SUATU hari ketika Perang Dunia II berkobar di Asia, peleton
remaja Gurkha yang dipimpin Havildar (sersan) Gaje Ghale
diperintahkan untuk melakukan serangan mendadak ke Bukit Basha,
sebuah posisi kunci Jepang di Perbukitan Chin, Birma. Perjalanan
menuju sasaran itu menyelusuri tebing curam, dan tanpa sisi
pelindung. Sementara musuh terus pula menghujani mereka dengan
tembakan mortir berat. Tapi Ghale berpantang undur.
Duel senjata tak terelakkan. Dalam tembak menembak yang
berkobar, Gaje Ghale disambar pecahan granat. Ia terluka pada
lengan, dada, dan kaki. Tapi sersan itu tak menghiraukannya. Ia
terus memimpin anak buahnya mendekati musuh.
Pertempuran berhadapan muka segera menyusul. Bermandikan darah
oleh luka-lukanya, Gaje Ghale tetap memimpin setapak demi
setapak. Keberanian anak buahnya bangkit oleh pekik peperangan
khas Gurkha dari sang komandan: "Ayo Gurkhali!" (Inilah Pasukan
Gurkha!).
Peleton itu, dengan parang kukri terhunus, menerjang ke depan
dan menimbulkan kerugian manusia yang sangat besar di pihak
Jepang. Sementara Ghale bagai dirasuk setan. Ia tidak
menghiraukan luka-lukanya, sampai kemudian diperintahkan para
perwiranya mundur ke pos kesehatan resimen.
"Aksi Royal Gurkha Rifles menahan ofensif Jepang di Perbukitan
Chin adalah contoh khas dari elan dan semangat Gurkha yang
legendaris itu," kata John S. Arvidson dalam majalah Soldier of
Fortune (SOF) Mayor (Purnawirawan) John S. Arvidson, penulis
freelance untuk sejarah militer dan intelijen, adalah komandan
pasukan Raiders ke-27 Angkatan Darat Amerika Serikat dalam
Perang Korea.
Para Gurkha, yang terkenal periang tabah, dan gagah berani,
adalah lambang kejantanan prajurit. Mereka hanya diikat oleh
sumpah legiun dalam berbakti di negeri asing dalam hal ini
mereka bisa dijadikan suri tauladan.
Tercatat sebagai kawula Kerajaan Nepal yang merdeka, orang-orang
Gurkha mulai memainkan peranan militer untuk Inggris segera
setelah perang kemerdekaan negeri mereka usai, 1815. Mereka itu
terdiri dari suku Gurung, Magar, Tamang, Rai, dan Limbu --
dikabarkan mereka ini masih punya pertalian darah. Kaum Gurkha,
juga sering disebut Gorkha, pendiri dinasti yang memerintah
Nepal sejak 1768.
Sejak terorganisasi dalam kesatuan-kesatuan Inggris, pasukan
Gurkha mulai terlibat dalam berbagai pertempuran. Sebelum Perang
Dunia II, pasukan ini sering dijuluki Legiun Asing India. Nama
Legiun Asing India itu melekat karena mereka memang
menunjangAngkatan Darat IndiaBritania dengan kekuatan sepuluh
resimen.
Secara ras, orang Gurkha, yang berperawakan kecil dan alot,
tergolong Mongolid. Mereka menganut agama Hindu. Tapi bukan kaum
agamis yang fanatik.
Di bawah perjanjian segi tiga antara India, Nepal, dan Inggris,
Brigade Gurkha, yang terdiri dari empat resirnen, menjadi bagian
yang integral dari Angkatan Darat Inggris, sejak 1 Januari 1948.
Tapi kini brigade itu tinggal lima batalyon, sekitar delapan
ribu prajurit yang melayani unit-unit transpor, sinyal, dan
teknik.
Untuk mendapatkan prajurit yang bermutu, Inggris mendirikan dua
depot rekrut di Nepal. Depot utama berada di Dharan, Nepal
Timur. Depot yang lebih kecil terdapat di Paklihawa, Nepal
Barat. Kedua depot perekrutan itu secara administrasi berada di
bawah Gurkha Nepal-British. Untuk tenaga perekrut dipilih eks
serdadu sewaan Gurkha yang punya reputasi prima.
Setiap tahun sekitar 10.000 pemuda Nepal mendaftarkan diri untuk
menjadi tentara. Tapi kini mereka tak lagi dilatih di Dharan dan
Paklihawa. Sejak 1978 perekrutan dilakukan di Hongkong. Kontrak
pertama biasanya ditandatangani untuk enam tahun. Dalam
prakteknya rata-rata serdadu Gurkha menjalani masa dinas 15
tahun.
Di Hongkong, para calon Gurkha dikirim ke Depot Latihan Pasukan
Lapangan Gurkha (GFF) di New Territories. Di tempat ini mereka
dilatih keras dan intensif selama 36 minggu.
Keadaan medan di pusat latihan ini sangat berat. Perbukitannya
khas dan curam -- menjulang sampai 3.000 kaki dan penuh
batu-batuan tajam. Untuk pelajaran di dalam kelas mereka
mendapat ilmu berhitung dan bahasa Gurkha Romawi -- bahasa
Gurkha yang ditulis dalam aksara latin.
Selepas pendidikan, sekitar 60 prajurit remaja ditempatkan dalam
batalyon-batalyon Gurkha di Kalimantan dan Inggris. Sisanya,
sekitar 180 orang, tinggal di Hongkong bersama GFF. Sedang
mereka yang terpilih untuk menjadi calon perwira diwajibkan
menempuh pendidikan selama dua tahun di Akademi Militer
Sandhurst, Inggris.
Perubahan dalam pasukan Gurkha sekarang juga mengenai senapan.
Senjata api mereka kini adalah senapan serbu L1A1 SLR buatan
Inggris. Tidak lagi senapan tua SMLE 303. Tapi Kukri, parang
tradisional itu, masih tetap mereka pakai sebagai senjata
pribadi dalam pertempuran berhadapan muka.
Mortir Stokes tiga inci, yang biasa digunakan batalyon Gurkha
sejak dua Perang Dunia maupun sesudahnya, sudah lama digantikan
dengan mortir L1A181 mm. Selama Perang Dunia II, peleton mortir
batalyon (biasanya peleton nomor 5) ditunjang enam mortirtiga
inci dengan jarak tembak maksimal 1,35 km. Senjata ini sangat
terbatas dalam menghadapi pertempuran tertentu, misalnya,
pertempuran di Monte Casino.
Kini, mortir L1A181 mm yang digunakan pasukan Gurkha mampu
menjangkau jarak 5,6 km. Mortir 2 inci, yang biasanya
ditempatkan satu untuk setiap peleton senapan, kini ditarik dari
peredaran dan hanya digunakan untuk keperluan terbatas. Sebab
jarak tembaknya tidak lebih dari 450 meter.
Selama Perang Dunia II sebagian besar komandan Gurkha menyandang
Sten atau Thompson SMG. Dalam pertempuran jarak pendek senjata
ini memang bekerja lebih baik ketimbang senapan panjang SMLE.
Sten dan Austen 9 mm menjadi pujaan patroli Gurkha di
hutan-hutan Malaya (sekarang: Malaysia) selama keadaan daru rat
1948-1960. Kini senjata standar mereka adalah Sterling SMG L2A3.
Tahun 1964, pasukan Gurkha mulai diperlengkapi dengan senapan
antitank 84 mm -- lebih dikenal dengan nama RCL Carl Gustaf 84
mm. Senjata ini kini menjadi senjata standar antitank dalam
Brigade Gurkha Inggris.
Sekarang Gurkha juga tidak lagi mempergunakan granat No. 36
yang dulu merupakan favorit pasukan ini. Senjata itu digantikan
oleh granat tangan of ensif L1A1 -- granat standar tentara
Inggris. Senapan L1A1 SLR dengan teleskop juga diberikan pada
mereka. Para Gurkha memang terkenal sebagai pandu dan penembak
jitu.
Pasukan Gurkha sudah bertempur hampirdi seantero dunia. Mulai
dari Kandahar, Birma, Cina, Tibet. Selama Perang Dunia I tidak
kurang dari 20.000 tentara Gurkha mati di dalam melaksanakan
tugas. Secara keseluruhan tercatat 44 batalyon Gurkha bertempur
untuk Kerajaan Inggris.
Setelah Perang Dunia I, unit-unit Gurkha berperang melawan para
pemberontak Kurdi, kemudian para pemberontak Irak pada 1920. Dan
mereka juga pernah berperang melawan kaum komunis Rusia di
kawasan Laut Hitam Armenia.
Selama Perang Dunia II Gurkha bertempur di hampir seluruh bagian
dunia. Kali ini mereka mencapai Afrika Utara, Singapura, dan
Italia. Hampir 250.000 orang Nepal ambil bagian dalam Perang
Dunia II.
Selama Keadaan Darurat Malaya, 1948-1960, Gurkha secara
terus-menerus terlibat pertempuran. Menurut catatan, dalam
periode itu mereka menewaskan 2.000 teroris komunis.
Tradisi memegang peranan penting di dalam kehidupan Gurkha.
Sejumlah anak memasuki resimen ini, meneruskan jejak ayah,
bahkan kakek-kakek mereka. Setiap resimen mempunyai tradisi dan
simbol sendiri. Perwira Inggris yang tergabung di dalam resimen
Gurkha biasanya sangat dekat dengan para anak buah dan terikat
dalam loyalitas seumur hidup. Karena itu para perwira ini
mendapat bayaran khusus -- lebih tinggi dari gaji seorang
perwira sama tapi bertugas dalam kesatuan biasa.
Parang kukri sangat penting dalam tradisi resimen Gurkha. Kukri
adalah senjata tradisional mereka selama berabad-abad. Selain
kukribiasa, ada pula kukri besar -- senjata yang terakhir ini,
untuk orang biasa, diperlukan dua tangan buat menghunusnya.
Kukri spesial ini digunakan untuk menyembelih lembu dan kambing
untuk upacara tertentu di markas resimen.
Untuk menghabisi nyawa musuh dengan kukri hanya dibutuhkan
tetakan tunggal tepat di batang leher. Sasaran ini memang sulit
dibayangkan dalam pertempuran yang meriah. Tapi cerita seorang
prajurit dari Divisi Rajawali Merah ke-4, yang bernama Dwansing
Basnet, agaknya bisa dijadikan contoh betapa kukri merupakan
senjata ampuh yang sangat diandalkan para Gurkha.
Ketika Basnet melakukan pengintaian di depan peletonnya, pada
suatu malam di Tunisia, ia tiba-tiba mendengar suara dalam
bahasa asing. Basnet berpaling, dan mendapatkan dirinya
berhadapan dengan seorang serdadu Jerman. "Aku mengenalinya dari
topi bajanya," cerita Basnet, setelah peristiwa itu. "Ia sedang
merayap di kegelapan. Kuhunus kukri, dan kupancung lehernya
sehingga putus."
Serdadu Jerman yang lain muncul dari selokan. Basnet juga
memenggal kepala Jerman yang malang ini. Dua orang lagi serdadu
musuh tampil bersamaan, dan Basnet menghabisi keduanya. Tetapi
salah seorang korban itu sempat membuat ribut sebelum
menghembuskan napas terakhir. Alarm pun segera berbunyi.
Serdadu kelima muncul. Dan kali ini Basnet kurang beruntung. Ia
hanya berhasil melukai orang itu, tepat di antara leherdan bahu.
Dalam sekejap mata Gurkha yang sendirian itu dikerubuti
segerombolan serdadu Jerman. Tangannya luka dan basah oleh
darah. Mereka merampas kukrinya.
Kini salah seorang Jerman itu menggunakan kukri tadi untuk
menghajar si empunya. Kepalanya sompel-sompel. "Tetapi dia
kurang pandai," kata Basnet kelak. "Ia lebih banyak memukul
kepalaku dengan bagian kukri yang tumpul."
Mereka menghajar Basnet sampai terkapar di tanah. Dan prajurit
Gurkha yang panjang akal itu berlagak mati. Setelah para serdadu
Jerman itu kembali ke parit perlindungannya, Basnet mencoba
mengintai keadaan. Tetapi ia tidak bisa melihat apa-apa. Matanya
tertutup darah.
Perlahan-lahan ia membersihkan darah itu. Dan kini ia bisa
melihat sebuah senapan mesin Jerman di dekatnya. Ia ingin sekali
merampas senapan mesin itu. Tapi hari mulai terang, dan
pasukannya mulai melemparkan granat ke garis musuh. Beberapa
granat meledak di dekat Basnet.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga, Basnet kemudian bangkit
dan berlari menuju induk pasukannya. Ia nyaris binasa. Sebab
beberapa temannya mengira ia serdadu musuh. Mereka hampir
menembaknya. Ia segera memekik. Pasukan itu mengenal suaranya,
dan membiarkan ia masuk.
Dalam keadaan luka parah dan habis dihajar, kehilangan kukri
pula, Basnet meminta teman-temannya menghunuskan pistolnya, dan
menggenggamkan senjata itu ke tangannya. Ia sendiri sudah tidak
sanggup menghunus pistol itu. Tetapi ia masih bernafsu memimpin
peletonnya ke sarang musuh.
Komandan kompinya memerintahkan Basnet melapor ke pos kesehatan
resimen. Tetapi ia mencoba membantah. "Sahib," katanya, "kita
sedang bertempur, dan saya tahu persis posisi musuh. Saya harus
tetap di sini dan memimpin peleton saya" Tetapi perintah
komandan kompi itu tak bisa ditawar.
Sesaat sebelum Basnet mundur, salah seorang penembak bren
peletonnya tamat digasak peluru musuh. Sang komandan kompi
sendiri terluka pada leher, tetapi ia menggantikan penembak bren
tadi. Dan ia mulai memuntahkan pelurunya bagai dirasuk setan.
Basnet sendiri tetap di garis belakang. Dokter resimen membasuh
luka-luka Basnet dan mengobatinya, dan tidak mengizinkan
prajurit itu kembali ke medan pertempuran. Untuk
kegagah-beraniannya, Jemadar Dwansing Basnet, yang mendapat
selusin bacokan dalam peristiwa ini, dianugerahi bintang Indian
Orderof Merit. Bintang ini hanya setingkat di bawah Salib
Victoria.
Di Inggris, kini, batalyon Gurkha dikoordinasikan dengan Resimen
ke-22 Special Air Service (22 SAS) yang kesohor itu. Kesatuan
gabungan ini dioperasikan di bawah pengawasan Pasukan Komando
Sekutu Eropa (ACE) -- organ Pakta Pertahanan Atlantik Utara
(NATO).
Markas besar pasukan gabungan ini di Seckenheim, Jerman Barat.
Pasukan 22 SAS terkenal beranggotakan para prajurit profesional
yang sangat tangguh dari Angkatan Darat Inggris. Mereka
merupakan pasangan yang sangat sesuai bagi para serdadu Gurkha.
Di Kesultanan Brunei, menurut John S. Arvidson, kesatuan Gurkha
ditempatkan di sejumlah pos dalam ukuran kompi. Markas besar
mereka terdapat di Kota Brunei. Gurkha berada di Brunei sejak
1962.
Menurut Kifaru, yang juga menurunkan tulisan Gurkha dalam
majalah SOF terbitan sama, sebuah "revolusi" meletus di Brunei
pada Desember 1962. Revolusi itu dilaporkan digerakkan agen-agen
komunis dengan "dukungan Pemerintahan Soekarno." Tujuannya:
menangkap Sultan, menduduki semua pos polisi, dan menguasai
semua ladang minyak.
Kendati sempat menguasai beberapa pos polisi, "revolusi" itu
urung berhasil. Gerakan mereka sempat tercium sebelumnya, dan
pasukan-pasukan keamanan pemerintah segera memberikan perlawanan
tangguh.
Untuk mengamankan Brunei dari perusuh, Inggris mengirimkan
pasukan untuk membantu. Pasukan ini diambilkan dari Divisi
Gurkha ke-17, yang sebelumnya bermarkas di Malaya.
Konon keadaan "sangat mengkhawatirkan" tatkala rombongan pertama
Divisi ke-17 ini tiba di Brunei. Para perusuh telah berhasil
menguasai sebuah lapangan terbang dan beberapa pos polisi.
Mereka juga memblokade beberapa daerah.
"Tetapi peta situasi segera berubah dengan masuknya pasukan
Inggris," tulis Kifaru. Para Prajurit Gurkha yang beringas itu
langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Mereka segera menguasai
keadaan. Pasukan Inggris kemudian berbalik mengambil alih
inisiatif memburu para pemberontak. Dan pada akhir 1962, Brunei
dinyatakan dalam keadaan aman.
Dari Brunai api konfrontasi menjala ke daerah yang kini dikenal
sebagai Malaysia Timur. Daerah "perang yang tidak diumumkan" ini
konon meliputi Serawak (47.000 mil persegi) dan Sabah (29.000
mil persegi). Garis perbatasan wilayah ini dengan
Kalimantan-Indonesia terbentang sepanjang 1.500 mil.
Medan di sini memiliki beberapa bagian dari tipe yang paling
kejam di dunia. Tidak ada jalan raya dan jaringan kereta api.
Perjalanan dilakukan lewat sungai dan beberapa jalan setapak.
Daerah ini dihuni oleh orang Melayu, suku Dayak, dan perantau
Cina.
"Gerilyawan yang dilatih Pemerintahan Soekarno sebagian besar
orang Cina dari Serawak," kata Kifaru. Perang di kawasan ini
bermula 12 April pagi di tahun 1963.
Pada pagi itu, segerombolan gerilyawan menyerang pos polisi di
Tebedu -- beberapa mil dari perbatasan Malaysia Timur. Serangan
ini meminta korban beberapa jiwa. Setelah itu para gerilyawan
menyusup kembali kewilayah Indonesia. "Konfrontasi" sudah mulai
dan segera terdengardi seluruh Serawak.
Komando Marinir Inggris segera diturunkan dari Singapura. Juga
pasukan lain, "termasuk pasukan saya yang di lepas dari
Inggris," kata Kifaru -- pensiunan perwira Inggris itu.
"Operasi Borneo" kemudian ternyata mendapat tempat khusus dalam
kenangan para serdadu asing itu. Ada kondisi khusus yang membuat
operasi ini unik di mata mereka.
Pertama, hampir seluruh operasi dilakukan dengan berjalan kaki
karena langkanya prasarana lalu lintas. Helikopter hanya mampu
mengangkut pasukan dalam jumlah yang sangat kecil. Suplai bahan
makanan dilakukan lewat udara. Tapi operasi ini konon membuat
tentara Inggris dan Persemakmuran tumbuh kuat dan tangguh,
setelah melatih diri dalam hutan yang sesungguhnya.
Keanehan kedua, meski kedua belah pihak memiliki angkatan udara,
pengeboman tidak pernah terjadi. Tampaknya kedua belah pihak
khawatir kalau pengeboman akan membinasakan kampung-kampung
Dayak, sehingga simpati suku itu tidak bisadiharapkan. "Mungkin
juga karena pengeboman sedang tidak populer lantaran akibat yang
ditimbulkannya dalam Perang Vietnam ketika itu," kata Kifaru.
Perang yang tidak diumumkan itu kemudian meningkat bertambah
luas dan kejam. Kifaru berterus terang dalam tulisannya. "Para
prajurit Indonesia itu jempolan, terutama kesatuan elite para
komando yang bernama RPKAD," katanya.
"Komandan pasukan saya di Borneo ketika itu adalah Jenderal
Walter Walker," kata Kifaru. Dia ini seorang prajurit pejuang
yang tangguh sekali. Beberapa tahun lalu, ketika pemerintah
Partai Buruh Inggris menyesali serangan yang dilakukan Pasukan
Keamanan Rhodesia Selatan terhadap Mozambik dan Zambia, Walker
angkat bicara. "Jangan munafik," katanya. "Itulah dulu yang
dilakukan Inggris dalam Operasi Borneo."
"Pada penghujung 1965," tulis Kifaru, "tiba-tiba perbatasan
Kalimantan Utara sunyi senyap." Konfrontasi seperti macet.
Mereka tidak tahu kalau Indonesia sedang ramai -- PKI
melancarkan kudeta. Pada 11 Agustus 1966, Indonesia dan Malaysia
resmi berbaikan.
Semua batalyon Gurkha pernah bertugas di Brunei. Mereka kemudian
berhadapan dengan gerilyawan komunis yang dikejar-kejar tentara
Indonesia di sekitar perbatasan Kalimantan. Tetapi tugas
terakhir ini tidak terlalu memakan waktu dan tenaga.
Dalam Perang Malvinas pasukan Gurkha juga ambil bagian. Konon
mereka kecewa. Sebab tidak sempat unjuk kebolehan. Mereka tiba
di Malvinas dua hari sebelum perang usai. Pasukan ini cuma
sempat menembakkan beberapa peluru, dan menahan tiga orang
musuh. Pasukan ini, yang tidak jadi sampai ke ibu kota, Stanley,
dipimpin Letkol David Morgan.
Namun kehadiran mereka yang singkat itu cukup menggegerkan.
Sastrawan Columbia Gabrial Garcia Marquez, pemenang Hadiah Nobel
1982, menyebut serdadu Gurkha "para pemancung legendaris dan
bengis dari Nepal." Sebuah artikel yang ditulisnya tentang
kebengisan serdadu Gurkha segera tersebar di seluruh kawasan
dunia yang berbahasa Spanyol.
Dalam artikel itu Marquez mengutip seorang saksi yang pernah
menyaksikan serdadu Gurkha memenggal tentara Argentina. "Mereka
memancung dengan kelewangnya, kemudan mereka jinjing kepala
yang terpenggal itu pada rambutnya, dan mereka ricih telinganya
sampai putus."
Kini tiga batallyon Gurkha bermarkas di Hongkong. Masing-masing
dikenal dengan nama kesatuan «GR, 6 GR, dan 10 GR. Mereka
membentuk Kesatuan Lapangan Gurkha (GFF), bersama satu batalyon
infantri Inggris, unit-unit helikopter, teknik sinyal, dan
transpor.
Pasukan penunjang GFF di Hongkong adalah Skuadron 28 Angkatan
Udara Kerajaan Inggris (RAF). Kekuatannya terdiri dari 8
helikopter Weesex Mark II yang ditempatkan di lapangan Sek Kong.
Juga ada bantuan dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris berupa
fregat HMS Tamar, serta 5 kapal patroli dan penyapu ranjau yang
senantiasa siap di pelabuhan Hongkong.
Ketiga batalyon Gurkha itu masing-masing ditempatkan di New
Territories, di perbatasan dengan Cina, dan di Semenanjung
Kowloon. Batalyon Inggris ditempatkan di Pulau Hongkong.
Ada kerja sama GFF dengan Polisi Hongkong (HKP). Di Fan Ling,
New Territories, terdapat markas besar HKP/GFF yang ditunggu
selama 24 jam. Demikian pula di Pulau Hongkong. Ada rencana
untuk menarik mereka, Maret lalu. Namun batal. Tampaknya
kehadiran mereka masih dipertahankan.
Tugas pasukan Gurkha adalah setiap hari berpatroli sepanjang
Sungai Sumchun yang memisahkan koloni Hongkong dengan daratan
Cina. Di sana ada pagar kawat berduri untuk menghalangi penduduk
RRC menyeberang secara gelap ke Hongkong.
Banyak serdadu Gurkha yang berbahasa Inggris. Tetapi dengan para
perwiranya mereka berbicara Gurkhali. Karena rata-rata pernah
bertugas di Kalimantan dan Malaya, mereka sedikit-sedikit juga
bisa berbicara Melayu.
Tapi anehnya, hampir tidak ada eks Gurkha yang tinggal di
Inggris setelah menjalani pensiun. Begitu masa dinasnya selesai
mereka dipulangkan ke Nepal. Kisah Kopral Rabin Rai bisa
dijadikan contoh.
"Kopral ini datang dari sebuah desa di bagian timur Nepal," kata
Peter Osnos melaporkan dalam International Herald Tribune. Ia
bergabung sembilan tahun lalu. "Karena menjadi Gurkha sudah
tradisi keluarga kami," katanya.
Istrinya tetap tinggal di kampung, di pegunungan. Ia sendiri
mendapat cuti dan tinggal di kampung selama enam bulan setiap
tiga tahun sekali. Kontraknya 15 tahun.
"Gurkha adalah orang berani," katanya. "Mereka pintar bertempur.
Dan mereka taat melaksanakan perintah." Rahasia dan "filosofi"
loyalitas Gurkha konon terletak pada konsep kaida -- semacam
sistem perintah yang tidak bisa ditawar-tawar.
Letkol Morgan, komandan pasukan Gurkha dalam Perang Malvinas,
sudah 23 tahun bergabung dengan kesatuan Gurkha. Hanya sekali ia
menemukan calon prajurit Gurkha yang minta pulang. Problem
disiplin hampir tidak ada dalam kesatuan ini.
Morgan membandingkan prajurit Gurkha dengan anjing bull terrier
Staffordshire -- anjing pekelahi dari Inggris yang paling
bengis. "Mereka kecil, berotot, dan tidak gampang marah. Tetapi
sekali marah, mereka tidak kenal ampun," kata Morgan.
Pasukan Gurkha memang punya semboyan sendiri, sejak
berabad-abad. Semboyan itu berbunyi: Kaphar hunnu bhanda marnu
ramro (Lebih baik mati ketimbang jadi pengecut).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini