GERHANA matahari, yang akan melintasi sebagian wilayah Indonesia
(Jawa, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya) selama lima menit pada
11 Juni, bukan peristiwa pertama bagi kita. Tanggal 18 mei 1901,
tanah air kita, waktu itu masih bernama Hindia Belanda, juga
dibikin gelap oleh ulah bulan yang menutupi matahari. Bahkan
gerhana yang terjadi pada tanggal itu terhitung istimewa --
berlangsung selama enam menit.
Untuk menyaksikan gerhana matahari total istimewa 1901 itu
tercatat ratusan turis dan ahli astronomi asing mengunjungi
Indonesia. Mengapa mereka memilih Indonesia padahal garis
gerhana memanjang dari Madagaskar sampai ke Nugini? Nah, di sini
kita boleh berbangga. Karena dari sekian wilayah bumi yang akan
mengalami gerhana itu, Indonesia (tepatnya Sumatera Barat dan
Timur) dipilih karena kedua tempat itu "paling mudah didatangi
dan kebersihannya terjamin" tulis Dr. James Gould dalam bukunya
Americans in Sumatra.
Dalam menyambut peristiwa alam ini pemerintah setempat, waktu
itu, membentuk Komite Gerhana. Tugasnya antara lain, menyiapkan
ramalan cuaca yang sangat menentukan bagi berhasil atau tidaknya
ekspedisi yang dikirim oleh banyak lembaga ilmiah dari beberapa
negara itu. Selain itu pemerintah setempat juga memberikan
pelayanan lain seperti menyediakan tenaga untuk membangun
pos-pos pengamatan darurat (tenaganya diambilkan dari para
narapidana), dan Jawatan Kereta Api memberikan karcis cuma-cuma
untuk rombongan ekspedisi.
Ada 11 ekspedisi yang datang ke Sumatera -- lima di antaranya
dari Amerika Serikat. Rombongan dari Belanda memilih Painan
sebagai tempat untuk mendirikan pos pengamatan mereka. Tim
Inggris di Pulau Aor Gadang di lepas pantai Painan. Para
pengamat dari Prancis dan Rusia memilih Padang. Ahli-ahli
perbintangan Jepang memilih pantai dekat Padang. Beberapa
pendeta Jesuit dari Calcutta dan Manila menentukan Padang
sebagai pos mereka. Sedang rombongan dari Amerika bertebaran di
berbagai tempat.
Rombongan Universitas Amherst (Massachusetts) memasang peralatan
mereka di Pulau Singkep, Lingga, dan Laya. Rombongan dari
Observatorium Lick, Universitas California, memilih Padang. Para
sarjana dari Institut Teknologi Massachusetts lebih suka
mengamati gerhana di Kota Sawahlunto. Kemudian rombongan dari
Lembaga Smithsonian dan Observatorium Angkatan Laut menempatkan
pengamat dan peralatan mereka di Solok, Sawahlunto, dan
Bukittinggi.
Melakukan perjalanan jauh waktu itu tidaklah mudah. Karena belum
ada pesawat terbang. Sehingga satu-satunya alat transpor yang
dapat dipergunakan adalah kapal laut. Dan jangan tanya
perjalanan demikian dari pantai timur Amerika ke Padang,
misalnya, dapat memakan waktu dua bulan.
Pengiriman rombongan untuk menyaksikan gerhana, masa itu, pun
sebenarnya merupakan pertaruhan -- kemungkinan suksesnya
fifty-fifty. Hal itu karena semuanya ditentukan oleh cuaca.
Kalau pada waktu gerhana awan tebal menutupi surya, kandaslah
missi. Sebab peralatan untuk meramalkan keadaan cuaca waktu itu
tidaklah selengkap sekarang.
Dari sekian banyak ekspedisi dari AS, rombongan dari
Observatorium Angkatan Laut di Washington merupakan tim
terbesar. Ada 11 ahli dalam rombongan ini, termasuk dari
Observatorium Yerkes, Universitas Chicago, Universitas Columbia,
dan Universitas Virginia. Keberangkatan mereka dilakukan dengan
keputusan Kongres yang menyediakan biaya sebesar US$10.000 --
kalau diukur dengan nilai uang sekarang sekitar 100 kali lipat.
Tim ekspedisi AS bertolak dari San Francisco dengan kapal
penumpang pemerintah menuju Manila. Dari Manila ke Padang mereka
diangkut dengan kapal meriam Amerika "General Alava", yang
dikomandani oleh Letnan William Halsey, yang kelak menjadi
Laksamana Halsey yang beken dalam berbagai pertempuran
Pasifikdalam Perang Dunia II.
Peralatan yang dibawa rombongan astronomi Observatorium Angkatan
Laut Amerika ini sampai 15 ton beratnya. Ketua rombongan dari
observatorium ini Prof. Aaron Skinner. Ia dibantu oleh empat
sarjana astronomi dan tiga sarjana lain menempati pos di Solok
dan melengkapi diri dengan empat teleskop dan empat spectrograf.
Untuk berjaga-jaga kalau-kalau cuaca di Solok tidak baik waktu
gerhana, sebagian anggota rombongan observatorium ditempatkan di
Sawahlunto dan dilengkapi dengan sebuah kamera 104 inci .
Sisanya ditempatkan di Bukittinggi (waktu itu bernama Fort de
Kock), meskipun menurut ramalan cuaca, pada waktu gerhana kota
itu akan diliputi awan tebal -- secara teori tempat ini kurang
ideal untuk dijadikan pos.
Tim ekspedisi dari Universitas Amherst, yang terdiri dari Prof.
David Todd, istrinya, anak perempuannya, seorang mahasiswi
tingkat dua dari UniversitasVassar (New York), dan pecinta alam
Arthur Curtiss James, memilih pos di Pulau Singkep berlainan
dengan ekspedisi lain yang umumnya bergerombol di pantai barat
Sumatera. Di pulau itu mereka mendapat pelayanan, yang nampaknya
memuaskan, dari direktur Perusahaan Timah Singkep, bahkan Sultan
Lingga pun ikut mengulurkan tangan. Mereka membawa berbagai
peralatan, terutama alat potret, yang disebar di enam pos yang
mereka dirikan: tiga di Pulau Singkep, dan masing-masing satu di
Pulau Laya, Pulau Lalang, dan Pulau Lingga.
Prof. Todd juga membuat eksperimen untuk mengadakan pos
pengamatan di tengah laut, mengingat laut di timur Singkep boleh
dikatakan sangat tenang. Ia menggunakan enam drum minyak untuk
mengapungkan papan yang akan digunakan untuk platform
pengamatan. Tetapi sayang, laut yang disangka tenang itu, pada
malam harinya berombak besar, sehingga platform itu tidak dapat
digunakan. Padahal dari tengah laut akan dapat diambil
gambar-gambar gerhana yang lebih memuaskan.
Rombongan dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) terdiri
dari empat orang, dikepalai oleh Dr. Alfred Burton.
Anggota-anggotanya adalah Dr. George Hosmer, dosen Departemen
Teknik Sipil, Dr. Harrison Smith, dosen Departemen Fisika, dan
Dr. Gerard Matthes, asisten ahli hidrografi pada Jawatan Survei
Geologi pemerintah AS.
Peralatan yang dibawa oleh rombongan ini, empat ton beratnya,
terdiri dari teleskop khatulistiwa 5 inci, sebuah chronograf,
tiga chronometer, tiga kamera besar, sebuah kamera 40 inci, dan
enam kamera lagi untuk merekam lingkaran bayangan gerhana.
Selain itu rombongan dititipi pendulum untuk dipasang di
Singapura dan di Sumatera untuk mengukur pengaruh gerhana
terhadap gaya tarik bumi. Yang terakhir ini hasilnya tidak akan
terpengaruh oleh buruk-baiknya cuaca pada waktu gerhana. "Kalau
cuaca buruk, paling tidak kami dapat membawa pulang hasil
catatan dari pendulum itu," kata Burton.
Berlainan dengan rombongan lain, tim ekspedisi MIT ini datang ke
Sumatera lewat jalan barat -- melalui Terusan Suez. Jalan ini
dianggap tidak saja paling aman untuk pengangkutan alat-alat
peka, tetapi juga yang paling murah. Karena perusahaan kapal
Belanda, KPM, memberi korting lumayan untuk rombongan gerhana,
dan alat-alat diangkut tanpa dipungut biaya. Di kapal Koningin
Regentes yang mereka tumpangi itu mereka bertemu juga dengan
anggota-anggota ekspedisi gerhana dari Belanda dan Inggris.
Sesampai di Padang mereka dijemput oleh Konsul Amerika, C.G.
Veth. Hari-hari berikutnya mereka melakukan kunjungan resmi pada
gubernur Sumatera dan pejabat-pejabat Belanda lainnya.
Pejabat-pejabat setempat rupanya sudah disiapkan untuk
memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada rombongan gerhana
ini.
Mereka memilih pos di Sawahlunto. Tim ini dibantu oleh
tenaga-tenaga narapidana untuk membuat jalan meratakan tempat
yang akan digunakan mendirikan pos darurat dan lainnya. Juga
kerbau-kerbau dikerahkan untuk mengangkut bambu dan bata yang
diperlukan.
Beberapa alat yang dibawa rombongan diletakkan dalam sebuah
gubuk bambu beratap ilalang -- yang khusus dibuat untuk itu.
Kepandaian orang pribumi membuat bangunan tanpa menggunakan paku
itu cukup mencengangkan rombongan ekspedisi.
Selain melakukan kegiatan yang berhubungan dengan peristiwa
gerhana, rombongan MIT juga memanfaatkan waktu mereka di
Sumatera (yang waktu itu belum terlalu sering di jamah orang
Amerika), untuk mengumpulkan pakaian daerah, alat-alat rumah
tangga, dan senjata, buat koleksi Museum Peabody di Kota Salem,
Massachusetts.
Rombongan Lembaga Smithsonian melaporkan keadaan pada hari
gerhana sebagai berikut:
"Hasil observasi meteorologi selama beberapa tahun terhadap
kawasan Solok menunjukkan bahwa pada hari gerhana daerah itu
kemungkinan besar akan cukup cerah. Keadaan menjelang hari
gerhana mendukung perkiraan itu. Semuanya siap sehari sebelum
gerhana tiba. Berbagai latihan menggunakan alat-alat yang
dibawa, baik alat fotografi maupun alat seperti bolometri
berkali-kali sudah dilakukan, karenanya kami yakin benar
ekspedisi kami akan sukses besar," kata Dr. Abbot dari
Smithsonian.
Kemudian, sehari sebelum hari gerhana tiba, ternyata hujan
turun. Untunglah pada pagi hari esoknya tanggal 18 Mei 1901,
udara cerah. Tetapi semakin dekat pada saat gerhana, semakin
banyak pula awan di langit. Dan ketika gerhana total tiba, awan
tebal menutupi matahari. "Begitu tebal," tulis Dr. Abbot,
"sehingga kami hampir tidak dapat membedakan corona dengan yang
lain-laln."
Ia selanjutnya menulis: "Dalam bagian kedua gerhana total itu,
posisi yang tepat dari matahari tidak dapat diketahui dengan
pasti. Saya menyadari melakukan observasi dalam keadaan demikian
tidak ada gunanya, karenanya saya santai-santai saja di dalam
pos yang menyimpan alat pengamat planet antar-mercury tanpa
berusaha menjalankan alat bolometri."
Kendati demikian, pada bagian pertama gerhana total, mereka
dapat menyaksikan corona -- meskipun tidak dalam keadaan yang
sangat jelas. Planet Mercurius dan Venus dapat pula terlihat.
Yang menjengkelkan mereka adalah setelah gerhana total berlalu,
langit dari sedikit demi sedikit menjadi cerah, dan pada sore
hari bahkan paling cerah dibanding minggu-minggu sebelumnya.
Yang dialami oleh rombongan ekspedisi MIT di Sawahlunto agak
lebih baik. Pada persinggungan pertama antara bulan dan matahari
cuaca sangat bersih. Tetapi segera setelah itu awan tipis mulai
berlenggang-lenggang menyeberangi permukaan. "Tapi tidak pernah
mengaburkan matahari," lapor Alfred Burton. Sepanjang gerhana
total corona dapat terlihat dengan mata telanjang. Mereka dapat
mengambil gambar corona dengan baik.
Menurut catatan rombongan MIT, gerhana terjadi pada jam-jam
berikut: Kontak pertama, pukul 10.48'.079". Kontak kedua,
pukul 12.22'058". Kontak ketiga, pukul 12.27'53,7". Dan kontak
keempat, pukul 14.00'06,4".
Untung rombongan Universitas Amherst menyebar anggota tim
mereka. Keadaan di pantai timur Sumatera ternyata tidak semuanya
menguntungkan. Meskipun sebelumnya udara cerah, pada waktu
gerhana tiba, matahari tertutup awan. Kecuali di Pulau Lingga.
Di sanalah Baron Van Boetzelaer, asisten residen setempat dapat
menjepret 30 gambar -- 11 di antaranya, meski terlalu kecil,
dinilai sangat baik.
Dari hasil tim Universitas Amherst tampak corona dengan jelas.
Tetapi pada potret-potret yang diambil itu, tidak tampak adanya
pengaruh sinar X pada cahaya corona. Ini memang menjadi salah
satu tujuan ekspedisi mereka, yaitu pengukuran pengaruh sinar X
terhadap cahaya corona.
Rombongan ekspedisi Universitas Amherst waktu itu juga sempat
mengadakan hubungan telegraph dengan pengamat di Pulau Mauritius
-- di mana gerhana terjadi satu setengah jam lebih awal.
Hubungan ini diatur oleh Kantor Telegraph Singapura. Hubungan
telepon kala itu belum semaju sekarang.
Yang paling beruntung adalah rombongan Observatorium Al Amerika
yang ditempatkan di Bukittinggi. Tidak banyak orang memilih
tempat itu. Karena menurut hasil observasi meteorologi pada
waktu gerhana kota itu akan tertutup awan. Tetapi kenyataannya
berlainan di sana: cuaca cerah, dan terang benderang. Jadi tidak
mengherankan kalau mereka dapat mengambil gambar yang
bagus-bagus.
Kegagalan yang diakibatkan oleh keadaan cuaca pernah membuat
suatu negara menghentikan ekspedisi lanjutan. Itu pernah terjadi
dengan tim ekspedisi gerhana Jerman. Di kalangan negara-negara
Eropa, waktu itu, mengirim ekspedisi gerhana dilakukan seperti
berlomba. Tapi Jerman sudah lama tidak mengirim rombongan
ekspedisi, pada waktu gerhana 1901 pun tidak..
Mengapa? Yang bikin gara-gara adalah tim ekspedisi Jerman tahun
1870-an. Ceritanya: sewaktu rombongan ekspedisi pulang, lalu
menghadap Kanselir Jerman Bismark, yang galak itu, untuk minta
bantuan keuangan guna menutup kekurangan pembiayaan ekspedisi,
mereka langsung diberondong pertanyaan. "Mana hasilnya?" tanya
sang kanselir. Rombongan ekspedisi itu sambil gemetaran
menjawab: "Langit waktu itu mendung. Jadi gagal." Sang Kanselir
pun menyemprot: "Kalau begitu tanggung sendiri biayanya! " Dan
sejak itu, untuk waktu lama, nasib rombongan ekspedisi gerhana
Jerman tidak pernah kedengaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini