Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berburu gerhana tempo doeloe

Peristiwa gerhana matahari tahun 1901. ratusan turis dan ahli astronomi asing mengunjungi indonesia untuk meliput peristiwa tersebut. (sel)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GERHANA matahari, yang akan melintasi sebagian wilayah Indonesia (Jawa, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya) selama lima menit pada 11 Juni, bukan peristiwa pertama bagi kita. Tanggal 18 mei 1901, tanah air kita, waktu itu masih bernama Hindia Belanda, juga dibikin gelap oleh ulah bulan yang menutupi matahari. Bahkan gerhana yang terjadi pada tanggal itu terhitung istimewa -- berlangsung selama enam menit. Untuk menyaksikan gerhana matahari total istimewa 1901 itu tercatat ratusan turis dan ahli astronomi asing mengunjungi Indonesia. Mengapa mereka memilih Indonesia padahal garis gerhana memanjang dari Madagaskar sampai ke Nugini? Nah, di sini kita boleh berbangga. Karena dari sekian wilayah bumi yang akan mengalami gerhana itu, Indonesia (tepatnya Sumatera Barat dan Timur) dipilih karena kedua tempat itu "paling mudah didatangi dan kebersihannya terjamin" tulis Dr. James Gould dalam bukunya Americans in Sumatra. Dalam menyambut peristiwa alam ini pemerintah setempat, waktu itu, membentuk Komite Gerhana. Tugasnya antara lain, menyiapkan ramalan cuaca yang sangat menentukan bagi berhasil atau tidaknya ekspedisi yang dikirim oleh banyak lembaga ilmiah dari beberapa negara itu. Selain itu pemerintah setempat juga memberikan pelayanan lain seperti menyediakan tenaga untuk membangun pos-pos pengamatan darurat (tenaganya diambilkan dari para narapidana), dan Jawatan Kereta Api memberikan karcis cuma-cuma untuk rombongan ekspedisi. Ada 11 ekspedisi yang datang ke Sumatera -- lima di antaranya dari Amerika Serikat. Rombongan dari Belanda memilih Painan sebagai tempat untuk mendirikan pos pengamatan mereka. Tim Inggris di Pulau Aor Gadang di lepas pantai Painan. Para pengamat dari Prancis dan Rusia memilih Padang. Ahli-ahli perbintangan Jepang memilih pantai dekat Padang. Beberapa pendeta Jesuit dari Calcutta dan Manila menentukan Padang sebagai pos mereka. Sedang rombongan dari Amerika bertebaran di berbagai tempat. Rombongan Universitas Amherst (Massachusetts) memasang peralatan mereka di Pulau Singkep, Lingga, dan Laya. Rombongan dari Observatorium Lick, Universitas California, memilih Padang. Para sarjana dari Institut Teknologi Massachusetts lebih suka mengamati gerhana di Kota Sawahlunto. Kemudian rombongan dari Lembaga Smithsonian dan Observatorium Angkatan Laut menempatkan pengamat dan peralatan mereka di Solok, Sawahlunto, dan Bukittinggi. Melakukan perjalanan jauh waktu itu tidaklah mudah. Karena belum ada pesawat terbang. Sehingga satu-satunya alat transpor yang dapat dipergunakan adalah kapal laut. Dan jangan tanya perjalanan demikian dari pantai timur Amerika ke Padang, misalnya, dapat memakan waktu dua bulan. Pengiriman rombongan untuk menyaksikan gerhana, masa itu, pun sebenarnya merupakan pertaruhan -- kemungkinan suksesnya fifty-fifty. Hal itu karena semuanya ditentukan oleh cuaca. Kalau pada waktu gerhana awan tebal menutupi surya, kandaslah missi. Sebab peralatan untuk meramalkan keadaan cuaca waktu itu tidaklah selengkap sekarang. Dari sekian banyak ekspedisi dari AS, rombongan dari Observatorium Angkatan Laut di Washington merupakan tim terbesar. Ada 11 ahli dalam rombongan ini, termasuk dari Observatorium Yerkes, Universitas Chicago, Universitas Columbia, dan Universitas Virginia. Keberangkatan mereka dilakukan dengan keputusan Kongres yang menyediakan biaya sebesar US$10.000 -- kalau diukur dengan nilai uang sekarang sekitar 100 kali lipat. Tim ekspedisi AS bertolak dari San Francisco dengan kapal penumpang pemerintah menuju Manila. Dari Manila ke Padang mereka diangkut dengan kapal meriam Amerika "General Alava", yang dikomandani oleh Letnan William Halsey, yang kelak menjadi Laksamana Halsey yang beken dalam berbagai pertempuran Pasifikdalam Perang Dunia II. Peralatan yang dibawa rombongan astronomi Observatorium Angkatan Laut Amerika ini sampai 15 ton beratnya. Ketua rombongan dari observatorium ini Prof. Aaron Skinner. Ia dibantu oleh empat sarjana astronomi dan tiga sarjana lain menempati pos di Solok dan melengkapi diri dengan empat teleskop dan empat spectrograf. Untuk berjaga-jaga kalau-kalau cuaca di Solok tidak baik waktu gerhana, sebagian anggota rombongan observatorium ditempatkan di Sawahlunto dan dilengkapi dengan sebuah kamera 104 inci . Sisanya ditempatkan di Bukittinggi (waktu itu bernama Fort de Kock), meskipun menurut ramalan cuaca, pada waktu gerhana kota itu akan diliputi awan tebal -- secara teori tempat ini kurang ideal untuk dijadikan pos. Tim ekspedisi dari Universitas Amherst, yang terdiri dari Prof. David Todd, istrinya, anak perempuannya, seorang mahasiswi tingkat dua dari UniversitasVassar (New York), dan pecinta alam Arthur Curtiss James, memilih pos di Pulau Singkep berlainan dengan ekspedisi lain yang umumnya bergerombol di pantai barat Sumatera. Di pulau itu mereka mendapat pelayanan, yang nampaknya memuaskan, dari direktur Perusahaan Timah Singkep, bahkan Sultan Lingga pun ikut mengulurkan tangan. Mereka membawa berbagai peralatan, terutama alat potret, yang disebar di enam pos yang mereka dirikan: tiga di Pulau Singkep, dan masing-masing satu di Pulau Laya, Pulau Lalang, dan Pulau Lingga. Prof. Todd juga membuat eksperimen untuk mengadakan pos pengamatan di tengah laut, mengingat laut di timur Singkep boleh dikatakan sangat tenang. Ia menggunakan enam drum minyak untuk mengapungkan papan yang akan digunakan untuk platform pengamatan. Tetapi sayang, laut yang disangka tenang itu, pada malam harinya berombak besar, sehingga platform itu tidak dapat digunakan. Padahal dari tengah laut akan dapat diambil gambar-gambar gerhana yang lebih memuaskan. Rombongan dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) terdiri dari empat orang, dikepalai oleh Dr. Alfred Burton. Anggota-anggotanya adalah Dr. George Hosmer, dosen Departemen Teknik Sipil, Dr. Harrison Smith, dosen Departemen Fisika, dan Dr. Gerard Matthes, asisten ahli hidrografi pada Jawatan Survei Geologi pemerintah AS. Peralatan yang dibawa oleh rombongan ini, empat ton beratnya, terdiri dari teleskop khatulistiwa 5 inci, sebuah chronograf, tiga chronometer, tiga kamera besar, sebuah kamera 40 inci, dan enam kamera lagi untuk merekam lingkaran bayangan gerhana. Selain itu rombongan dititipi pendulum untuk dipasang di Singapura dan di Sumatera untuk mengukur pengaruh gerhana terhadap gaya tarik bumi. Yang terakhir ini hasilnya tidak akan terpengaruh oleh buruk-baiknya cuaca pada waktu gerhana. "Kalau cuaca buruk, paling tidak kami dapat membawa pulang hasil catatan dari pendulum itu," kata Burton. Berlainan dengan rombongan lain, tim ekspedisi MIT ini datang ke Sumatera lewat jalan barat -- melalui Terusan Suez. Jalan ini dianggap tidak saja paling aman untuk pengangkutan alat-alat peka, tetapi juga yang paling murah. Karena perusahaan kapal Belanda, KPM, memberi korting lumayan untuk rombongan gerhana, dan alat-alat diangkut tanpa dipungut biaya. Di kapal Koningin Regentes yang mereka tumpangi itu mereka bertemu juga dengan anggota-anggota ekspedisi gerhana dari Belanda dan Inggris. Sesampai di Padang mereka dijemput oleh Konsul Amerika, C.G. Veth. Hari-hari berikutnya mereka melakukan kunjungan resmi pada gubernur Sumatera dan pejabat-pejabat Belanda lainnya. Pejabat-pejabat setempat rupanya sudah disiapkan untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada rombongan gerhana ini. Mereka memilih pos di Sawahlunto. Tim ini dibantu oleh tenaga-tenaga narapidana untuk membuat jalan meratakan tempat yang akan digunakan mendirikan pos darurat dan lainnya. Juga kerbau-kerbau dikerahkan untuk mengangkut bambu dan bata yang diperlukan. Beberapa alat yang dibawa rombongan diletakkan dalam sebuah gubuk bambu beratap ilalang -- yang khusus dibuat untuk itu. Kepandaian orang pribumi membuat bangunan tanpa menggunakan paku itu cukup mencengangkan rombongan ekspedisi. Selain melakukan kegiatan yang berhubungan dengan peristiwa gerhana, rombongan MIT juga memanfaatkan waktu mereka di Sumatera (yang waktu itu belum terlalu sering di jamah orang Amerika), untuk mengumpulkan pakaian daerah, alat-alat rumah tangga, dan senjata, buat koleksi Museum Peabody di Kota Salem, Massachusetts. Rombongan Lembaga Smithsonian melaporkan keadaan pada hari gerhana sebagai berikut: "Hasil observasi meteorologi selama beberapa tahun terhadap kawasan Solok menunjukkan bahwa pada hari gerhana daerah itu kemungkinan besar akan cukup cerah. Keadaan menjelang hari gerhana mendukung perkiraan itu. Semuanya siap sehari sebelum gerhana tiba. Berbagai latihan menggunakan alat-alat yang dibawa, baik alat fotografi maupun alat seperti bolometri berkali-kali sudah dilakukan, karenanya kami yakin benar ekspedisi kami akan sukses besar," kata Dr. Abbot dari Smithsonian. Kemudian, sehari sebelum hari gerhana tiba, ternyata hujan turun. Untunglah pada pagi hari esoknya tanggal 18 Mei 1901, udara cerah. Tetapi semakin dekat pada saat gerhana, semakin banyak pula awan di langit. Dan ketika gerhana total tiba, awan tebal menutupi matahari. "Begitu tebal," tulis Dr. Abbot, "sehingga kami hampir tidak dapat membedakan corona dengan yang lain-laln." Ia selanjutnya menulis: "Dalam bagian kedua gerhana total itu, posisi yang tepat dari matahari tidak dapat diketahui dengan pasti. Saya menyadari melakukan observasi dalam keadaan demikian tidak ada gunanya, karenanya saya santai-santai saja di dalam pos yang menyimpan alat pengamat planet antar-mercury tanpa berusaha menjalankan alat bolometri." Kendati demikian, pada bagian pertama gerhana total, mereka dapat menyaksikan corona -- meskipun tidak dalam keadaan yang sangat jelas. Planet Mercurius dan Venus dapat pula terlihat. Yang menjengkelkan mereka adalah setelah gerhana total berlalu, langit dari sedikit demi sedikit menjadi cerah, dan pada sore hari bahkan paling cerah dibanding minggu-minggu sebelumnya. Yang dialami oleh rombongan ekspedisi MIT di Sawahlunto agak lebih baik. Pada persinggungan pertama antara bulan dan matahari cuaca sangat bersih. Tetapi segera setelah itu awan tipis mulai berlenggang-lenggang menyeberangi permukaan. "Tapi tidak pernah mengaburkan matahari," lapor Alfred Burton. Sepanjang gerhana total corona dapat terlihat dengan mata telanjang. Mereka dapat mengambil gambar corona dengan baik. Menurut catatan rombongan MIT, gerhana terjadi pada jam-jam berikut: Kontak pertama, pukul 10.48'.079". Kontak kedua, pukul 12.22'058". Kontak ketiga, pukul 12.27'53,7". Dan kontak keempat, pukul 14.00'06,4". Untung rombongan Universitas Amherst menyebar anggota tim mereka. Keadaan di pantai timur Sumatera ternyata tidak semuanya menguntungkan. Meskipun sebelumnya udara cerah, pada waktu gerhana tiba, matahari tertutup awan. Kecuali di Pulau Lingga. Di sanalah Baron Van Boetzelaer, asisten residen setempat dapat menjepret 30 gambar -- 11 di antaranya, meski terlalu kecil, dinilai sangat baik. Dari hasil tim Universitas Amherst tampak corona dengan jelas. Tetapi pada potret-potret yang diambil itu, tidak tampak adanya pengaruh sinar X pada cahaya corona. Ini memang menjadi salah satu tujuan ekspedisi mereka, yaitu pengukuran pengaruh sinar X terhadap cahaya corona. Rombongan ekspedisi Universitas Amherst waktu itu juga sempat mengadakan hubungan telegraph dengan pengamat di Pulau Mauritius -- di mana gerhana terjadi satu setengah jam lebih awal. Hubungan ini diatur oleh Kantor Telegraph Singapura. Hubungan telepon kala itu belum semaju sekarang. Yang paling beruntung adalah rombongan Observatorium Al Amerika yang ditempatkan di Bukittinggi. Tidak banyak orang memilih tempat itu. Karena menurut hasil observasi meteorologi pada waktu gerhana kota itu akan tertutup awan. Tetapi kenyataannya berlainan di sana: cuaca cerah, dan terang benderang. Jadi tidak mengherankan kalau mereka dapat mengambil gambar yang bagus-bagus. Kegagalan yang diakibatkan oleh keadaan cuaca pernah membuat suatu negara menghentikan ekspedisi lanjutan. Itu pernah terjadi dengan tim ekspedisi gerhana Jerman. Di kalangan negara-negara Eropa, waktu itu, mengirim ekspedisi gerhana dilakukan seperti berlomba. Tapi Jerman sudah lama tidak mengirim rombongan ekspedisi, pada waktu gerhana 1901 pun tidak.. Mengapa? Yang bikin gara-gara adalah tim ekspedisi Jerman tahun 1870-an. Ceritanya: sewaktu rombongan ekspedisi pulang, lalu menghadap Kanselir Jerman Bismark, yang galak itu, untuk minta bantuan keuangan guna menutup kekurangan pembiayaan ekspedisi, mereka langsung diberondong pertanyaan. "Mana hasilnya?" tanya sang kanselir. Rombongan ekspedisi itu sambil gemetaran menjawab: "Langit waktu itu mendung. Jadi gagal." Sang Kanselir pun menyemprot: "Kalau begitu tanggung sendiri biayanya! " Dan sejak itu, untuk waktu lama, nasib rombongan ekspedisi gerhana Jerman tidak pernah kedengaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus