GADIS-GADIS Kudus pada bersolek. Gadis-gadis Kudus, yang
sebagiannya masih "dipingit", hari-hari ini memanfaatkan
perayaan Dandangan buat jalan-jalan ke luar. Padahal selama ini
mereka hanya diizinkan pergi untuk keperluan tertentu seperti ke
sekolah, pengajian, madrasah atau pesantren. Setidak-tidaknya di
Kudus Barat, yang orangtuanya konon terkenal "streng".
Pada keramaian tradisional Dandangan diselenggarakan dua minggu
menjelang puasa -- muda-mudi memang pada berbaur. Tak jarang
yang akhirnya pacaran benar, dalam arti yang "suci" maupun yang
iseng. Amka, misalnya, 32 tahun, dari Kampung Kramat, Kudus,
berkisah: "Istri saya asal Semarang. Kami berkenalan ketika
sama-sama nonton Dandangan." Kini mereka beranak tiga orang.
Dandangan ini aslinya perayaan keagamaan. Bermula, konon, pada
zaman Kerajaan Islam Demak abad XVI. Dandangan berasal dari
suara tabuh di Masjid Menara Kudus --
ndang-ndang-ndang-ndangndang -- yang dipukul beramai-ramai
sebagai pengumuman awal puasa. Itulah masa ketika rakyat
berdatangan dari seluruh udik -- jalan kaki -- ke masjid besar
di kota pusat penyebaran Islam di Jawa Tengah itu. Lalu, karena
pengumuman yang ditunggu-tunggu itu selalu disampaikan pejabat
Keraton sehabis salat isya, sedang para kawula itu datang dari
jauh, muncullah para pedagang untuk "membantu" mereka dengan
menyediakan santapan sahur. Sebab mereka baru pulang sehabis
salat subuh di masjid bertuah itu.
Tradisi itulah yang konon berlangsung sampai sekarang. Sudah
menjadi perayaan rakyat. Malah kalau dulu keramaian berlangsung
di sekitar Masjid Menara, dan hanya sehari, sekarang sudah mulai
dari sekitar Masjid sampai Simpang Tujuh. Malah sebulan
sebelumnya sudah banyak pedagang menggelar barang.
Di Semarang juga ada perayaan semacam itu. Namanya Dukderan.
Konon juga berasal dari suara tabuh di Masjid Besar Kauman. Dan
seperti di Kudus, di Semarang pun banyak pedagang berdatangan --
antara lain dengan jenis-jenis makanan khas yang hanya muncul
sekali setahun. Pernah mencicipi intip ketan? Ketan kuning,
ketupat lepet, sate jagung, atau brondong -- dibuat dari beras,
dibentuk seperti sepeda motor atau lainnya? Itu di Kudus. Mainan
anak-anak biasanya berupa mobil-mobilan, boneka atau
kodok-kodokan dari kayu. Susah, lho, dicari di toko-toko besar
di "pusat perdagangan".
Ada pula yang terbuat dari tanah bikinan perajin dari Mayong,
Jepara, yang masih mencoba bertahan. Meski tidak sedikit mainan
impor, jenis tradisional ini konon lebih banyak diserbu para
umat Dandangan di Kudus itu. Maklum, yang dari tanah, misalnya,
berharga rata-rata Rp 25 per biji. "Sudah sebulan saya di sini.
Cukup banyak juga yang laku," ujar Wagiran, pedagang mainan dari
Mayon.
Di Semarang ada yang namanya uarak ngendok. Artinya: badak
bertelur. Terbuat dari kayu gabus, dibentuk seperti badak,
dibungkus dengan kertas hias warna-warni. Dan, di bagian
duburnya ditaruh sebiji telur. Ada lagi gangsingan -- gasing.
Masih ingat? Mainan seperti ini juga jenis yang merajai perayaan
Maulud di Sala dan Yogya.
Lalu orang pun bersiap memasuki puasa secara pribadi-pribadi. Di
sekitar Masjid Ampel, Surabaya, misalnya, penduduk memasak bubur
merah-putih. "Merah itu dosa, putih itu suci. Memasuki bulan
Ramadhan kita harus meninggalkan dosa," kata Ny. Ningsih, 40
tahun, penduduk Ampel.
Dan tepat sehari menjelang puasa mereka membuat kue apem,
dibagikan kepada tetangga atau orang-orang yang melakukan
i'tikaf, meng-heningkan diri di masjid. Hari itu jumlah orang
yang i'tikaf memang membengkak dua-tiga kali lipat dari
hari-hari biasa. Pada hari itu pula para wanita pada mandi
keramas. Biasanya dengan air jeruk atau cacab, sejenis tumbuhan
penyubur rambut. "Mandi cacab bisa menguatkan batin untuk
berpuasa. Dan menurut nenek saya bisa mencegah datang bulan atau
mengurangi," kata Ningsih lagi. Jadi mereka berharap bisa
berpuasa sebulan suntuk.
Mandi seperti itu juga terdapat di daerah-daerah lain. Ada yang
menyelenggarakannya secara ramai-ramai, dan jadilah upacara itu
acara piknik atau pacaran. Begitu pula mandi balimodi Sibolga,
Sumatera Utara, sehari sebelum puasa -- biasanya di
sungai-sungai Sarudik dan Sihaporas. Karena mereka menggosok
badan dengan air buah limau dicampur dengan ramuan akar-akaran
dan umbi-umbian yang ditumbuk dan diberi santan dan daun nilam
-- muncullah nama balimo itu.
Di Jawa Tengah, acara seperti itu disebut padusan dari adus,
mandi. Salah satunya yang menarik adalah padusandi Pengging,
Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Ada pengumuman resmi:
hari padusan yang mestinya jatuh sehari sebelum puasa, 11 Juni,
diajukan sehari ke depan. Tanggal 11 itu padusan ditutup.
Alasan: gerhana.
Di tempat ini ada dua mata air yang dibuat kolam mandi.
Nama-namanya: Umbul Ngabean, 24 x 33 m, dan Umbul Temanten, 26 x
26 m. Tahun 1981 dua kolam ini dibangun dan diberi pagar tembok,
oleh Dinas Pariwisata. Di Umbul Temanten dibangun 16 kamar ganti
pakaian dan di Umbul Ngabean 10 kamar. Hawanya sejuk, banyak
angin, banyak pohonan. Bangunan memakai gaya arsitektur Jawa,
dengan pilar-pilar model Keraton Sala. Ditambahkan pula di situ
sebuah masjid, di samping pemugaran makam pujangga Yosodipuro.
Pengging dianggap "keramat" karena dulunya daerah kerajaan,
meski statusnya di bawah Majapahit dan kemudian Demak. Terkenal
Adipati Pengging -- Kiai Ageng Kebonagoro -- yang membelot
kepada Demak, dan kemudian entah dibunuh entah lan.
Air yang bening dari umbul itu membuat Raja Sala Paku Buwono IX
membangun tempat itu. Lalu dibangun pula oleh PB X.
Muhadi alias Kiyo, penjaga kubur Yosodipuro, menuturkan bahwa
mandi di situ ada caranya. Yaitu: berniat mensucikan diri
khususnya menghadapi puasa. Kemudian membasuh tangan, muka, baru
berkeramas, begitu.
Toh menurut mereka padusan tidak harus dilakukan di Pengging
walaupun mereka selalu mandi di situ. "Itu kan karena kebetulan
kami dekat." Juga padusan tidak selalu harus menurut urutannya.
"Yang penting niatnya," kata Yoso Harjono, 62 tahun, penduduk
situ.
Ada lagi Cokro Tulung. Ini sebuah bangunan yang dibuat Belanda
dulu. Di situ terdapat sumber air ledeng untuk Kota Sala juga
sebuah pemandian dan sungai kecil yang bening. Letaknya 10 km
utara Pengging. Heri Kaswanto, karyawan pabrik kerupuk ABC di
Palur, Sala, yang sering datang ke sini, bilang: padusan paling
baik dilakukan di sumber air. "Karena airnya masih murni,
sehingga menjalankan puasa dalam keadaan benar-benar bersih,"
katanya.
Syahdan konon Danang Sutowidjojo, sebelum bernama Pangeran
Senopati alias Sultan Agung, ketika membabat Hutan Mentaok di
Kotagede, Yogya, butuh air untuk wudhu. Maka selesai berdoa, ia
mcmukul tanah dengan tangannya tiga kali. Wah! "Lantas di situ
keluar air, dan sekarang untuk pemandian anak cucu," cerita mBok
Pudjomargono, petugas pengantar tamu makam besat Puroloyo
Kotagede.
Di alas Mentaok itulah berdiri keraton Kerajaan Mataram, 1566.
Dan sumber air di situ diberi nama Seliran -- berada dalam
kompleks keraton. Tempat pemandian Pangeran Senopati itu
berukuran sekitar 5 x 10 meter. Kok kecil saja. Tapi ada dua
kolam, untuk putri dan putra.
Air itu, berasal dari dalam tanah, kondisinya sudah tidak
memenuhi syarat. Tapi belik (sumber) itu dianggap keramat.
"Pokoknya tergantung apa yang diminta," kata Hastonodihardjo,
abdi dalem Jajar Dondong makam besar Kotagede, tentang orang
yang mandi di sana.
Karenanya setiap hari banyak pengunjung, dan jumlahnya meningkat
di bulan Ruwah (Sya'ban), istimewa di hari-hari menjelang puasa.
Berani bertaruh, berbagai bentuk adat menyambut puasa itu masih
hidup di hampir seluruh pelosok tanah air. Pihak ulama sih
biasanya keberatan pada unsur 'percampuran', khususnya dengan
kepercayaan pra Islam. Hanya, mana-mana yang bisa dimanfaatkan
lantas dibangun Dinas Pariwisata.
Tidak berarti semuanya dipelihara. Selama berpuluh tahun,
Dukderan berlangsung di sekitar Masjid Semarang: Kanjengan,
Pasar Johar sampai Jalan Agus Salim. Tapi sejak tiga tahunan
yang lalu, setelah depan Masjid Besar dijadikan pertokoan Ja'ik
Permai dan Kanjengan menjadi pusat Pertokoan Kanjengan, dan
Masjid Besar sendiri tenggelam di tengah segala bangunan
komersial -- lokasi tercecer-cecer. Ada yang di Jalan Agus
Salim, di depan masjid, ada pula di sekitar Hotel Asia atau
Jalan Beringin.
Dukderan jadi sepi. Para pedagang pada menguap. "Saya akan
jualan di Kudus saja, kata Sukamto, pedagang mainan asal
Sukoharjo. Kardi, pedagang asal Mayong yang spesialis mainan
tanah liat, juga bilang akan pindah ke Kudus. "Anak-anak
Semarang sudah banyak yang menyukai mainan buatan Taiwan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini