Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ramai-ramai masuk puasa

Bermacam perayaan tradisional menyambut bulan ramadhan, di semarang ada dukderan, di kudus ada dandangan, di sibolga mandi balimo, di jawa tengah padusan. (pan)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GADIS-GADIS Kudus pada bersolek. Gadis-gadis Kudus, yang sebagiannya masih "dipingit", hari-hari ini memanfaatkan perayaan Dandangan buat jalan-jalan ke luar. Padahal selama ini mereka hanya diizinkan pergi untuk keperluan tertentu seperti ke sekolah, pengajian, madrasah atau pesantren. Setidak-tidaknya di Kudus Barat, yang orangtuanya konon terkenal "streng". Pada keramaian tradisional Dandangan diselenggarakan dua minggu menjelang puasa -- muda-mudi memang pada berbaur. Tak jarang yang akhirnya pacaran benar, dalam arti yang "suci" maupun yang iseng. Amka, misalnya, 32 tahun, dari Kampung Kramat, Kudus, berkisah: "Istri saya asal Semarang. Kami berkenalan ketika sama-sama nonton Dandangan." Kini mereka beranak tiga orang. Dandangan ini aslinya perayaan keagamaan. Bermula, konon, pada zaman Kerajaan Islam Demak abad XVI. Dandangan berasal dari suara tabuh di Masjid Menara Kudus -- ndang-ndang-ndang-ndangndang -- yang dipukul beramai-ramai sebagai pengumuman awal puasa. Itulah masa ketika rakyat berdatangan dari seluruh udik -- jalan kaki -- ke masjid besar di kota pusat penyebaran Islam di Jawa Tengah itu. Lalu, karena pengumuman yang ditunggu-tunggu itu selalu disampaikan pejabat Keraton sehabis salat isya, sedang para kawula itu datang dari jauh, muncullah para pedagang untuk "membantu" mereka dengan menyediakan santapan sahur. Sebab mereka baru pulang sehabis salat subuh di masjid bertuah itu. Tradisi itulah yang konon berlangsung sampai sekarang. Sudah menjadi perayaan rakyat. Malah kalau dulu keramaian berlangsung di sekitar Masjid Menara, dan hanya sehari, sekarang sudah mulai dari sekitar Masjid sampai Simpang Tujuh. Malah sebulan sebelumnya sudah banyak pedagang menggelar barang. Di Semarang juga ada perayaan semacam itu. Namanya Dukderan. Konon juga berasal dari suara tabuh di Masjid Besar Kauman. Dan seperti di Kudus, di Semarang pun banyak pedagang berdatangan -- antara lain dengan jenis-jenis makanan khas yang hanya muncul sekali setahun. Pernah mencicipi intip ketan? Ketan kuning, ketupat lepet, sate jagung, atau brondong -- dibuat dari beras, dibentuk seperti sepeda motor atau lainnya? Itu di Kudus. Mainan anak-anak biasanya berupa mobil-mobilan, boneka atau kodok-kodokan dari kayu. Susah, lho, dicari di toko-toko besar di "pusat perdagangan". Ada pula yang terbuat dari tanah bikinan perajin dari Mayong, Jepara, yang masih mencoba bertahan. Meski tidak sedikit mainan impor, jenis tradisional ini konon lebih banyak diserbu para umat Dandangan di Kudus itu. Maklum, yang dari tanah, misalnya, berharga rata-rata Rp 25 per biji. "Sudah sebulan saya di sini. Cukup banyak juga yang laku," ujar Wagiran, pedagang mainan dari Mayon. Di Semarang ada yang namanya uarak ngendok. Artinya: badak bertelur. Terbuat dari kayu gabus, dibentuk seperti badak, dibungkus dengan kertas hias warna-warni. Dan, di bagian duburnya ditaruh sebiji telur. Ada lagi gangsingan -- gasing. Masih ingat? Mainan seperti ini juga jenis yang merajai perayaan Maulud di Sala dan Yogya. Lalu orang pun bersiap memasuki puasa secara pribadi-pribadi. Di sekitar Masjid Ampel, Surabaya, misalnya, penduduk memasak bubur merah-putih. "Merah itu dosa, putih itu suci. Memasuki bulan Ramadhan kita harus meninggalkan dosa," kata Ny. Ningsih, 40 tahun, penduduk Ampel. Dan tepat sehari menjelang puasa mereka membuat kue apem, dibagikan kepada tetangga atau orang-orang yang melakukan i'tikaf, meng-heningkan diri di masjid. Hari itu jumlah orang yang i'tikaf memang membengkak dua-tiga kali lipat dari hari-hari biasa. Pada hari itu pula para wanita pada mandi keramas. Biasanya dengan air jeruk atau cacab, sejenis tumbuhan penyubur rambut. "Mandi cacab bisa menguatkan batin untuk berpuasa. Dan menurut nenek saya bisa mencegah datang bulan atau mengurangi," kata Ningsih lagi. Jadi mereka berharap bisa berpuasa sebulan suntuk. Mandi seperti itu juga terdapat di daerah-daerah lain. Ada yang menyelenggarakannya secara ramai-ramai, dan jadilah upacara itu acara piknik atau pacaran. Begitu pula mandi balimodi Sibolga, Sumatera Utara, sehari sebelum puasa -- biasanya di sungai-sungai Sarudik dan Sihaporas. Karena mereka menggosok badan dengan air buah limau dicampur dengan ramuan akar-akaran dan umbi-umbian yang ditumbuk dan diberi santan dan daun nilam -- muncullah nama balimo itu. Di Jawa Tengah, acara seperti itu disebut padusan dari adus, mandi. Salah satunya yang menarik adalah padusandi Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Ada pengumuman resmi: hari padusan yang mestinya jatuh sehari sebelum puasa, 11 Juni, diajukan sehari ke depan. Tanggal 11 itu padusan ditutup. Alasan: gerhana. Di tempat ini ada dua mata air yang dibuat kolam mandi. Nama-namanya: Umbul Ngabean, 24 x 33 m, dan Umbul Temanten, 26 x 26 m. Tahun 1981 dua kolam ini dibangun dan diberi pagar tembok, oleh Dinas Pariwisata. Di Umbul Temanten dibangun 16 kamar ganti pakaian dan di Umbul Ngabean 10 kamar. Hawanya sejuk, banyak angin, banyak pohonan. Bangunan memakai gaya arsitektur Jawa, dengan pilar-pilar model Keraton Sala. Ditambahkan pula di situ sebuah masjid, di samping pemugaran makam pujangga Yosodipuro. Pengging dianggap "keramat" karena dulunya daerah kerajaan, meski statusnya di bawah Majapahit dan kemudian Demak. Terkenal Adipati Pengging -- Kiai Ageng Kebonagoro -- yang membelot kepada Demak, dan kemudian entah dibunuh entah lan. Air yang bening dari umbul itu membuat Raja Sala Paku Buwono IX membangun tempat itu. Lalu dibangun pula oleh PB X. Muhadi alias Kiyo, penjaga kubur Yosodipuro, menuturkan bahwa mandi di situ ada caranya. Yaitu: berniat mensucikan diri khususnya menghadapi puasa. Kemudian membasuh tangan, muka, baru berkeramas, begitu. Toh menurut mereka padusan tidak harus dilakukan di Pengging walaupun mereka selalu mandi di situ. "Itu kan karena kebetulan kami dekat." Juga padusan tidak selalu harus menurut urutannya. "Yang penting niatnya," kata Yoso Harjono, 62 tahun, penduduk situ. Ada lagi Cokro Tulung. Ini sebuah bangunan yang dibuat Belanda dulu. Di situ terdapat sumber air ledeng untuk Kota Sala juga sebuah pemandian dan sungai kecil yang bening. Letaknya 10 km utara Pengging. Heri Kaswanto, karyawan pabrik kerupuk ABC di Palur, Sala, yang sering datang ke sini, bilang: padusan paling baik dilakukan di sumber air. "Karena airnya masih murni, sehingga menjalankan puasa dalam keadaan benar-benar bersih," katanya. Syahdan konon Danang Sutowidjojo, sebelum bernama Pangeran Senopati alias Sultan Agung, ketika membabat Hutan Mentaok di Kotagede, Yogya, butuh air untuk wudhu. Maka selesai berdoa, ia mcmukul tanah dengan tangannya tiga kali. Wah! "Lantas di situ keluar air, dan sekarang untuk pemandian anak cucu," cerita mBok Pudjomargono, petugas pengantar tamu makam besat Puroloyo Kotagede. Di alas Mentaok itulah berdiri keraton Kerajaan Mataram, 1566. Dan sumber air di situ diberi nama Seliran -- berada dalam kompleks keraton. Tempat pemandian Pangeran Senopati itu berukuran sekitar 5 x 10 meter. Kok kecil saja. Tapi ada dua kolam, untuk putri dan putra. Air itu, berasal dari dalam tanah, kondisinya sudah tidak memenuhi syarat. Tapi belik (sumber) itu dianggap keramat. "Pokoknya tergantung apa yang diminta," kata Hastonodihardjo, abdi dalem Jajar Dondong makam besar Kotagede, tentang orang yang mandi di sana. Karenanya setiap hari banyak pengunjung, dan jumlahnya meningkat di bulan Ruwah (Sya'ban), istimewa di hari-hari menjelang puasa. Berani bertaruh, berbagai bentuk adat menyambut puasa itu masih hidup di hampir seluruh pelosok tanah air. Pihak ulama sih biasanya keberatan pada unsur 'percampuran', khususnya dengan kepercayaan pra Islam. Hanya, mana-mana yang bisa dimanfaatkan lantas dibangun Dinas Pariwisata. Tidak berarti semuanya dipelihara. Selama berpuluh tahun, Dukderan berlangsung di sekitar Masjid Semarang: Kanjengan, Pasar Johar sampai Jalan Agus Salim. Tapi sejak tiga tahunan yang lalu, setelah depan Masjid Besar dijadikan pertokoan Ja'ik Permai dan Kanjengan menjadi pusat Pertokoan Kanjengan, dan Masjid Besar sendiri tenggelam di tengah segala bangunan komersial -- lokasi tercecer-cecer. Ada yang di Jalan Agus Salim, di depan masjid, ada pula di sekitar Hotel Asia atau Jalan Beringin. Dukderan jadi sepi. Para pedagang pada menguap. "Saya akan jualan di Kudus saja, kata Sukamto, pedagang mainan asal Sukoharjo. Kardi, pedagang asal Mayong yang spesialis mainan tanah liat, juga bilang akan pindah ke Kudus. "Anak-anak Semarang sudah banyak yang menyukai mainan buatan Taiwan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus