Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ayo gurkhali

Serdadu sewaan gurkha, merupakan lambang kejantanan prajurit. menjadi bagian yang integral dari angkatan darat inggris.(sel)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari ketika Perang Dunia II berkobar di Asia, peleton remaja Gurkha yang dipimpin Havildar (sersan) Gaje Ghale diperintahkan untuk melakukan serangan mendadak ke Bukit Basha, sebuah posisi kunci Jepang di Perbukitan Chin, Birma. Perjalanan menuju sasaran itu menyelusuri tebing curam, dan tanpa sisi pelindung. Sementara musuh terus pula menghujani mereka dengan tembakan mortir berat. Tapi Ghale berpantang undur. Duel senjata tak terelakkan. Dalam tembak menembak yang berkobar, Gaje Ghale disambar pecahan granat. Ia terluka pada lengan, dada, dan kaki. Tapi sersan itu tak menghiraukannya. Ia terus memimpin anak buahnya mendekati musuh. Pertempuran berhadapan muka segera menyusul. Bermandikan darah oleh luka-lukanya, Gaje Ghale tetap memimpin setapak demi setapak. Keberanian anak buahnya bangkit oleh pekik peperangan khas Gurkha dari sang komandan: "Ayo Gurkhali!" (Inilah Pasukan Gurkha!). Peleton itu, dengan parang kukri terhunus, menerjang ke depan dan menimbulkan kerugian manusia yang sangat besar di pihak Jepang. Sementara Ghale bagai dirasuk setan. Ia tidak menghiraukan luka-lukanya, sampai kemudian diperintahkan para perwiranya mundur ke pos kesehatan resimen. "Aksi Royal Gurkha Rifles menahan ofensif Jepang di Perbukitan Chin adalah contoh khas dari elan dan semangat Gurkha yang legendaris itu," kata John S. Arvidson dalam majalah Soldier of Fortune (SOF) Mayor (Purnawirawan) John S. Arvidson, penulis freelance untuk sejarah militer dan intelijen, adalah komandan pasukan Raiders ke-27 Angkatan Darat Amerika Serikat dalam Perang Korea. Para Gurkha, yang terkenal periang tabah, dan gagah berani, adalah lambang kejantanan prajurit. Mereka hanya diikat oleh sumpah legiun dalam berbakti di negeri asing dalam hal ini mereka bisa dijadikan suri tauladan. Tercatat sebagai kawula Kerajaan Nepal yang merdeka, orang-orang Gurkha mulai memainkan peranan militer untuk Inggris segera setelah perang kemerdekaan negeri mereka usai, 1815. Mereka itu terdiri dari suku Gurung, Magar, Tamang, Rai, dan Limbu -- dikabarkan mereka ini masih punya pertalian darah. Kaum Gurkha, juga sering disebut Gorkha, pendiri dinasti yang memerintah Nepal sejak 1768. Sejak terorganisasi dalam kesatuan-kesatuan Inggris, pasukan Gurkha mulai terlibat dalam berbagai pertempuran. Sebelum Perang Dunia II, pasukan ini sering dijuluki Legiun Asing India. Nama Legiun Asing India itu melekat karena mereka memang menunjangAngkatan Darat IndiaBritania dengan kekuatan sepuluh resimen. Secara ras, orang Gurkha, yang berperawakan kecil dan alot, tergolong Mongolid. Mereka menganut agama Hindu. Tapi bukan kaum agamis yang fanatik. Di bawah perjanjian segi tiga antara India, Nepal, dan Inggris, Brigade Gurkha, yang terdiri dari empat resirnen, menjadi bagian yang integral dari Angkatan Darat Inggris, sejak 1 Januari 1948. Tapi kini brigade itu tinggal lima batalyon, sekitar delapan ribu prajurit yang melayani unit-unit transpor, sinyal, dan teknik. Untuk mendapatkan prajurit yang bermutu, Inggris mendirikan dua depot rekrut di Nepal. Depot utama berada di Dharan, Nepal Timur. Depot yang lebih kecil terdapat di Paklihawa, Nepal Barat. Kedua depot perekrutan itu secara administrasi berada di bawah Gurkha Nepal-British. Untuk tenaga perekrut dipilih eks serdadu sewaan Gurkha yang punya reputasi prima. Setiap tahun sekitar 10.000 pemuda Nepal mendaftarkan diri untuk menjadi tentara. Tapi kini mereka tak lagi dilatih di Dharan dan Paklihawa. Sejak 1978 perekrutan dilakukan di Hongkong. Kontrak pertama biasanya ditandatangani untuk enam tahun. Dalam prakteknya rata-rata serdadu Gurkha menjalani masa dinas 15 tahun. Di Hongkong, para calon Gurkha dikirim ke Depot Latihan Pasukan Lapangan Gurkha (GFF) di New Territories. Di tempat ini mereka dilatih keras dan intensif selama 36 minggu. Keadaan medan di pusat latihan ini sangat berat. Perbukitannya khas dan curam -- menjulang sampai 3.000 kaki dan penuh batu-batuan tajam. Untuk pelajaran di dalam kelas mereka mendapat ilmu berhitung dan bahasa Gurkha Romawi -- bahasa Gurkha yang ditulis dalam aksara latin. Selepas pendidikan, sekitar 60 prajurit remaja ditempatkan dalam batalyon-batalyon Gurkha di Kalimantan dan Inggris. Sisanya, sekitar 180 orang, tinggal di Hongkong bersama GFF. Sedang mereka yang terpilih untuk menjadi calon perwira diwajibkan menempuh pendidikan selama dua tahun di Akademi Militer Sandhurst, Inggris. Perubahan dalam pasukan Gurkha sekarang juga mengenai senapan. Senjata api mereka kini adalah senapan serbu L1A1 SLR buatan Inggris. Tidak lagi senapan tua SMLE 303. Tapi Kukri, parang tradisional itu, masih tetap mereka pakai sebagai senjata pribadi dalam pertempuran berhadapan muka. Mortir Stokes tiga inci, yang biasa digunakan batalyon Gurkha sejak dua Perang Dunia maupun sesudahnya, sudah lama digantikan dengan mortir L1A181 mm. Selama Perang Dunia II, peleton mortir batalyon (biasanya peleton nomor 5) ditunjang enam mortirtiga inci dengan jarak tembak maksimal 1,35 km. Senjata ini sangat terbatas dalam menghadapi pertempuran tertentu, misalnya, pertempuran di Monte Casino. Kini, mortir L1A181 mm yang digunakan pasukan Gurkha mampu menjangkau jarak 5,6 km. Mortir 2 inci, yang biasanya ditempatkan satu untuk setiap peleton senapan, kini ditarik dari peredaran dan hanya digunakan untuk keperluan terbatas. Sebab jarak tembaknya tidak lebih dari 450 meter. Selama Perang Dunia II sebagian besar komandan Gurkha menyandang Sten atau Thompson SMG. Dalam pertempuran jarak pendek senjata ini memang bekerja lebih baik ketimbang senapan panjang SMLE. Sten dan Austen 9 mm menjadi pujaan patroli Gurkha di hutan-hutan Malaya (sekarang: Malaysia) selama keadaan daru rat 1948-1960. Kini senjata standar mereka adalah Sterling SMG L2A3. Tahun 1964, pasukan Gurkha mulai diperlengkapi dengan senapan antitank 84 mm -- lebih dikenal dengan nama RCL Carl Gustaf 84 mm. Senjata ini kini menjadi senjata standar antitank dalam Brigade Gurkha Inggris. Sekarang Gurkha juga tidak lagi mempergunakan granat No. 36 yang dulu merupakan favorit pasukan ini. Senjata itu digantikan oleh granat tangan of ensif L1A1 -- granat standar tentara Inggris. Senapan L1A1 SLR dengan teleskop juga diberikan pada mereka. Para Gurkha memang terkenal sebagai pandu dan penembak jitu. Pasukan Gurkha sudah bertempur hampirdi seantero dunia. Mulai dari Kandahar, Birma, Cina, Tibet. Selama Perang Dunia I tidak kurang dari 20.000 tentara Gurkha mati di dalam melaksanakan tugas. Secara keseluruhan tercatat 44 batalyon Gurkha bertempur untuk Kerajaan Inggris. Setelah Perang Dunia I, unit-unit Gurkha berperang melawan para pemberontak Kurdi, kemudian para pemberontak Irak pada 1920. Dan mereka juga pernah berperang melawan kaum komunis Rusia di kawasan Laut Hitam Armenia. Selama Perang Dunia II Gurkha bertempur di hampir seluruh bagian dunia. Kali ini mereka mencapai Afrika Utara, Singapura, dan Italia. Hampir 250.000 orang Nepal ambil bagian dalam Perang Dunia II. Selama Keadaan Darurat Malaya, 1948-1960, Gurkha secara terus-menerus terlibat pertempuran. Menurut catatan, dalam periode itu mereka menewaskan 2.000 teroris komunis. Tradisi memegang peranan penting di dalam kehidupan Gurkha. Sejumlah anak memasuki resimen ini, meneruskan jejak ayah, bahkan kakek-kakek mereka. Setiap resimen mempunyai tradisi dan simbol sendiri. Perwira Inggris yang tergabung di dalam resimen Gurkha biasanya sangat dekat dengan para anak buah dan terikat dalam loyalitas seumur hidup. Karena itu para perwira ini mendapat bayaran khusus -- lebih tinggi dari gaji seorang perwira sama tapi bertugas dalam kesatuan biasa. Parang kukri sangat penting dalam tradisi resimen Gurkha. Kukri adalah senjata tradisional mereka selama berabad-abad. Selain kukribiasa, ada pula kukri besar -- senjata yang terakhir ini, untuk orang biasa, diperlukan dua tangan buat menghunusnya. Kukri spesial ini digunakan untuk menyembelih lembu dan kambing untuk upacara tertentu di markas resimen. Untuk menghabisi nyawa musuh dengan kukri hanya dibutuhkan tetakan tunggal tepat di batang leher. Sasaran ini memang sulit dibayangkan dalam pertempuran yang meriah. Tapi cerita seorang prajurit dari Divisi Rajawali Merah ke-4, yang bernama Dwansing Basnet, agaknya bisa dijadikan contoh betapa kukri merupakan senjata ampuh yang sangat diandalkan para Gurkha. Ketika Basnet melakukan pengintaian di depan peletonnya, pada suatu malam di Tunisia, ia tiba-tiba mendengar suara dalam bahasa asing. Basnet berpaling, dan mendapatkan dirinya berhadapan dengan seorang serdadu Jerman. "Aku mengenalinya dari topi bajanya," cerita Basnet, setelah peristiwa itu. "Ia sedang merayap di kegelapan. Kuhunus kukri, dan kupancung lehernya sehingga putus." Serdadu Jerman yang lain muncul dari selokan. Basnet juga memenggal kepala Jerman yang malang ini. Dua orang lagi serdadu musuh tampil bersamaan, dan Basnet menghabisi keduanya. Tetapi salah seorang korban itu sempat membuat ribut sebelum menghembuskan napas terakhir. Alarm pun segera berbunyi. Serdadu kelima muncul. Dan kali ini Basnet kurang beruntung. Ia hanya berhasil melukai orang itu, tepat di antara leherdan bahu. Dalam sekejap mata Gurkha yang sendirian itu dikerubuti segerombolan serdadu Jerman. Tangannya luka dan basah oleh darah. Mereka merampas kukrinya. Kini salah seorang Jerman itu menggunakan kukri tadi untuk menghajar si empunya. Kepalanya sompel-sompel. "Tetapi dia kurang pandai," kata Basnet kelak. "Ia lebih banyak memukul kepalaku dengan bagian kukri yang tumpul." Mereka menghajar Basnet sampai terkapar di tanah. Dan prajurit Gurkha yang panjang akal itu berlagak mati. Setelah para serdadu Jerman itu kembali ke parit perlindungannya, Basnet mencoba mengintai keadaan. Tetapi ia tidak bisa melihat apa-apa. Matanya tertutup darah. Perlahan-lahan ia membersihkan darah itu. Dan kini ia bisa melihat sebuah senapan mesin Jerman di dekatnya. Ia ingin sekali merampas senapan mesin itu. Tapi hari mulai terang, dan pasukannya mulai melemparkan granat ke garis musuh. Beberapa granat meledak di dekat Basnet. Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga, Basnet kemudian bangkit dan berlari menuju induk pasukannya. Ia nyaris binasa. Sebab beberapa temannya mengira ia serdadu musuh. Mereka hampir menembaknya. Ia segera memekik. Pasukan itu mengenal suaranya, dan membiarkan ia masuk. Dalam keadaan luka parah dan habis dihajar, kehilangan kukri pula, Basnet meminta teman-temannya menghunuskan pistolnya, dan menggenggamkan senjata itu ke tangannya. Ia sendiri sudah tidak sanggup menghunus pistol itu. Tetapi ia masih bernafsu memimpin peletonnya ke sarang musuh. Komandan kompinya memerintahkan Basnet melapor ke pos kesehatan resimen. Tetapi ia mencoba membantah. "Sahib," katanya, "kita sedang bertempur, dan saya tahu persis posisi musuh. Saya harus tetap di sini dan memimpin peleton saya" Tetapi perintah komandan kompi itu tak bisa ditawar. Sesaat sebelum Basnet mundur, salah seorang penembak bren peletonnya tamat digasak peluru musuh. Sang komandan kompi sendiri terluka pada leher, tetapi ia menggantikan penembak bren tadi. Dan ia mulai memuntahkan pelurunya bagai dirasuk setan. Basnet sendiri tetap di garis belakang. Dokter resimen membasuh luka-luka Basnet dan mengobatinya, dan tidak mengizinkan prajurit itu kembali ke medan pertempuran. Untuk kegagah-beraniannya, Jemadar Dwansing Basnet, yang mendapat selusin bacokan dalam peristiwa ini, dianugerahi bintang Indian Orderof Merit. Bintang ini hanya setingkat di bawah Salib Victoria. Di Inggris, kini, batalyon Gurkha dikoordinasikan dengan Resimen ke-22 Special Air Service (22 SAS) yang kesohor itu. Kesatuan gabungan ini dioperasikan di bawah pengawasan Pasukan Komando Sekutu Eropa (ACE) -- organ Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Markas besar pasukan gabungan ini di Seckenheim, Jerman Barat. Pasukan 22 SAS terkenal beranggotakan para prajurit profesional yang sangat tangguh dari Angkatan Darat Inggris. Mereka merupakan pasangan yang sangat sesuai bagi para serdadu Gurkha. Di Kesultanan Brunei, menurut John S. Arvidson, kesatuan Gurkha ditempatkan di sejumlah pos dalam ukuran kompi. Markas besar mereka terdapat di Kota Brunei. Gurkha berada di Brunei sejak 1962. Menurut Kifaru, yang juga menurunkan tulisan Gurkha dalam majalah SOF terbitan sama, sebuah "revolusi" meletus di Brunei pada Desember 1962. Revolusi itu dilaporkan digerakkan agen-agen komunis dengan "dukungan Pemerintahan Soekarno." Tujuannya: menangkap Sultan, menduduki semua pos polisi, dan menguasai semua ladang minyak. Kendati sempat menguasai beberapa pos polisi, "revolusi" itu urung berhasil. Gerakan mereka sempat tercium sebelumnya, dan pasukan-pasukan keamanan pemerintah segera memberikan perlawanan tangguh. Untuk mengamankan Brunei dari perusuh, Inggris mengirimkan pasukan untuk membantu. Pasukan ini diambilkan dari Divisi Gurkha ke-17, yang sebelumnya bermarkas di Malaya. Konon keadaan "sangat mengkhawatirkan" tatkala rombongan pertama Divisi ke-17 ini tiba di Brunei. Para perusuh telah berhasil menguasai sebuah lapangan terbang dan beberapa pos polisi. Mereka juga memblokade beberapa daerah. "Tetapi peta situasi segera berubah dengan masuknya pasukan Inggris," tulis Kifaru. Para Prajurit Gurkha yang beringas itu langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Mereka segera menguasai keadaan. Pasukan Inggris kemudian berbalik mengambil alih inisiatif memburu para pemberontak. Dan pada akhir 1962, Brunei dinyatakan dalam keadaan aman. Dari Brunai api konfrontasi menjala ke daerah yang kini dikenal sebagai Malaysia Timur. Daerah "perang yang tidak diumumkan" ini konon meliputi Serawak (47.000 mil persegi) dan Sabah (29.000 mil persegi). Garis perbatasan wilayah ini dengan Kalimantan-Indonesia terbentang sepanjang 1.500 mil. Medan di sini memiliki beberapa bagian dari tipe yang paling kejam di dunia. Tidak ada jalan raya dan jaringan kereta api. Perjalanan dilakukan lewat sungai dan beberapa jalan setapak. Daerah ini dihuni oleh orang Melayu, suku Dayak, dan perantau Cina. "Gerilyawan yang dilatih Pemerintahan Soekarno sebagian besar orang Cina dari Serawak," kata Kifaru. Perang di kawasan ini bermula 12 April pagi di tahun 1963. Pada pagi itu, segerombolan gerilyawan menyerang pos polisi di Tebedu -- beberapa mil dari perbatasan Malaysia Timur. Serangan ini meminta korban beberapa jiwa. Setelah itu para gerilyawan menyusup kembali kewilayah Indonesia. "Konfrontasi" sudah mulai dan segera terdengardi seluruh Serawak. Komando Marinir Inggris segera diturunkan dari Singapura. Juga pasukan lain, "termasuk pasukan saya yang di lepas dari Inggris," kata Kifaru -- pensiunan perwira Inggris itu. "Operasi Borneo" kemudian ternyata mendapat tempat khusus dalam kenangan para serdadu asing itu. Ada kondisi khusus yang membuat operasi ini unik di mata mereka. Pertama, hampir seluruh operasi dilakukan dengan berjalan kaki karena langkanya prasarana lalu lintas. Helikopter hanya mampu mengangkut pasukan dalam jumlah yang sangat kecil. Suplai bahan makanan dilakukan lewat udara. Tapi operasi ini konon membuat tentara Inggris dan Persemakmuran tumbuh kuat dan tangguh, setelah melatih diri dalam hutan yang sesungguhnya. Keanehan kedua, meski kedua belah pihak memiliki angkatan udara, pengeboman tidak pernah terjadi. Tampaknya kedua belah pihak khawatir kalau pengeboman akan membinasakan kampung-kampung Dayak, sehingga simpati suku itu tidak bisadiharapkan. "Mungkin juga karena pengeboman sedang tidak populer lantaran akibat yang ditimbulkannya dalam Perang Vietnam ketika itu," kata Kifaru. Perang yang tidak diumumkan itu kemudian meningkat bertambah luas dan kejam. Kifaru berterus terang dalam tulisannya. "Para prajurit Indonesia itu jempolan, terutama kesatuan elite para komando yang bernama RPKAD," katanya. "Komandan pasukan saya di Borneo ketika itu adalah Jenderal Walter Walker," kata Kifaru. Dia ini seorang prajurit pejuang yang tangguh sekali. Beberapa tahun lalu, ketika pemerintah Partai Buruh Inggris menyesali serangan yang dilakukan Pasukan Keamanan Rhodesia Selatan terhadap Mozambik dan Zambia, Walker angkat bicara. "Jangan munafik," katanya. "Itulah dulu yang dilakukan Inggris dalam Operasi Borneo." "Pada penghujung 1965," tulis Kifaru, "tiba-tiba perbatasan Kalimantan Utara sunyi senyap." Konfrontasi seperti macet. Mereka tidak tahu kalau Indonesia sedang ramai -- PKI melancarkan kudeta. Pada 11 Agustus 1966, Indonesia dan Malaysia resmi berbaikan. Semua batalyon Gurkha pernah bertugas di Brunei. Mereka kemudian berhadapan dengan gerilyawan komunis yang dikejar-kejar tentara Indonesia di sekitar perbatasan Kalimantan. Tetapi tugas terakhir ini tidak terlalu memakan waktu dan tenaga. Dalam Perang Malvinas pasukan Gurkha juga ambil bagian. Konon mereka kecewa. Sebab tidak sempat unjuk kebolehan. Mereka tiba di Malvinas dua hari sebelum perang usai. Pasukan ini cuma sempat menembakkan beberapa peluru, dan menahan tiga orang musuh. Pasukan ini, yang tidak jadi sampai ke ibu kota, Stanley, dipimpin Letkol David Morgan. Namun kehadiran mereka yang singkat itu cukup menggegerkan. Sastrawan Columbia Gabrial Garcia Marquez, pemenang Hadiah Nobel 1982, menyebut serdadu Gurkha "para pemancung legendaris dan bengis dari Nepal." Sebuah artikel yang ditulisnya tentang kebengisan serdadu Gurkha segera tersebar di seluruh kawasan dunia yang berbahasa Spanyol. Dalam artikel itu Marquez mengutip seorang saksi yang pernah menyaksikan serdadu Gurkha memenggal tentara Argentina. "Mereka memancung dengan kelewangnya, kemudan mereka jinjing kepala yang terpenggal itu pada rambutnya, dan mereka ricih telinganya sampai putus." Kini tiga batallyon Gurkha bermarkas di Hongkong. Masing-masing dikenal dengan nama kesatuan «GR, 6 GR, dan 10 GR. Mereka membentuk Kesatuan Lapangan Gurkha (GFF), bersama satu batalyon infantri Inggris, unit-unit helikopter, teknik sinyal, dan transpor. Pasukan penunjang GFF di Hongkong adalah Skuadron 28 Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF). Kekuatannya terdiri dari 8 helikopter Weesex Mark II yang ditempatkan di lapangan Sek Kong. Juga ada bantuan dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris berupa fregat HMS Tamar, serta 5 kapal patroli dan penyapu ranjau yang senantiasa siap di pelabuhan Hongkong. Ketiga batalyon Gurkha itu masing-masing ditempatkan di New Territories, di perbatasan dengan Cina, dan di Semenanjung Kowloon. Batalyon Inggris ditempatkan di Pulau Hongkong. Ada kerja sama GFF dengan Polisi Hongkong (HKP). Di Fan Ling, New Territories, terdapat markas besar HKP/GFF yang ditunggu selama 24 jam. Demikian pula di Pulau Hongkong. Ada rencana untuk menarik mereka, Maret lalu. Namun batal. Tampaknya kehadiran mereka masih dipertahankan. Tugas pasukan Gurkha adalah setiap hari berpatroli sepanjang Sungai Sumchun yang memisahkan koloni Hongkong dengan daratan Cina. Di sana ada pagar kawat berduri untuk menghalangi penduduk RRC menyeberang secara gelap ke Hongkong. Banyak serdadu Gurkha yang berbahasa Inggris. Tetapi dengan para perwiranya mereka berbicara Gurkhali. Karena rata-rata pernah bertugas di Kalimantan dan Malaya, mereka sedikit-sedikit juga bisa berbicara Melayu. Tapi anehnya, hampir tidak ada eks Gurkha yang tinggal di Inggris setelah menjalani pensiun. Begitu masa dinasnya selesai mereka dipulangkan ke Nepal. Kisah Kopral Rabin Rai bisa dijadikan contoh. "Kopral ini datang dari sebuah desa di bagian timur Nepal," kata Peter Osnos melaporkan dalam International Herald Tribune. Ia bergabung sembilan tahun lalu. "Karena menjadi Gurkha sudah tradisi keluarga kami," katanya. Istrinya tetap tinggal di kampung, di pegunungan. Ia sendiri mendapat cuti dan tinggal di kampung selama enam bulan setiap tiga tahun sekali. Kontraknya 15 tahun. "Gurkha adalah orang berani," katanya. "Mereka pintar bertempur. Dan mereka taat melaksanakan perintah." Rahasia dan "filosofi" loyalitas Gurkha konon terletak pada konsep kaida -- semacam sistem perintah yang tidak bisa ditawar-tawar. Letkol Morgan, komandan pasukan Gurkha dalam Perang Malvinas, sudah 23 tahun bergabung dengan kesatuan Gurkha. Hanya sekali ia menemukan calon prajurit Gurkha yang minta pulang. Problem disiplin hampir tidak ada dalam kesatuan ini. Morgan membandingkan prajurit Gurkha dengan anjing bull terrier Staffordshire -- anjing pekelahi dari Inggris yang paling bengis. "Mereka kecil, berotot, dan tidak gampang marah. Tetapi sekali marah, mereka tidak kenal ampun," kata Morgan. Pasukan Gurkha memang punya semboyan sendiri, sejak berabad-abad. Semboyan itu berbunyi: Kaphar hunnu bhanda marnu ramro (Lebih baik mati ketimbang jadi pengecut).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus