah, di sini (Papua), siapa yang mau ngomong?
Anda optimistis ini bisa selesai dalam tiga tahun?
Tergantung kasusnya. Contohnya, siapa yang akan berbicara tentang tanah ulayat? Mestinya orang Majelis Rakyat Papua yang merepresentasikan adat. Kita mesti mendengarkan dewan adat berbicara, tentang hak-hak apa yang terkait dengan tanah ulayat. Itu jauh lebih masuk akal.
Menurut Anda, siapa dulu yang mesti didekati?
Siapa saja. Rasa aman kan milik siapa saja, bukan cuma milik orang bersenjata. VOA (Voice of America) kemarin bertanya kepada saya, "Kan, kekerasan juga ditimbulkan Organisasi Papua Merdeka (OPM)?"
Apa jawab Anda?
Eh, jangan ngomong kayak gitu, saya bilang. Banyak yang memproduksi kekerasan di Papua, dari panah-panahan antarsuku hingga pemilihan kepala daerah. OPM cuma salah satunya. Aparat keamanan juga memproduksi kekerasan. Aparat melihat OPM sebagai produk kekerasan. OPM melihat aparat sebagai pelaku kekerasan. Itulah peta yang ada.
Soal keamanan akankah jadi batu sandungan?
Ya, saya mesti berbicara dengan mereka yang menjadi stakeholder keamanan. Pintu masuk internasionalisasi masalah Papua adalah pelanggaran hak asasi manusia. Dan pelanggaran hak asasi pasti timbul oleh pendekatan keamanan. Itu orang yang disundut rokok di YouTube sudah jadi masalah internasional. Nah, yang ingin saya katakan, harus ada pendekatan keamanan yang proporsional, yang bisa melindungi masyarakat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kita jelas: negara melindungi segenap rakyat dan tumpah darah Indonesia, jadi bukan hanya melindungi negaranya.
Banyak orang Papua merasa "tidak merdeka" di tanah sendiri dengan adanya otonomi khusus. Komentar Anda?
Otonomi khusus itu win-win solution antara pemerintah dan rakyat Papua. Ada banyak soal sejak integrasi dengan Indonesia. Karena tidak puas, mereka meminta referendum dan meminta merdeka. Otonomi khusus, kata teman-teman di Papua, mulai dicederai sejak turunnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003, tentang ditetapkannya Provinsi Irian Jaya Barat, realisasi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2000, yang menetapkan Papua Tengah dan Papua Barat. Faktanya, otonomi khusus dianggap tak memberikan sesuatu kepada masyarakat Papua. Tapi ini bukan cuma kesalahan Jakarta.
Kenapa begitu?
Karena Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus itu mesti dijabarkan dalam peraturan daerah khusus dan peraturan daerah provinsi. Sayang, segala peraturan untuk menjalankan otonomi itu tak kunjung dibuat pemerintah Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua, sampai hari ini, sehingga tak jelas apa yang mesti dilakukan.
Bagaimana Anda akan berbicara dengan orang-orang yang sekarang minta merdeka?
Dari road show saya ke wilayah Papua, keinginan merdeka itu banyak. Tapi enggak secara ideologis. Yang patut diwaspadai yang ideologis. Umumnya ada ketidakpuasan atas produk pembangunan, tak merasa menjadi bagian proses integrasi. Wajar dong kalau ekspresi mereka seperti itu. Saya tidak menjanjikan menghilangkan pemikiran merdeka. Tapi mengurangi, itu sangat mungkin dilakukan.
Bila hasil dialog mengerucut pada jajak pendapat penentuan kemerdekaan, apa langkah Anda?
Itu seni saya menjalankan tugas. Anda tahu, platform yang dipesankan Presiden kepada saya jelas, yakni penyelesaian Papua harus dilandasi Negara Kesatuan RI, otonomi khusus, dan percepatan pembangunan. Ini bukan soal tolak dan terima (referendum), melainkan dialog. Enggak bisa setahun, ya dua tahun, enggak bisa dua tahun, ya tiga tahun. Tapi jangan berkecil hati. Selama kita bisa menjalankan misi, dengan hati, enggak mungkin semuanya sia-sia.
Anda ikut mengurus perdamaian Aceh. Hasilnya Perjanjian Helsinki. Di Papua, apa yang Anda harapkan?
Aceh tak serta-merta bisa dijadikan rujukan untuk Papua. Tapi pikiran menterminasikan persoalan Aceh bisa dipakai untuk Papua. Formatnya tentu harus berbeda dan enggak ada format tunggal. Dulu, sewaktu ada dialog Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia—head to head—enggak ketemu solusinya. Lalu, oleh Martti Ahtisaari, dilepaskan, eh ketemu solusi. Jadi, enggak bisa saya bilang sekarang formatnya mesti seperti ini. Sambil jalan saja.
Ini kata pejabat Jakarta: ada banyak gelontoran duit ke Papua, tapi kok pembangunannya begitu-begitu saja. Apa pendapat Anda?
Ada kesalahan manajemen di situ. Apakah sudah terjadi begitu, saya enggak mau berbicara karena saya belum di sana. Yang terkait mungkin niat, mungkin juga kapasitas. Niat harus dihentikan dengan penegakan hukum, kapasitas harus ditingkatkan dengan upgrading. Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, yang siap membantu melakukan capacity building dalam tata kelola pemerintahan. Juga Kementerian Dalam Negeri.
Apa rencana Anda menangani masalah Freeport?
Saya enggak mau berbicara soal Freeport. Ada yang punya domain kewenangan di sana. Tidak lama lagi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Tenaga Kerja akan berbicara kepada pers tentang hal ini. Tunggu saja. Tapi, dalam konteks peluberan atas hubungan industrial yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat Timika secara keseluruhan, saya harus siap menyelesaikannya.
Pendekatan Anda soal keamanan terdengar berbeda dengan umumnya tentara. Apa enggak takut dianggap aneh di kalangan militer?
Justru saya orang yang taat pada doktrin tentara. Dalam menangani persoalan semacam ini, yang menjadi orientasi adalah memenangkan hati dan pikiran rakyat. Caranya harus tidak menonjolkan kekerasan, tapi (masuk ke) dunia yang dicintai rakyat. Kalau salah cara, ya kontraproduktif.
Wah, padahal dulu di Aceh banyak yang bilang Anda galak bukan main….
Ha-ha-ha…, tampilan seseorang bukan selalu mencerminkan hatinya, kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo