Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBITNYA Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi babak baru pengaturan pajak karbon di Indonesia. Disahkan pada 7 Oktober 2021, aturan tersebut diklaim tak hanya mengusung sistem pajak yang berkeadilan, tapi juga upaya Indonesia mencapai target net-zero emission pada 2060.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengaturan pajak karbon ini menjadi rangkaian peristiwa yang menarik perhatian menjelang penyelenggaraan Konferensi Iklim Ke-26 (COP-26) di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12 November 2021. Sebelumnya, pada 10 September 2021, Indonesia memutuskan untuk mengakhiri kerja sama pengurangan emisi gas kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) dengan Norwegia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, pada 29 Oktober 2021, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon yang mengatur perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, serta pembayaran berbasis kinerja penurunan emisi karbon. “Kami akan memperkenalkan cap and trade sektor tertentu, seperti terhadap PLTU batu bara,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Jumat, 19 November 2021.
Dalam skema cap and trade, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari ambang batas wajib membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari entitas dengan emisi di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE) atau carbon offset. Mekanisme perdagangan karbon ini dibahas bersama Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Nanti SIE dan SPE akan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo